Suatu hari, di tahun awal millenium ke tiga, sebuah pertemuan internasional digelar di Reycjavik. Disambut oleh hujan salju dan demonstrasi ratusan orang yang datang dari berbagai negara. Kedatangan setiap wakil dari negara peserta konferensi itu pun, tak henti-hentinya mereka caci. Konon, International Summit itu dihadiri para petinggi keuangan dari delapan negara besar di dunia (G8 = Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Italia, Prancis, Rusia, Jepang, dan China). Mereka bertemu untuk membahas tentang kebijakan keuangan luar negeri masing-masing negara.
Seperti konferensi-konferensi mereka sebelumnya, mereka akan membahas bagaimana cara dan kerjasama dalam memperkuat perekonomian negara mereka. Mereka yang duduk dalam pertemuan itu pula yang selama ini dikenal sebagai ”negara donor” bagi negara-negara miskin di seluruh dunia. Oleh karena itu, mereka nanti juga akan memperdebatkan prioritas agenda ekonomi, termasuk pemberian hutang, perdagangan, dan bantuan yang akan mereka bagi-bagi kepada negara-negara miskin di dua pertiga belahan bumi lainnya. Itu pun setelah mereka yakin, tidak akan ada goncangan yang berarti di negara mereka akibat ”bantuan kemanusiaan” itu. Dapat dikatakan, di mulut dan tangan kedelapan orang itulah, kendali atas ekonomi dunia berada. Konyol dan ironi memang, masa depan ratusan negara dan jutaan orang ditentukan oleh kebijakan ekonomi segelintir negara. Tapi itulah yang terjadi.