Sebuah konsep dapat bermakna dan berubah melampaui arti/makna
aslinya. Namun, biasanya pemahaman kita terhadap sesuatu dapat dikembangkan
dengan mengetahui makna turunannya itu. Etimologi dari kata “sosial” seharusnya
dapat membantu kita memahami apa arti modal sosial dan bagaimana ia berbeda
dari bentuk-bentuk kapital lainnya?
Kata “sosial”
adalah salah satu kata sifat yang paling luas digunakan dalam bahasa Inggris.
Ini terkait dengan kata benda “masyarakat” yang berasal dari bahasa Latin “socius” yang berarti “teman atau kawan”. Hal ini
mengindikasikan bahwa apa itu “sosial” aslinya diturunkan dari fenomena
“pertemanan”, yang menyiratkan makna kerjasama, solidaritas, saling
respek/menghargai, dan kepekaan terhadap kepentingan umum.
Konsep modal sosial telah sedemikian luas diterima
di kalangan komunitas profesional pembangunan. Akan tetapi, ia masih saja
menjadi konsep yang sulit dipahami. Antusiasme terhadap konsep modal sosial ini
mengingatkan kita pada bagaimana konsep partisipasi juga sangat
diterima dalam teori maupun praktek pembangunan dalam kurun 1970an, walaupun bagi
banyak orang konsep ini juga masih dianggap sebagai sesuatu yang abstrak
(meskipun ia lebih pada masalah preferensi daripada soal studi empiris atau
penerapannya)
Perhatian terhadap dua konsep ini (modal sosial dan
partisipasi) didorong oleh masalah yang sama. Sebab, banyak pengalaman di dunia
nyata yang menunjukkan bahwa inisiatif pembangunan yang tidak mempertimbangkan
dimensi manusia – termasuk faktor-faktor
seperti nilai-nilai, norma-norma, budaya, motivasi, solidaritas – akan
cenderung kurang berhasil dibanding dengan yang mempertimbangkan dimensi
manusia. Bukan hal yang aneh kalau model pembangunan yang mengabaikan semua itu
akan berujung pada kegagalan.
“Di alam Neoliberalisasi, buruh yang mudah dipecat
(disposable labour) merupakan figur utamanya”
(Harvey, 2009:285)
“Neoliberalisme menginginkan peran negara dibatasi
dalam pasar. Akan tetapi, sesungguhnya negara itulah sebagai pusat dari sistem
kapitalis modern ini, karena dialah yang dengan murah hati mengeluarkan
kebijakan yang selalu menguntungkan korporasi besar”
(Noam Chomsky)
Sebagai sebuah praktek pembangunan, Neoliberalisasi memang memberikan
dampak keberhasilan yang sangat besar, khususnya bagi lapisan atas atau kelas
elit. Bagaimana tidak, Neoliberalisasi ini telah berhasil memberi ruang bagi
terbangunnya kembali kelas-kelas kapitalis baru. Lihatlah Neoliberalisasi yang
berlangsung di China, bagaimana kesenjangan antara kelas elit (partai penguasa
dan korporasi) dengan kelas buruh justru semakin mencolok. Tengoklah – bahkan
di Indonesia sendiri – bagaimana industri media dimonopoli oleh segelintir
orang atau korporasi super kaya, sehingga memungkinkan mereka untuk
menyebarluaskan agenda-agenda tersembunyi dari kelas elit tersebut. Pesatnya
pertumbuhan sektor keuangan dan jasa keuangan seringkali digembar-gemborkan
sebagai kesuksesan Neoliberalisme. Bisa kita lihat, kota-kota yang menjadi
pusat keuangan dan komando bisnis global (Manhattan, Tokyo, London, Paris,
Frankfurt, Hong Kong, Shanghai, dll) telah menjadi daerah yang berlimpah
kekayaan dan teramat megah dengan ribuan gedung pencakar langitnya. Di lantai
gedung-gedung megah inilah berlangsung perdagangan antar lantai yang
menghasilkan kekayaan fiktif nan berlimpah. Sebuah bisnis spekulatif telah
berkembang pesat. Namun, siapa yang menikmati semua keberhasilan itu?
Disadari atau tidak, Negara-negara di seluruh dunia
hari ini secara berjamaah telah berbai’at
pada agama tunggal pembangunan bernama Neoliberalisme. Ibarat kepercayaan dalam
arti sebenarnya, paham Neoliberal ini juga memiliki Nabi-Nabi, firman-firman
dan doktrin-doktrin yang menopang perkembangannya. Secara fundamental,
Neoliberalisme adalah agama yang bertauhid atau meng-esa-kan pasar sebagai
“tuhannya”. Dengan kata lain, aktivitas transaksi pasar adalah pemandu utama
bagi segala aktivitas dan tindakan manusia. Dalam Neoliberalisme kita diajarkan
bahwa kesejahteraan manusia hanya akan diperoleh jikalau kita menempatkan
kebebasan dan keterampilan entrepreneurial individu dalam suatu kerangka
kehidupan yang menjunjung tinggi kepemilikan individu, pasar bebas dan
perdagangan bebas (Harvey, 2009:3). Negara dalam rumus Neoliberal memiliki tugas
untuk menjaga agar kerangka tersebut bisa berjalan, misalnya dengan menegakkan
hukum, menjaga pertahanan dan keamanan, serta menyediakan
infrastruktur publik lainnya demi berjalannya ekonomi pasar. Namun, Negara sama
sekali tidak boleh turut campur dalam wilayah pasar itu sendiri.