27 November 2013

RESENSI BUKU : ANAK-ANAK REVOLUSI (BUKU I)



Oleh : Yanu Endar Prasetyo

Judul buku          : Anak-Anak Revolusi (Buku I)
Penulis                : Budiman Sudjatmiko
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama
Halaman             : xv + 473 hal, cet 1, 2013
ISBN                   : 978-979-22-9943-4

Layaknya sebuah perjalanan, selalu ada titik awal dimana perjalanan itu dimulai. Barangkali titik akhirnya belum diketahui pasti, tetapi ada masa-masa dalam garis (kumpulan titik) kehidupan yang dicetak tebal oleh anak manusia dan dianggap sebagai penanda titik balik kehidupannya. Demikian pula buku autobiografi salah satu tokoh politik muda Indonesia, Budiman Sudajtmiko, ini mencoba hadir tidak saja sebagai bentuk perlawanan terhadap amnesia sejarah, tetapi juga sebagai catatan perjalanan seorang anak manusia yang entah kebetulan atau  sengaja menceburkan dirinya dalam pusaran gerakan politik yang kemudian turut menumbangkan rezim orde baru.  

Sebagai biografi yang dikemas bak sebuah novel sejarah, buku ini telah berhasil memikat pembaca dengan gaya tutur penulisnya yang mengalir lancar dan mudah dicerna. Wawasan penulisnya yang demikian luas menjadikan setiap plot cerita yang diangkat tidak monoton dan membosankan. Budiman juga dengan lihai menyelipkan cerita di dalam cerita, sehingga membaca lembar demi lembar buku ini serasa dibawa ke dalam labirin pengalaman, perasaan dan intelektualitas seorang Budiman Sudjatmiko yang mungkin tidak banyak orang tahu. Stempel "kiri", pemberontak, antek komunis, dan pembangkang yang dilekatkan demikian erat oleh rezim Orde Baru, baik terhadap pribadinya maupun organisasi politiknya saat itu (PRD), akan luntur manakala kita tahu bagaimana perjalanan dari masa kecil, remaja hingga keputusan-keputusan politik dan personalnya itu diambil. Selalu ada sebab sebelum akibat.  

21 November 2013

Kompetisi Debat Mahasiswa : Sebuah Nostalgia



Beberapa pekan yang lalu, hari kamis sore, saya dikirimi pesan singkat oleh Teguh, wakil presiden BEM Universitas Subang (UNSUB). Malam harinya pesan singkat tersebut baru terbaca. Intinya Ia meminta bantuan saya untuk menjadi juri sebuah lomba antar jurusan di Unsub. Debat mahasiswa? membaca pesan tersebut sontak memori saya seperti terlempar pada sebelas tahun yang lalu, tepatnya di tahun 2002, dimana untuk pertama kalinya saya berkesempatan mengikuti lomba serupa, tetapi untuk tingkat pelajar se-Jawa.

Kala itu saya baru saja duduk di bangku kelas III IPS (C1) di SMA Negeri I Blitar, Jawa Timur. Semampu yang saya ingat, pagi itu tiba-tiba datang sebuah surat dari bidang kesiswaan yang menginformasikan adanya lomba debat politik pelajar se-Jawa Bali yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas Mahasiswa (UI). Kebetulan pada waktu itu saya sedang menjadi semacam "pelaksana harian" Ketua OSIS karena sang ketua OSIS (sahabat saya hingga kini, Wetty Kurilla Hayu) sedang berada di Negeri Sakura (Jepang) untuk program pertukaran pelajar, sehingga sepucuk surat itu pun bisa sampai di tanganku. Singkat cerita, akhirnya sekolah kami memutuskan untuk memberangkatkan delegasi pada kompetisi debat politik tersebut, karena dinilai cukup bergengsi. Waktu itu kompetisi debat (bagi kami yang tinggal di kota kecil) belum semewah sekarang, dimana beberapa saluran TV nasional menyelenggarakannya dalam bentuk program siaran. Bagi diriku pribadi, ini tantangan! beberapa lomba yang mirip-mirip (seperti pelajar teladan, pidato, menulis karya ilmiah, dll) di tingkat kota dan karesidenan yang saya ikuti, selalu tiga besar, tetapi bagaimana kemampuanku ditingkat yang lebih tinggi saya belum tahu. Jangan-jangan cuma jago kandang? batinku.

06 November 2013

MENYOAL PROSES REKRUTMEN CPNS DAERAH

diterbitkan oleh Pasundan Ekspres, 
6 November 2013

oleh : Yanu Endar Prasetyo



Habis (bayar) berapa jadi PNS?” demikian pertanyaan dan obrolan yang sering terlontar di tengah-tengah publik manakala proses rekrutmen atau penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) digelar. Dugaan bahwa untuk lolos menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus menggunakan jalur suap bukan lagi kasak-kusuk, melainkan sudah bukan rahasia umum dan bahkan menjadi keyakinan publik bahwa itulah jalur sebenarnya yang harus ditempuh. Jika dulunya pertanyaan seperti itu sangat tabu diungkapkan, saat ini justru menjadi ajang pembentukan “harga pasar” untuk setiap kursi PNS. Tidak peduli apakah rekrutmen itu digelar untuk kalangan khusus (honorer) atau kalangan umum, suara-suara miring terkait transaksi ekonomi ilegal dibalik proses rekrutmen ini selalu saja muncul lalu berakhir begitu saja tanpa penyelesaian. Ibarat bermain judi, begitu hasil diumumkan para pemenang akan berpesta sementara yang kalah akan gigit jari dan mencoba peruntungannya kembali (tidak kapok).