Pasundan Ekspres, 29 Januari 2014
Belum surut wilayah
Jakarta dan Pantura Subang direndam Banjir, sudah menyusul Semarang dan Pati
mengalami hal yang sama. Stasiun Tawang terendam, akses jalan pun terputus. Bahkan
tingginya banjir di Pati sempat membuat rombongan umat yang ingin memberi
penghormatan terakhir kepada almarhum KH. Sahal Mahfudz pun kebingungan
menembus lokasi. Bukan hanya di Jawa, di Manado pun banjir bandang melumpuhkan
aktivitas secara mengagetkan. Saat korban meletusnya gunung Sinabung belum
pulih benar, kita sudah kembali dihentak oleh gempa Kebumen. Indonesia darurat
bencana, demikian judul utama berbagai media.
Namun, bukankah semua
bencana itu bukan hal yang baru bagi kita? Sebelumnya dan di masa-masa
mendatang bencana serupa akan terus silih berganti. Karena memang kita tinggal
di negeri yang memiliki kerentanan alam sangat tinggi. Kita hidup di atas “ring
of fire”, Puluhan gunung berapi aktif melintang bak cincin api dari Sumatera,
Jawa hingga Nusa Tenggara. Hanya soal waktu saja kapan gunung-gunung itu akan
meletus. Pun dengan ancaman bencana alam lain seperti tsunami, gempa bumi,
tanah longsor, banjir hingga puting beliung rutin bergiliran menyapa kita. Sebab
bukan hal baru, maka sudah seyogyanya kita – dalam hal ini pemerintah dan
masyarakat – selalu siap, waspada dan menyiapkan diri dengan berbagai
kemungkinan terburuk. Bukan justru sebaliknya, kita sendiri yang memperparah
bencana itu sendiri.