Oleh : Yanu Endar Prasetyo
Penulis Buku “Harta Karun Bung Karno”
“Bung Karno hidup dan mati (dibunuh) berkali-kali”. Demikian barangkali
ungkapan yang tepat untuk menggambarkan bagaimana bapak proklamator, pendiri
bangsa dan salah satu pencetus ideologi Pancasila ini muncul dan tenggelam
dalam arus dinamika politik di Indonesia. Bagaimana tidak? Sejak sebelum
Indonesia merdeka hingga satu dasawarsa lebih reformasi, Bung Karno, secara
simbolik maupun ideologis tidak pernah lepas dipakai (atau dibajak?) oleh siapapun
yang ingin meniti dan memburu tangga kekuasaan. Mulai dari calon kepala desa,
calon anggota DPR hingga calon Presiden dan Wakil Presiden juga merasa harus
mewarisi seluruh atau sebagian dari diri, sikap dan cita-cita Sukarno sebagai
“jualan” mereka. Ini tentu sesuatu yang membanggakan, karena berarti bangsa ini
tidak pernah lupa akan sejarah. “Jas Merah” Bung Karno selalu dipakai. Namun
ini juga akan nampak sangat absurd dan paradoks, manakala mereka yang merasa
berhak mewarisi Sukarno ini, pada saat yang sama, juga mengkhianati mimpi-mimpi
Bung Karno itu sendiri. Disinilah bung karno dihidupkan sekaligus dimatikan
berkali-kali.