19 April 2016

SUBANG BARU




Yanu Endar Prasetyo
Tim Relawan Pengkaji Informasi Publik (TRPIP)

Entah sengaja diundang atau tidak, kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai “tamu” di Kabupaten Subang memang cukup mengagetkan berbagai kalangan. Bagaimana tidak, tak tanggung-tanggung, pucuk pimpinan alias orang nomor satu di Kabupaten Subang langsung resmi mengenakan rompi oranye KPK. Tragedi ini bak petir di siang bolong, sebab peristiwa ini terjadi tepat di ujung rangkaian pesta Ulang Tahun Kabupaten Subang ke 68 yang berlangsung sangat meriah dengan berbagai pemecahan rekor MURI. Meskipun menurut pandangan sebagian kalangan, tersangkutnya bupati dalam kasus korupsi di Kabupaten Subang bukanlah hal baru. Dua Kepala Daerah sebelumnya (Maman Yudia dan Eep Hidayat) juga pernah lengser akibat tersandung kasus korupsi. Pertanyaannya, mengapa kasus seperti ini bisa terulang kembali? Tidakkah muncul efek jera dan pembelajaran dari kasus-kasus sebelumnya?

Pembusukan Birokrasi

Penyelenggaraan pemerintahan daerah memang bukan semata tanggung jawab Bupati, melainkan seluruh unsur dan komponen organisasi di dalamnya. Mulai dari level eselon II sampai ke tingkat Desa/Kelurahan dan bahkan RT/RW. Meskipun, kendali utama tetap berada di tangan kepala daerah. Secara sederhana, pemerintahan bisa diibaratkan organ tubuh, jika salah satu bagian sakit, maka akan mempengaruhi bagian-bagian tubuh lainnya. Terlebih jika otak – sebagai pusat koordinasi – itu juga sakit, maka seluruh organ tubuh lainnya tidak akan bisa bekerja dengan optimal. Berulangnya kasus Bupati Subang yang terjerat korupsi tentu saja menjadi indikasi bahwa “badan” dan “organ-organ” pemerintah Kabupaten Subang memang mengidap suatu penyakit parah yang tidak lekas disembuhkan. Akibatnya sering kambuh dan nyaris koma.