21 November 2016

Resensi Buku : Bernie Sanders dan Masa Depan Politik Amerika



“He’s not moving party to the left. He’s moving a generations to the left”

Pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) tidak hanya menghasilkan fenomena Donald Trump sebagai presiden terpilih, tetapi juga menjadi panggung bagi kemunculan politisi liberal paling berpengaruh di AS saat ini : Bernie Sanders. Senator dari Vermont yang sudah berusia tujuh puluh lima tahun ini adalah fenomena ekstrem dan tidak biasa dalam perpolitikan Amerika. Bukan saja karena ia hanya dianggap sebagai kuda hitam, melainkan juga karena gagasan dan pemikirannya yang sama sekali berbeda dengan arus utama di AS. Pemikirannya memang khas liberal yang mendukung sepenuhnya hak-hak dan kebebasan individu, akan tetapi gagasannya di bidang ekonomi dan politik justru mencerminkan pandangan sosialis atau kiri. Bahkan, gerakan protes anti-Trump yang masih marak di berbagai kota di AS selepas hasil pemilu kemarin juga tak lepas dari pengaruh seorang Bernie.

Suara kerasnya dalam menentang oligarki elit politik amerika dan kerakusan segelintir korporasi besar, yang ia sebut dengan “the 1 percent”, itu telah membuat merah telinga status quo di AS. Bukan hanya itu, ia juga mengkampanyekan “health care for all”, “making higher education affordable”, kritik kerasnya pada media yang lebih banyak menjual gosip daripada mengabarkan permasalah riil bangsa Amerika, sampai dengan kegigihannya mendukung kampanye perubahan iklim telah memberi warna ideologis yang berbeda dalam Pilpres AS. Gagasannya memang terasa ganjil di kalangan mapan dan elit, akan tetapi ia mendapat dukungan yang sangat luas dari generasi muda AS. Hasilnya, ia memenangi dua puluh dua negara bagian, mendapatkan 1,3 juta suara yang mayoritas anak muda dan hampir saja mengalahkan Hillary dalam perebutan tiket presiden dari partai Demokrat. Kejutan dan prestasi yang bukan main-main.

15 November 2016

Kota, Budaya dan Bencana

Yanu Endar Prasetyo
pasundan ekspres, 15 November 2016

Masa depan peradaban manusia berada di Kota. Sebab, pada tahun 2030 nanti, lebih dari enam puluh persen penduduk dunia akan tinggal di perkotaan. Oleh karena itu, jika salah dalam merencanakan dan mengelola kota akan berujung pada bencana dan krisis multidimensi yang berkepanjangan. Isu-isu yang berkembang dalam pembangunan kota ini tentu saja bervariasi antar negara. Untuk negara maju seperti Amerika Serikat misalnya, isu penting saat ini adalah soal integrasi penduduk dan komunitas (akibat banjir imigran dan masalah rasial), tingginya kriminalitas (akibat bebasnya kepemilikan senjata api), dan ketimpangan ekonomi (meningkatnya pengangguran dan tunawisma). Bagi negara seperti Indonesia yang sedang bertumbuh pesat kota-kota metropolitannya, isu utama perkotaan adalah seputar kepastian rencana tata ruang (kepentingan publik versus privat, industri versus pertanian), akses dan kualitas transportasi publik, lingkungan (pengelolaan sampah, drainase, ruang terbuka hijau, banjir) serta ketimpangan ekonomi penduduk yang makin menganga.
Jika ditelusur secara sosiologis, unsur-unsur pembentuk masalah perkotaan itu pada akhirnya kembali kepada karakteristik kapital masing-masing wilayah atau negara. Flora (2013) membagi kapital ini ke dalam tujuh bentuk yang mempengaruhi perkembangan suatu wilayah menjadi urban, yaitu social capital, cultural capital, human capital, natural capital, financial capital, political capital dan built capital. Namun demikian, masalah perkotaan muncul dari perpaduan berbagai sumber daya kapital tersebut. Kompleks dan tidak sederhana untuk diuraikan, apalagi diselesaikan. Faktor sosial budaya (cultural and social capital) masyarakat menjadi sangat penting dan utama untuk digarap. Budaya ini menyangkut tata nilai, identitas, hingga gaya hidup dan perilaku sehari-hari. Memahami budaya masyarakat perkotaan ini menjadi kunci untuk memilih pendekatan pembangunan kota yang tepat. Dengan memahami budaya ini pula isu-isu sensitif seputar penataan kota, kebersihan sungai, penggurusan, pemukiman, pusat bisnis, ruang terbuka hijau, kawasan industri, kemacetan dan lain-lain diharapkan dapat dilakukan secara lebih humanis dan beradab.

05 November 2016

Community as a Psychological Reality

Mary F. Rousseau’s Book Review 

Yanu Endar Prasetyo
  
         
"Be what you is, because If you be what you ain’t, then, you ain’t what you is"


Community is a term that we often hear and read in the literature of social sciences. However, the sense of community can be very diverse depending on the viewpoint of the thinker. One of the books of philosophy that dissects the sense of community was written by Mary F. Rousseau from Marquette University, entitled "Community: The Tie that Binds". In the beginning of her book, Rousseau started her discussion on community with the linguistic approach (etymology) of the community, then, observed the empirical significance of the community inhuman existence, human relations and social groups that are more complex. The important answer about the tie that binds us as a community can be decomposed in a logical and empirical study of Rousseau's.