20 February 2008

etika islam dan semangat demokrasi




Apakah Demokrasi sejalan dengan Islam? inilah pertanyaan utama yang menggelisahkan banyak pihak. Lebih dari seribu empat ratus tahun yang lalu, Nabi Muhammad, pembawa risalah Islam, mengatakan bahwa semua manusia adalah sama, bagaikan gigi-gigi sisir. Seorang Arab tidak lebih mulia dibanding seorang non-Arab (ajam), pun seorang kulit putih atas kulit hitam, atau seorang pria atas seorang wanita. Hanya ketaqwaan seseorang yang menjadi pilihan disisi Tuhan (Suwardono, 2001:27). Pernyataan itu tentu saja menunjukkan perlawanan Nabi yang luar biasa atas setiap perlakuan tidak adil terhadap manusia. Gagasan itu tentu bukan bersumber dari Barat, melainkan dari keprihatinannya atas tatanan masyarakat feodal Arab kala itu (jahiliyah). Semangat itu kemudian menjadi nilai dasar yang mendorong kekuatan revolusioner-transformatif peradaban Islam. Kalau boleh disederhanakan, etika menghargai “kesamaan manusia” dimata Tuhan ini, sangat sejalan dengan spirit umum demokrasi yang kita kenal belakangan. Yakni menjunjung tinggi kebebasan hidup dan keadilan terhadap sesama manusia.

Akan tetapi, ternyata tidak semudah itu untuk mengatakan bahwa spirit Demokrasi dan Islam ini telah sejalan. Perjalanan peradaban Islam dan demokrasi itu telah berjalan demikian panjang dan kompleks. Islam mengandaikan dan memiliki sistem hidup sendiri. Begitu pula demokrasi, dipahami sebagai sebuah sistem yang berbeda atau di luar sistem hidup yang Islami. Entah karena persinggungan sejarah antara Barat dan Islam yang kemudian membuat jurang begitu lebar untuk keduanya bisa bertemu. Atau sesungguhnya, karena prasangka dan kerancuan pesepsi di antara yang mengaku penjuang demokrasi dan penjuang Islam itu sendiri yang menjadi penyebabnya.

Interpretasi yang muncul dari para pemikir Islam kontemporer, masih mengesankan kecurigaan yang dalam terhadap “demokrasi” Barat ini. Menurut sebagian pemikir Islam, demokrasi hanya dapat tumbuh dengan baik dalam masyarakat dengan civil society seperti Eropa atau Amerika. Ruh demokrasi Barat ini dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup dan kebudayaan masyarakat Timur (termasuk Amerika latin dan Asia Selatan). Demokrasi ala Barat dinilai bersifat Liberal, Individual, Sekuler, dan Egaliter. Sifat-sifat semacam itu tidak dikenal dalam sejarah peradaban Timur yang Komunal, Religius, dan Hierarkis. Penilaian sejarah semacam ini, tak ayal melahirkan kesimpulan sepihak yang serta merta menyatakan bahwa tidak ada demokrasi dalam Islam. Lebih lanjut, bukan rekonsiliasi yang diperoleh, melainkan semakin menajamkan perdebatan antara Islam dan Demokrasi ke dalam beberapa isu yang sangat sensitif.

Pertama, isu Islam vis a vis Barat itu sendiri. Islam di satu sisi dinilai sebagai peradaban yang kaku dan keras. Sementara Barat, di sisi lain meski dikenal memperjuangkan demokrasi, namun selalu berwajah hegemonik dan serakah. Kedua, isu Sekulerisasi. Perdebatan di sini mengacu pada pandangan umum bahwa demokrasi adalah sistem yang hanya mementingkan suara terbanyak. Padahal, sementara umat muslim berpegang teguh pada prinsip kedaulatan Tuhan. Setiap perselisihan harus diselesaikan dengan merujuk kembali pada kitab suci, bukan dengan cara voting. Begitu pun untuk soal kepemimpinan dan hubungan antara negara dan agama. Ketiga, isu Pluralisme. Sebagian pihak bersikukuh pluralisme bukan bertujuan menghasilkan toleransi antar-etnis atau antar-agama, melainkan “menyamakan semua agama”. Tentu ini bertentangan dengan dasar monotheisme (tauhid) dalam Islam. Meskipun, sebagian yang lain meyakini bahwa pluralisme adalah keniscayaan dan dianggap sebagai ujian bagi ketauhidan itu sendiri. Sebagaimana prinsip “Bagimu agamamu, bagiku agamaku” (QS.109:6) dan “Tidak ada paksaan dalam agama ini” (QS.2:256). Dari sini pula wacana multikulturalisme mulai bergulir di dunia Islam.

Keempat, isu Negara dan Civil Society. Perdebatan disini lebih pada aspek politik dalam membuat aturan main bermasyarakat. Di sini pula, kita nanti akan melihat metamorfosis dari gerakan-gerakan umat Islam. Dari gerakan kultural menjadi struktural, dari etis menjadi ideologis, dari moderat menjadi radikal, dan seterusnya. Juga pengalaman-pengalaman benturan antara negara dan Islam sebagai ideologi. Dalam kasus ini kita bisa belajar dari pengalaman Iran, Pakistan, dan Afganistan yang mendeklarasikan diri sebagai Negara Islam. Di Indonesia, maraknya usulan dan pelaksanaan perda syariat di era otonomi daerah, mungkin mengindikasikan bahwa bergaining dari civil society terhadap NKRI semakin tinggi.

Memahami Spirit Demokrasi

Demokrasi bukanlah hasil “cetakan” yang sudah jadi dan baku dalam pelaksanaannya. Tetapi, ia ibarat tanah liat yang mesin cetaknya adalah kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat dimana demokrasi itu berpijak. Inilah alasan, kenapa demokrasi tampil dengan wajah yang teramat beragam. Bila disebut sistem, maka ia merupakan sistem yang sangat kompleks. Demokrasi juga bukanlah dogma dengan perangkat-perangkat aturannya yang keras dan kaku. Sebagai paham, demokrasi justru terbuka dan memiliki kelenturan yang luar biasa dalam beradaptasi dan bebas untuk ditafsirkan oleh siapapun.

Demokrasi, dalam sejarah dan semangatnya tidak menyukai (meskipun mengakomodir) berbagai bentuk “ekstrim”. Baik ekstrim dalam ide maupun gerakan. Demokrasi senantiasa berjalan di tengah, di persimpangan, atau boleh dibilang ia selalu berada di suatu medan yang bersifat dinamis. Suatu area dimana dialog dan kompromi menjadi instrumen abadi untuk mencapai keseimbangan dan tujuan. Perhatian penuh terhadap “perlakuan kepada manusia”, menjadi intisari dan titik tekan dari demokrasi yang dinamis ini. Namun, karena Demokrasi berada di persimpangan, maka ia tidak dapat menghindar dari tarik ulur berbagai kepentingan. Di suatu waktu, demokrasi memang tampil sebagai nilai-nilai moral yang melandasi pergaulan dalam masyarakat. Namun, di rentang waktu yang lain, demokrasi pernah pula di klaim dan direduksi menjadi sekedar propaganda ideologis. Pengalaman ini, muncul tatkala beberapa negara liberal menganggap bahwa dunia sedang terancam oleh “hantu” komunisme.

Dari kacamata Friedman (1962) dalam Budiman (2002:41), demokrasi adalah anak kandung pasar bebas yang kapitalistik. Artinya, kebebasan politik berhubungan erat dengan kebebasan ekonomi. Munculnya sistem politik yang demokratis erat kaitannya dengan perkembangan kapitalisme itu sendiri. Ini terjadi di negara-negara seperti Inggris, Amerika, dan beberapa bagian Eropa. Oleh karena itu, bagi negara dunia ketiga yang belum “mapan” kapitalismenya, sistem yang demokratis itu juga belum bisa dilahirkan.

Titik fenomenal dalam perjalanan demokrasi di dunia adalah dengan ditandatanganinya Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights) oleh 48 negara di dunia pada Desember 1948 di forum PBB. Inilah pertama kalinya, kesepahaman tentang hak asasi manusia disepakati di secara bersama-sama di atas planet bumi ini. Sehingga hari ini, kita bisa menyaksikan orang dengan bebas membaca, berbicara, dan menuangkan gagasan-gagasannya di muka umum. Kita melihat di satu sisi tumbuh berbagai media yang pro-pemerintah, dan di waktu bersamaan, hidup pula media yang kritis terhadap pemerintah.

Mayoritas masyarakat dan bangsa-bangsa pada hari ini, telah terbiasa untuk menerima perbedaan pendapat, termasuk perbedaan ras, agama, suku bangsa, adat istiadat, dan sex. Semangat demokrasi yang semula hanya benih, kini telah tumbuh dan bersemi dimana-mana. Padahal, kondisi semacam ini mungkin tidak diperoleh oleh orang-orang yang hidup beberapa abad yang lalu. Mereka tidak sempat merayakan hak-haknya sebagai manusia secara lengkap. Meskipun, hingga hari ini, kebebasan semacam itu masih menjadi mimpi dan harapan saudara kita di beberapa bagian di belahan bumi ini.

Islam Etis atau Ideologis ?

Secara historis, Islam dapat didefinisikan sebagai teologi revolusioner yang berguna untuk memperbaiki moralitas manusia yang bobrok (Kurdi, 2000:4). Moralitas bobrok dalam hal ini adalah kebejatan akhlak, materialisme, tirani politik, eklesiastikal (kependetaan), dan despotisme bangsa Arab, Romawi, dan Persia pada masa itu. Sehingga, kehadiran Islam pada masa awal adalah dalam rangka membebaskan manusia dari kelaliman raja-raja imperium Romawi dan Persia yang berdaulat secara absolut dan sewenang-wenang. Kehadiran Islam ini membawa spirit keadilan dan persamaan bagi semua orang (Kurdi, 2000:1). Sehingga, ciri Islam sejati atau yang sesungguhnya adalah pemembelaannya terhadap keadilan dan kebebasan.

Perjuangan etis-universal Islam ini pun tercermin jelas dari perintah Tuhan kepada Nabi Muhammad, yang tidak lain adalah untuk memperbaiki moralitas umat manusia. Cerita para Nabi tersebut, senantiasa diwarnai kisah pembangkangan dan keangkuhan kaum elit atau bangsawan yang menolak risalah Tuhan. Penolakan tersebut bukan berarti mereka tidak percaya kepada Tuhan. Melainkan, karena konsekuensi dari menerima aturan Tuhan itu adalah berarti pengakuan besar-besaran terhadap persamaan, keadilan, dan kemerdekaan sesama makhluk Tuhan. Keserakahan dan kesombongan manusia tentu tak mengijinkan hal ini terjadi.

Tak ayal, kebangkitan para Nabi untuk melawan struktur sosial dan tirani kekuasaan yang menindas, menjadi teladan yang menginspirasi perjuangan umat Islam selanjutnya. Termasuk, menjadi landasan argumen bagi para penganut teologi pembebasan yang kita kenal belakangan. Dalam teologi pembebasan, agama bukanlah candu yang melenakan manusia dari melawan penindasan. Tetapi sebaliknya, agama adalah instrumen penting bagi perlawanan terhadap setiap bentuk ketidakadilan. Jadi, spirit kebebasan dan keadilan terhadap manusia ini sudah ada sebelum dan disempurnakan dengan kehadiran Muhammad sebagai penutup para Nabi. Sepeninggal Nabi Muhammad, Tuhan tidak menurunkan Nabi lagi, melainkan memberikan manusia pegangan berupa Al Quran dan As Sunnah yang dapat disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam Islam.

Umat muslim, dimanapun dan kapanpun, akan senantiasa membutuhkan Al Quran dan As Sunnah ini untuk menjalankan hukum-hukum (syariah), baik untuk berhubungan dengan Tuhan, maupun berhubungan dengan manusia dan alam. Kebutuhan menjalankan hukum inilah – kalau boleh disederhanakan – yang kemudian melahirkan dua kutub polarisasi umat Islam di dunia. Kelompok pertama, adalah mereka yang menginginkan pelaksanaan syariat ini secara formal (ideologis). Bila perlu Negara, dengan kekuatan memaksanya, turut campur tangan secara penuh dalam urusan ini. Sebaliknya, kelompok kedua adalah mereka yang menghargai pluralitas, sehingga berkeyakinan bahwa syariat harus dijalankan secara suka rela tanpa paksaan dan tekanan (sekulerisasi). Tidak ada institusi, bahkan negara sekalipun, yang boleh memaksakan aturan-aturan hukum ini kepada individu pemeluk agama.

Kedua kutub inilah, yang kemudian mewarnai dinamika politik umat Islam hingga saat ini. Di satu pihak, Islam diletakkan sebagai nilai-nilai etis dan pegangan hidup umat manusia secara universal. Sementara, di pihak yang lain, Islam adalah ideologi yang diperjuangkan mati-matian untuk penegakkan hukum dan aturan Tuhan di muka bumi. Tentu saja melalui wakil-wakil-Nya yang harus tunduk kepada Al Quran dan As Sunnah. Keduanya memiliki argumen yang bernas dan kuat. Namun, jika dilihat lebih jernih, persinggungan peradaban seharusnya tidak melulu meninggalkan luka dan kemarahan. Seharusnya kita lebih banyak belajar dari sejarah. Dunia bukan hanya hitam dan putih semata. Akhirnya, semua akan kembali lagi pada pilihan sikap kolektif kita sebagai sebuah bangsa yang multireligi dan multikultural ini. Wallahu’alam

DILEMA CANDU ROKOK ...

Awal tahun 2008, muncul lagi peraturan pemerintah yang menekan industri rokok. Kali ini datang dari Menteri Keuangan, melalui Permenkeu No. 134/PMK.04/2007. Isinya tentang kenaikan Tarif Cukai Rokok Hasil Tembakau per 1 Januari 2008 (Media Indonesia, 09/01/08). Bukan hanya menekan, peraturan baru tersebut juga dinilai sangat memukul industri rokok kecil di daerah. Dampak ekonominya, pabrik-pabrik rokok gurem tersebut kemungkinan besar gulung tikar. Sementara, dampak sosialnya, ribuan buruh pun telah dan sedang terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Artinya, pengangguran akan meningkat, dan masalah-masalah sosial lainnya otomatis pula akan bertambah.

Sebelum ini, Pemprov DKI bahkan juga telah mengeluarkan Perda yang melarang perokok merokok di tempat-tempat umum. Bagi mereka yang tetap bandel, bisa dikenai sanksi berupa denda uang atau kurungan. Pada awal-awal kampanye Jakarta bersih dari asap rokok ini, banyak yang terkena razia karena kedapatan merokok di tempat umum. Namun lambat laun, tidak terdengar lagi kabar tentang penegakan peraturan ini. Baik dari segi efektifitas, dampak, maupun hasil yang diperoleh. Tidak terdengar hasil evaluasinya. Dua dari sekian banyak aturan tentang rokok ini, tentu menggelitik kita untuk berefleksi. Mengapa meski peraturan tentang rokok ini begitu ketat, namun rokok tidak pernah kehilangan penggemarnya. Bahkan tetap dan semakin populer. Baik dikalangan orang dewasa, remaja, hingga anak-anak.

Bagi negara, dalam hal ini pemerintah, keberadaan industri rokok memang dilematis. Di satu sisi, industri rokok yang dimulai dari perkebunan tembakau, pabrik pelintingan dan pengemasan, hingga pemasaran produk, memberikan masukan pendapatan yang besar bagi negara. Disamping pajak, industri rokok juga telah menyediakan lapangan kerja bagi ratusan ribu penduduk. meski di sisi lain, negara juga dituntut untuk berpikir, bagaimana melindungi rakyatnya dari bahaya kesehatan akibat merokok? Maka dari itu, muncul kesan “bermuka dua” dan “setengah hati” dari pemerintah dalam menangani urusan rokok. Lalu, siapa yang lebih dibela oleh negara dalam pertarungan dilematis ini? Kesehatan masyarakat atau industri rokok?

Mungkin kita sudah begitu akrab dengan pesan bahwa : “Merokok dapat mengakibatkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin”. Namun, untuk sementara, terbukti bahwa kampanye peringatan pemerintah atas bahaya rokok tersebut tidak efektif. Artinya, pesan pemerintah itu tidak menyurutkan minat seseorang untuk tetap merokok. Penelitian FKM UI mencatat 42,5% masyarakat orang menganggap pesan itu tidak terbukti kebenarannya. Bahkan 25% lebih menyatakan tidak peduli dengan peringatan itu, karena sudah terlanjur kecanduan (Media Indonesia,09/01/08). Mengapa begitu sulit mengubah persepsi para perokok akan bahaya kesehatan akibat aktivitas merokok ini?

Padahal, jika kita telusuri, para pengusaha rokok bahkan telah dilarang untuk menampilkan gambar rokok atau orang yang sedang merokok dalam iklan produknya. Akan tetapi, larangan ini ternyata tidak menghentikan bermunculannya merk-merk rokok baru. Tekanan itu justru memacu pengusaha rokok untuk menciptakan iklan yang sangat kreatif dan inspiratif. Tengoklah jargon “Nggak ada loe nggak rame”, atau “tanya kenapa?”, dan “ kapan kawin? Enjoy aja” adalah sederet hasil kreativitas industri rokok yang begitu melekat di benak masyarakat. Penyamaran benda rokok dalam iklan, ternyata tidak menjauhkan rokok dari para penghisapnya.

Dalam film Thank You For Smoking (2001), ketika rakyat Amerika memprotes besar-besaran kehadiran rokok di tengah masyarakat, para pengusaha rokok yang memiliki uang berlimpah itu, memutar otak untuk mencari cara. Akhirnya, mereka mengalah tidak mengiklankan rokok di televisi, melainkan menyusupkan ke dalam industri film Hollywood. Caranya, mereka rela membayar mahal aktor yang bersedia melakukan adegan menghisap rokok dalam film yang mereka bintangi. Mungkin, sejak itulah kita akrab melihat cerutu dihisap bos-bos mafia atau para bintang idola dalam film-film Hollywood yang kita tonton. Meski samar-samar, tapi sosialisasi ala industri rokok seperti inilah, yang ternyata efektif melawan pesan bahaya dari pemerintah.

Dimensi Psikososial Perokok

Dalam kenyataan sosiologis, rokok besar dan dibesarkan oleh lingkungan pergaulan. Tidak hanya diperkenalkan dari mulut ke mulut, budaya merokok bahkan telah diwariskan turun menurun. Bukan hanya para pria, nenek-nenek kita jaman dahulu, selain dengan kinang sangat akrab dengan rokok. Karena budaya orang dewasa yang suka mengunyah dan menghisap sesuatu dalam mulut inilah, mungkin beberapa orang membenarkan teori Sigmund Freud tentang fase oral yang tidak sempurna di masa kecil. Kemudian, di jaman modern, tumbuh persepsi yang mengatakan bahwa rokok adalah sarana keakraban dalam pergaulan. Rokok menjadi bagian gaya hidup (life style) seseorang. Lebih dahsyat dari itu, kian hari rokok kian tidak mengenal batasan umur. Meski dengan sembunyi-sembunyi, banyak sekali anak SD atau SMP sudah pernah mencicipi rokok. Lalu, di usia SMA dan seterusnya, mereka mulai menjadi perokok aktif. Ini semua akibat dari lingkaran pergaulan dan sosialisasi di tengah masyarakat.

Betapa mudah kita menemukan kios rokok di pinggir-pinggir jalan. Anak-anak muda, khususnya yang gandrung menyaksikan konser musik, dapat dipastikan memperoleh tiket plus satu bungkus rokok dari sponsor. Kompetisi sepakbola, sebagai olah raga paling populer di dunia, di negeri ini penyelenggaraannya pun disponsori oleh perusahaan rokok! Di sepanjang jalan yang kita lalui, papan iklan dan baliho didominasi oleh merk-merk rokok terkenal. Jika demikian, bagaimana otak masyarakat kita bisa lepas dari kehadiran rokok. Padahal, kunci melawan rokok bukanlah dengan iklan yang gencar atau menakutkan (misal memasang iklan foto penderita kanker akibat merokok), melainkan bagaimana mengubah berbagai persepsi yang telah mengakar kuat tersebut?

Bagi mereka yang ingin melawan rokok, harus melakukan demitologisasi persepsi. Misalnya terhadap anggapan bahwa mebrokok membuat otak encer, mengurangi ketegangan, dan berpikir menjadi lebih lancar. Di kalangan ribuan santri tradisional di Indonesia, rokok dianggap dapat memperkuat ingatan atau hafalan. Sugesti ini diperoleh dari para senior, panutan, atau kyai mereka yang juga menggemari rokok. Selain itu, mengkonsumsi rokok dianggap tidak mempengaruhi ekonomi rumah tangga seseorang. Padahal, jika benar-benar dihitung, maka pengeluaran untuk rokok sungguh sangat signifikan. Demikian pula di sekolah-sekolah, masih ada saja guru yang tanpa berdosa merokok di depan murid-muridnya.

Untuk melawan itu semua, salah satu cara yang dapat ditempuh misalnya dengan membangun komunitas atau keluarga-keluarga anti rokok. Dari komunitas atau keluarga tersebut, diharapkan terjadi gerakan sosial yang bergelombang. Tentu ini membutuhkan kesadaran dan stimulus, baik dari negara maupun dari individu-individu. Di sisi lain, pemerintah bertugas memacu pertumbuhan ekonomi guna membuka lapangan pekerjaan yang lebih luas. Sehingga, ratusan ribu buruh linting di negeri ini, bisa memiliki alternatif pekerjaan selain dari pabrik rokok tersebut.

Tentu ini bukan persoalan sederhana. Tidak selamanya pula industri rokok itu menyebar penyakit dan merusak kesehatan. Seperti kita lihat, industri rokok juga telah menerapkan Corporate Social Responcibility (CSR), jauh-jauh hari sebelum orang-orang ramai membicarakan konsep CSR ini. Banyak beasiswa sosial, pendidikan, kesehatan, olahraga, dan lain-lain yang disumbangkan oleh industri rokok. Meskipun, persentasenya tidak sebanding dengan bahaya yang ditimbulkannya. Mungkin, pemerintah kita dapat meniru model kompromi dan kompensasi antara swasta dengan negara, seperti yang diterapkan di Eropa. Mereka memacu bidang olahraga atau kebudayaan lainnya dengan melibatkan perusahaan swasta besar, termasuk industri rokok. Setiap perusahaan yang mensponsori dan memajukan olahraga dan sebagainya, ia mendapatkan potongan pajak dari pemerintah. Dengan demikian, industri besar akan berlomba memajukan berbagai bidang, seperti olahraga, yang semula menjadi tanggung jawab negara. Maka dari itu, upaya yang harus dipikirkan bukanlah dengan menutup atau terus mencekik industri rokok. Melainkan, bagaimana mengatur semua hal dalam proporsinya yang adil. Pemerintah wajib terus menyampaikan segala informasi terkait bahaya rokok kepada masyarakat. Karena, informasi yang benar adalah hak bagi setiap warga negara.

Mengingat kesehatan adalah harta paling berharga dan tak ternilai di dunia ini, maka kurang bijak jika menyerahkan tanggung jawabnya hanya kepada pemerintah. Kita sendirilah yang wajib menjaga kesehatan pribadi dan keluarga kita. Merokok atau tidak, bukanlah sekedar pilihan. Melainkan lebih dari itu, menunjukkan seberapa besar tanggung jawab kita pada hidup dan kehidupan!