21 April 2010

Manajemen Copet

Beberapa hari yang lalu (15/04/2010), satu lagi film terbaik karya anak bangsa diputar di bioskop. Kali ini berjudul “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”. Salah satu yang paling berkesan dari film tersebut, khususnya bagi penulis, adalah tema cerita yang diangkat. Cerita tentang seorang sarjana manajemen (Muluk) yang gagal melamar berbagai pekerjaan di kantoran. Hingga akhirnya ia memutuskan menjadi manajer kelompok pencopet. Penghasilan belasan anak yang berprofesi sebagai pencopet itu dia kelola, sampai akhirnya mereka memiliki modal cukup untuk menjadi pengasong. Uniknya, ketika orang tuanya bertanya tentang pekerjaannya, “kamu bekerja di bagian apa?” dengan ragu bercampur khidmat Muluk menjawab “ bagian Manajemen Sumber Daya Manusia, pak”.


 
Tulisan ini bukan bercerita tentang kelebihan dan kekurangan film (fiksi) itu sendiri, melainkan mencoba menelaah relevansi pesan yang disampaikan terhadap kondisi masyarakat kita saat ini. Pelajaran pertama adalah betapa pendidikan, termasuk pendidikan untuk menjadi calon manajer, tidak serta merta mendapatkan tempat yang semestinya di negeri ini. Mungkin akibat dari implementasi pendidikan itu sendiri yang tidak sesuai dengan filosofinya menjadikan insan yang utuh dan bermartabat. Atau mungkin juga karena secara individual para sarjana kita memiliki achievment dan kemampuan membaca peluang yang kurang memuaskan. Pada kenyataannya, para manajer sukses dan ternama justru diisi oleh mereka yang dulunya tidak mengenyam bangku pendidikan kredensial yang memiliki slogan dan simbol sedemikian gagah.

 Sebagai ilustrasi, ada jutaan usaha mikro di negeri ini yang setiap hari jatuh bangun dan mengalami persoalan pelik dalam hal keberlanjutan usahanya. Sementara itu, setiap tahunnya pula, ratusan perguruan tinggi menelorkan ribuan sarjana-sarjana berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu manajemen, yang berlomba meraih karir tertingginya sebagai seorang manajer. Namun sayangnya, orientasi para sarjana kita ini, entah karena hasil pendidikan atau sebab wawasan mereka, justru bukan menuntaskan persoalan usaha mikro yang ditunggu jutaan rakyat ini. Nampaknya sebagian besar masih terpaku dan terpukau untuk menjadi “karyawan” di perusahaan besar. Mereka adalah sarjana yang masih terkungkung dalam paradigma “ingin digaji”, bukan “ingin menggaji” sebagaimana sifat dasar seorang entrepeneur. Jika pola pikir lama ini yang menghantui para sarjana kita, kemungkinan untuk frustasi (seperti kisah muluk) di jaman ini sangat besar. Dampaknya, kontribusi para sarjana terhadap program-program pro-poor, pro-job, dan pro-growth yang telah dicanangkan Pemerintah nampaknya akan makin sulit terealisasi.

Beberapa permasalahan yang selama ini merepotkan usaha mikro semestinya bisa dijembatani oleh para sarjana manajemen, misalnya soal manajemen finansial, manajemen teknologi, dan manajemen pemasaran. Dalam hal pengelolaan finansial, penulis menemukan di lapangan bahwa sebagian besar usaha mikro yang baru dimulai oleh masyarakat tidak memiliki pembukuan transaksi keuangan yang memadai. Ini wajar karena keterbatasan ilmu dan informasi serta masih belum terinternalisasinya kebiasaan mencatat. Akibatnya, seringkali para pelaku usaha mikro ini mencampuradukkan uang pribadi dengan uang usahanya. Lebih jauh, ketiadaan catatan keuangan membuat mereka kurang mampu meyakinan pihak-pihak pemberi modal, seperti Bank, bahwa usaha mereka layak diberi pinjaman. Soal pembukuan sederhana tentu sudah menjadi makanan ringan di bangku-bangku kuliahan, bukan?

Persoalan selanjutnya adalah manajemen teknologi. Sebagai peneliti yang bekerja di lembaga penerapan teknologi tepat guna, penulis seringkali mendengar keluhan pelaku UMKM seputar teknologi yang mereka butuhkan, mulai dari minimnya informasi, sulitnya akses (khususnya di pedesaan), mahalnya peralatan, dan repotnya pemeliharaan. Ketika teknologi seperti peralatan yang biasa digunakan itu rusak, akan membuat produksi sekonyong-konyong terhenti. Seringkali mereka tidak menyiapkan anggaran untuk perbaikan dan pemeliharaan teknologi. Akibatnya tentu mengganggu kontiunitas produksi dan kualitas produk menjadi tidak stabil. Lebih lanjut, keberadaan produk di pasar menjadi timbul tenggelam dan pada akhirnya mengurangi kepercayaan konsumen atau pasar itu sendiri. Pemilik usaha yang hanya berbekal intuisi dan jarang melakukan estimasi terhadap kemampuan teknologinya, tentu akan sangat membutuhkan saran dan masukan jitu dari para sarjana manajemen.

Lebih krusial lagi adalah persoalan pemasaran. Banyak usaha mikro yang sudah berjalan puluhan tahun, namun tidak mampu berkembang secara memuaskan. Salah satunya karena penguasaan pasar yang itu-itu saja dan tiadanya strategi pemasaran yang terencana. Baik untuk produk olahan pangan, kerajinan, hingga jasa seringkali mentok dalam upaya memperluas pasar, apalagi bagi usaha mikro yang baru berjalan. Tidak semua usaha mikro memiliki kesempatan menampilkan produknya pada berbagi pameran atau ditopang oleh progam-program instansi pemerintah. Mereka yang bergelar konsultan pemasaran maupun manajemen pun pastinya lebih memilih menangani perusahaan-perusahaan besar yang lebih beruit dan bergengsi. Seminar, training, workshop, dan sumber-sumber informasi untuk meningkatkan kapasitas pengusaha, banyak yang bertarif mahal dan tak terjangkau kocek. Tidak ada tempat mengadu bagi usaha kecil milik rakyat ini.

Betapa elok seandainya semenjak di bangku kuliah para calon sarjana manajemen ini diarahkan untuk turun tangan mengorganisir, mengelola, dan mendampingi ribuan usaha mikro di sekitar mereka. Memang usaha semacam ini tidak mudah. Perlu dibangun kemampun dan kepercayaan sebagai modal awal. Sehingga, ketika lulus mereka bukan saja mampu memecahkan kebuntuan jutaan usaha mikro atau kecil, melainkan mampu mengubah profesi kriminal dan haram – seperti mencopet – menjadi profesi yang lebih bermartabat melalui skill manajerial mereka. Bukan sebaliknya, mengejar karir yang begitu tinggi, masuk ke instansi-instansi pemerintah, dan bahkan menjadi konsultan-konsultan manajemen, tapi pada akhirnya hanya mendapatkan gelar sebagai seorang koruptor yang berpendidikan. Alangkah lucunya kita :D



2 comments:

  1. sip deh. calon mahasiswa kapan mulai kuliah? kapan2 mampir ke hastiyanto.wordpress.com. blog serius ku yang baru.

    ReplyDelete