Oleh : Yanu Endar Prasetyo
Kenangan saya terhadap Prof. Egum tidak hanya terekam
dalam pikiran saja melainkan sudah membekas di lubuk hati yang terdalam.
Meskipun saya bukan mahasiswa atau murid Beliau secara langsung di bangku
perkuliahan, tetapi perkenalan dengan Beliau telah memberikan pelajaran sangat
berharga dan tak terlupakan. Beliau bukan hanya berjasa kepada saya (yang
bahkan waktu itu beliau tidak kenal siapa saya) tetapi juga salah seorang yang
menginspirasi saya untuk menjadi pembelajar - dan utamanya - menjadi manusia
dengan kepribadian yang jauh lebih baik.
Perkenalan saya dengan Prof. Egum dimulai pada tahun
2009. Pada waktu itu saya menjadi ketua panitia seminar nasional Grass Roots Innovation (GRI) di Sabuga,
Bandung. Pada saat itu tidak banyak narasumber nasional yang dianggap cocok
untuk berbicara GRI, sebab isu GRI masih dianggap “baru” bagi kalangan
akademisi di Indonesia, meskipun tema ini sudah demikian maju di India dan
China. Salah satu – kalau tidak dibilang satu-satunya – narasumber yang paling concern dan memiliki track record mendalami topik ini adalah
Prof. Egum. Maka kami putuskan untuk mengundang beliau sebagai narasumber utama
dalam seminar nasional tersebut. Yang berkesan bagi saya bukan hanya soal
penguasaan materi, keberpihakan dan pengalaman beliau terhadap GRI, tetapi
bahkan dari hal terkecil bagaimana beliau “melayani” permintaan dan
pertanyaan-pertanyaan dari saya yang bagi Profesor atau orang super sibuk
lainnya mungkin akan dianggap sepele, remeh temeh dan tidak penting.
“Tanyakan saja pada
sekretaris atau asisten saya ya” itu perkataan yang sering saya dengar ketika
mengundang narasumber penting lainnya. Tetapi tidak dengan prof. Egum. Beliau
tidak pernah sekalipun tidak menjawab pesan pendek dari orang biasa seperti
saya. Bahkan beliau dengan sangat rendah hati meminta maaf jika tidak sempat
mengangkat telepon atau sms di hari sebelumnya. Sungguh sebuah sikap rendah
hati dan jiwa melayani serta mendidik yang sangat matang dari seorang Guru
Besar seperti Prof. Egum. Tidak hanya itu, dalam pertemuan tatap muka ketika seminar
berlangsung beliau sangat ramah, murah senyum dan tidak pernah sekalipun
mempermasalahkan soal fasilitas atau tetek
bengek apapun yang biasanya selalu ditanyakan oleh narsum seminar. Bahkan
untuk menyerahkan honor narasumber saja saya dan bendahara panitia harus
berlari mengejar beliau yang dengan cepat bergegas keluar gedung untuk mengejar
acara beliau selanjutnya. Tanpa jemputan beliau datang dan tanpa mempedulikan
honor beliau meninggalkan demikian banyak ilmu dan pesan bagi peserta seminar. “Pak Egum ini bukan orang biasa” batin
saya.
Setelah perkenalan dan pertemuan dalam seminar tersebut,
sepertinya takdir ingin mempertemukan kami (yang memiliki jarak usia 30 tahun) secara
lebih dekat. Awal tahun 2010 muncul kesempatan bagi saya untuk melanjutkan
studi S2 dengan beasiswa dari Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT).
Pada saat seleksi awal tersebut, setiap calon karyasiswa diminta untuk membuat
proposal dan mendapatkan promotor yang sesuai dengan bidangnya. Tanpa berpikir
panjang, saya ikut mendaftar dengan tujuan untuk mendalami GRI sekaligus
menjadi murid dari Prof. Egum, tokoh GRI Indonesia. Saat itu saya berkomunikasi
cukup intensif baik melalui surat, email, sms, maupun telepon. Dengan sabar
beliau memotivasi dan menjawab setiap pertanyaan saya. Saya pun memutuskan
untuk mendaftar di Magister Manajemen Bisnis (MB) IPB, salah satu tempat dimana Prof.
Egum mengajar dan mendedikasikan ilmunya.
Selembar fax tiba di kantor, isinya adalah “surat
kesediaan menjadi pembimbing” dari Prof. Egum. Luar biasa senang hati saya
waktu itu. Sungguh kebaikan Prof. Egum sangat memotivasi saya. “Dengan surat dari orang besar ini mungkin
akan memudahkan proposal saya diterima” pikir saya waktu itu. Mungkin iya,
mungkin tidak. Yang jelas proposal saya diterima, Baik di KNRT maupun di MB IPB.
Saya pun mendaftar ke MB IPB, mengikuti berbagai tes ujian masuk sampai
akhirnya MB IPB menerima saya. Tapi bagai disambar petir di siang bolong,
tiba-tiba saja ada telepon dari pengelola beasiswa KNRT bahwasanya jurusan yang
saya ambil (MB IPB) tidak dapat dibiayai oleh beasiswa dikarenakan bukan
perkuliahan regular (kelas profesional) yang artinya biaya kuliahnya dua kali
lipat dari IPB regular. Pemberi beasiswa menolak dan menyarankan saya untuk
pindah ke jurusan pascasarjana yang regular.
Dalam kondisi cukup panik, akhirnya saya putuskan untuk mendaftar
di jurusan Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia IPB. Disitulah letak
ego anak muda seperti saya muncul. Apa yang sudah diusahakan bersama dengan
Prof. Egum seolah menjadi sirna. Padahal seharusnya saya segera memberi kabar
kepada Beliau tentang perubahan jurusan dan lain sebagainya itu. Tetapi saya
justru sibuk “menyelamatkan diri” agar segera diterima di jurusan yang baru dan
bisa dikatakan komunikasi dengan Prof. Egum menjadi terputus. Padahal saya tahu
persis, ketika akan menerima saya sebagai mahasiswa bimbingan tersebut posisi
Prof. Egum sedang penuh oleh mahasiswa bimbingan. Artinya, untuk menerima saya
Beliau harus segera meluluskan salah satu dari puluhan mahasiswa bimbingannya.
Tapi saya justru melenggang begitu saja tanpa kabar.
Sejujurnya, sepanjang kuliah S2 saya seringkali terusik
oleh rasa bersalah tidak segera menemui Prof. Egum untuk menjelaskan kenapa
saya tiba-tiba “menghilang”. Sampai akhirnya, hampir dua tahun setelah itu,
pada akhir tahun 2012 ada kesempatan tak terduga yang mempertemukan kami
kembali, yaitu pada seminar internasional GRI di Yogyakarta. Pada waktu itu
saya membantu teman-teman panitia sekaligus berdoa agar ada kesempatan untuk
meminta maaf dan menyampaikan penyesalan secara langsung pada prof Egum. Doa
saya terkabul, momen itu datang ketika saya bisa bersama beliau berdua saja dalam
satu lift menuju ruang FGD. Disitulah saya meminta maaf dan menceritakan semua
proses tersebut. Saya pikir Prof. Egum akan kesal dan kecewa dengan saya.
Tetapi justru sebaliknya, sebuah reaksi yang tidak saya duga. Dengan senyum
yang ramah beliau justru mengucapkan selamat atas kelulusan saya. Sama sekali
tidak terpancar kekecewaan. “Mau lanjut
ke Malaysia nggak mas? Lagi banyak beasiswa nih kesana” Prof. Egum justru
menawarkan kesempatan yang lebih besar pada saya. Saya yang telah mengecewakan
beliau (karena menghilang tanpa kabar) justru ditawari kesempatan untuk S3
melalui koneksi beliau! Subhanallah,
jika bukan manusia yang berjiwa besar dan bijaksana, tidak mungkin sifat pemaaf
dan pemurah seperti itu bisa melekat pada diri Prof. Egum.
Saya tidak mengiyakan maupun menolak tawaran baik beliau.
Di satu sisi saya takut mengecewakan beliau untuk kedua kalinya, dan di sisi
lain memang keinginan saya untuk mengabdi terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum
melanjutkan pendidikan kembali. Itulah pertemuan terakhir saya dengan Guru
Besar yang rendah hati, pemaaf dan bijaksana ini. Tahun ini kami (LIPI) ada
seminar lagi dan ingin mengundang beliau menjadi salah satu pakar. Namun, belum
juga kesempatan belajar tatap muka itu hadir kembali, Allah SWT telah memanggil
beliau terlebih dahulu. Saya yakin, Allah SWT sangat mencintai beliau melebihi
kekaguman kita pada Prof. Egum. Semoga saya dan kita semua yang ditinggalkan
mampu meneladani keluhuran ilmu dan budi Prof. Endang Gumbira Sa'id ini.
Selamat jalan Prof!
Subang, 12 April
2014
Saya lagi hunting buku manajemen agribsnis dari beliau, kebaca deh tulisan pak prasetyo :). Rada sulit dapat buku beliau tersebut :)
ReplyDeleteSemoga bisa lekas menemukan buku beliau ya! salam sukses:)
DeleteSaya pernah diajar beliau di MB-IPB. Memang rugi rasanya jika saat MK yang beliau bawa kita gak masuk kuliah. Jika kita datang pagi dan menunggu utk kuliah di lobby, ketika bekiau datang, maka beliau lah yang malah menyapa selamat pagi lebih dulu ke kami.. Sapaannya ke mahasiswa adalah..dek.. Mas.. Mbak..
ReplyDeleteBeliau sosok yg ramah. Semoga almarhum diberikan tempat yg mulia di sisi Allah SWT. Aamiin
ReplyDelete