Oleh : Yanu Endar Prasetyo
Social Engineer & Pegiat TRPIP Subang
Ada dua hal yang
membuat Saya menulis esai pendek tentang topik yang mungkin sedang menjadi isu
“panas” sekaligus “sensitif” di Kab. Subang ini. Pertama, momentum meninggalnya Indonesianis terkemuka, penulis buku
“Imagined Communities”, Prof. Bennedict Anderson. Ia adalah salah satu pemikir serius
yang mendalami studi soal nasionalisme dalam arti luas dan sempit. Sebuah
kerangka paradigmatik untuk mengupas “konflik” antara nasionalisme dan
kedaerahan, antara penyeragaman dan otonomi serta relasi antara identitas
bersama (bangsa) dan identitas individu (etnis).
Dengan pisau
analisis ini penulis tergelitik untuk meletakkannya dalam konteks perebutan
hegemoni di level regional-lokal yang menyeruak. Misalnya, wacana penggantian
nama provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Pasundan, pasang surut isu pemekaran wilayah
Cirebon dari Jawa Barat, bahkan termasuk polemik identitas “sampurasun” vs
“campur racun” yang hangat diperbincangkan di media sosial kita belakangan ini.
Kedua, tentu saja
pasang surut wacana pemekaran Pantura Subang itu sendiri yang dalam satu dekade
belakangan terus muncul dan tenggelam dalam diskursus politik di Kabupaten
Subang khususnya. Dalam konteks terakhir inilah tulisan ini dibuat. Tidak
bermaksud memperkeruh keadaan, namun tulisan ini mencoba mengurainya secara
reflektif-sosiologis bagaimana isu ini bisa muncul, dikelola dan berbagai
faktor yang patut dipertimbangkan oleh para elit dan lini massa yang
berkepentingan di dalamnya.
Secara sosiologis,
wilayah teritorial Kabupaten Subang yang terbagi dalam tiga bentang
agro-ekologis yang berbeda (pesisir-pantura, persawahan-urban dan pegunungan) ini,
nampaknya juga melahirkan tiga pola besar sentimen kewargaan yang berbeda.
Kesadaran penduduk yang secara administratif bernama Kabupaten Subang ini
sesungguhnya “terbelah” ke dalam tiga konstruksi identitas, yaitu sebagai “wong kaler” (orang utara, warga pantura,
jawa sawareh), “urang subang” (orang kota, pusat pemerintahan, hasil akulturasi
ekonomi-budaya-politik yang relatif heterogen) dan “urang tonggoh” (orang selatan, daerah atas/gunung, orang Sunda asli,
relatif homogen). Eksisnya ketiga tafsir dan identitas kedaerahan ini
sebenarnya sudah disadari betul oleh para elit dan penguasa daerah Subang, oleh
karenanya basis-basis wilayah konstituen pun selalu dibagi ke dalam tiga zona
tersebut. Sehingga pendekatan komunikasi politik pun akan disesuaikan dengan
ketiga karakteristik kultural yang berbeda ini.
Dengan peta
identitas kultural semacam itu, pengaruhnya tentu saja mampu mewarnai
kontestasi atau perebutan kekuasaan di Kabupaten Subang. Era Reformasi, Otonomi
Daerah, ditambah lahirnya UU Desa yang makin menurunkan konflik perebutan kuasa
di level terbawah (desa) terus menyemai suburnya isu “pemilik sah wilayah”,
“penduduk asli” dan “pemilik asli” yang konon lebih berhak mengelola dan
menikmati hasil pembangunan serta pemanfaatan sumber daya di wilayahnya
tersebut. Pertanyaannya, siapa pemilik asli tersebut? Siapa yang lebih kuat
memberi penekanan dan hegemoni atas wilayahnya? Tafsir dan definisi antara
penduduk “asli” dan “non-asli” ini kemudian secara otomatis akan merembet dalam
sentimen negatif antara “penduduk asli” dan “pendatang”.
Dalam konteks ini,
dapat diimajinasikan, bahwasanya pemerintahan dengan segala isinya (sebagai
gula yang diperebutkan) yang saat ini berada di Subang Kota yang heterogen
sebagai hasil konstruksi-akulturasi warga asli dan pendatang yang hidup
berdampingan, sedang diperebutkan oleh warga pendatang (wong kaler, dimana mayoritas warganya adalah pendatang, dengan
bahasa sehari-hari yang bukan Sunda, melainkan Panturaan) versus warga asli (urang tonggoh, dimana mayoritas warganya
merupakan etnis Sunda dan berbahasa Sunda).
Pertanyaannya, apa
yang mendesak sehingga pemekaran itu menjadi penting bagi Pantura? Mengapa
bukan melanjutkan perebutan kekuasaan di “pusat pemerintahan” yang berkembang, tetapi
justru isu “membuat pusat pemerintahan baru” yang muncul? Adakah kekalahan
hegemoni politik dan kultural wong kaler
disini?
Kepentingan
Elit atau Kehendak Mayoritas
Dalam diskursus
atau wacana pemekaran ini tentu kita bisa menimbang dari beberapa aspek. Dari
sisi politik, umumnya kepentingan segelintir elit yang mencoba “iseng-iseng
berhadiah” dengan menunggangi isu pemekaran wilayah. Dipicu oleh kekalahan
politik, ketidakpuasan kepada rezim, perasaan ter-dzalimi atau politik
transaksional (bagi-bagi kekuasaan) menjadi alasan rasional untuk mendorong pemisahan diri. Hal
ini pun terjadi dalam tarik menarik yang lebih besar antara Aceh-Indonesia,
Papua-Indonesia dan Timur-timur – Indonesia yang terlebih dahulu berhasil
“merdeka”. Apa sebab? rasa Nasionalisme
yang “dipaksakan” dalam instrumen-instrumen yang seragam dan represif menjadi
alasan daerah-daerah tersebut bergolak. Ditambah dengan ketidakadilan sosial-ekonomi,
penjarahan sistematis kekayaan sumber daya alam oleh pusat dan perasaan
terpinggirkan sebagai penduduk asli akan melengkapi faktor pendorong dan
penarik separatisme.
Kembali ke Subang,
fakta berbicara bahwa infrastruktur di daerah Pantura pada umumnya memang
tertinggal dan terkesan terjadi pembiaran. Kekecewaan warga pantura terhadap
pembangunan yang tidak merata itu kemudian diartikulasikan oleh para elit dan
tokoh masyarakat untuk mendapatkan perhatian lebih. Mengingat potensi dan
sumbangan ekonomi wilayah Pantura yang signifikan bagi Kabupaten Subang itu
sendiri.
Dalam sejarahnya,
masyarakat daerah pesisir tidak pernah takut terkait pemenuhan kebutuhan
ekonomi, sebab sedari dulu wilayah Pantura Jawa selalu menjadi jalur logistik
dan ekonomi yang penting. Bahkan saat ini sudah ada proses pembangunan
Pelabuhan Nusantara di Pantura Subang yang kelak diprediksi akan menjadi poros
ekonomi baru di wilayah ini. Bagaimana
dan untuk siapa pembangunan pelabuhan ini tentu perlu komunikasi politik yang
baik kepada warga Pantura. Macetnya saluran aspirasi untuk pembangunan itu
memicu terbukanya saluran lain yang lebih agresif, yaitu pemisahan diri. Justru
ketika perhatian itu tidak lekas disikapi dan diberikan, wacana yang semula
dianggap kepentingan segelintir elit itu pasti akan menemukan muara menjadi
kehendak massa atau publik mayoritas. Pada titik inilah kehendak dan aspirasi
itu menjadi sangat sulit untuk dibendung.
Di sisi lain,
secara administratif-teknis-kewilayahan, pemekaran daerah saat ini memerlukan
proses lebih panjang dan semakin ketat. Sebab, dari hasil penilain Kemendagri
RI, 65 persen daerah otonom baru hasil pemekaran itu gagal berkembang! Artinya,
nafsu politik dan bagi-bagi kekuasaan yang selama ini kental dalam aroma
pemekaran nampaknya kurang diimbangi dengan kalkulasi ekonomi, sosial dan
budaya yang menopang tumbuh kembangnya suatu daerah. Hal ini juga menjadi bukti
bahwa tujuan pemekaran, pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah (PP No
78/2007) sebagian besar bukan semata untuk meningkatkan kualitas hidup dan
kesejahteraan masyarakat, melainkan hanya untuk jalur mobilitas vertikal para
elit lokal yang malah melahirkan inefisiensi anggaran milik publik.
Oleh karena itu,
kembali kepada inspirasi yang diberikan oleh Ben Aderson, bahwa “Members of the community probably will
never know each of the other members face to face; However, they may have
similar interests or identify as part of the same nation. Members hold in their
minds a mental image of their affinity”. Kita memang belum tahu bagaimana
imajinasi mayoritas warga Pantura yang sesungguhnya, apakah mereka ingin mekar
atau masih ingin menjadi bagian dari Subang? Perlu kajian mendalam. Tapi tak
terbantahkan jika setiap diri kita sebagai warga ingin hidup sejahtera dan
berdaulat di bumi yang kita pijak. Maka yang mendesak ternyata bukan soal kapan
atau perlu tidaknya pemekaran? yang mendesak dan paling mendekati imajinasi dan
kebutuhan warga itu tak lain adalah : keinginan untuk hidup lebih sejahtera! Titik. Urang kaler, urang subang dan urang
tonggoh memiliki kesamaan keinginan dalam hal ini. Apa pun nama
kabupatennya, siapa pun pemimpinnya, mereka tidak terlalu peduli.
No comments:
Post a Comment