Sudah ada
ribuan kisah inspiratif dari berbagai belahan dunia tentang keberhasilan
mewujudkan mimpi untuk mengejar pendidikan yang terbaik. Puluhan bahkan ratusan
buku best seller dan film juga sudah
dibuat untuk mengabadikan kisah-kisah tersebut. Bukan bermaksud menambah
deretan kisah klise semacam itu, tetapi memang rasanya sangat berbeda manakala
apa yang diceritakan dalam buku-buku, film dan kisah tersebut kita alami
sendiri! Ya, perasaan berbeda itulah yang barangkali bisa saya bagikan dalam
tulisan kali ini.
Kita mulai dari akhir.
Bermula pada detik-detik
menjelang keberangkatan saya ke Amerika Serikat untuk melanjutkan pendidikan
Doktoral. Rasa-rasanya, sekarang adalah waktu yang tepat untuk menuliskan
kembali apa yang sudah saya lewati jelang keberangkatan ini. Terlebih, Blog ini
sudah vakum selama berbulan-bulan akibat kesibukan dan pontang panting yang
perlu dan tidak perlu. Penting dan tidak penting. Mulai dari aktivitas yang
ekstra pada gerakan sosial Subang Baru di kota tempat saya tinggal, pekerjaan
di Kantor yang sangat padat hingga terutama dan utama adalah kesibukan
mengikuti seluruh proses beasiswa maupun perburuan kampus yang sayang untuk
tidak diceritakan kembali.
Sejujurnya,
apa yang saya peroleh sekarang, yaitu mendapatkan beasiswa untuk kuliah di
Amerika Serikat, sangat berbeda dari apa yang pernah saya bayangkan dahulu
kala. Benar bahwa mimpi menyelesaikan pendidikan hingga jenjang tertinggi itu telah
ada bahkan sejak masih kecil. Namun masih sulit dipercaya bahwa saya benar-benar
memperolehnya saat ini, di Amerika Serikat pula! Sebuah negeri dengan sistem
pendidikan yang terkenal mapan dan memiliki ratusan universitas terbaik di
dunia. Sungguh, bagi seorang anak dari sebuah kota kecil nun jauh di Blitar
sana, bukan anak orang kaya (orang tua saya keduanya hanya lulusan SMEA), dan
PNS yang tidak hebat-hebat amat (saya tahu betul kemampuan saya diantara
teman-teman yang lain) melanjutkan S3 ke Luar Negeri adalah sebuah kesempatan
yang luar biasa. Lantas, bagaimana dan apa yang membuat saya bisa sejauh ini?
Melawan Mitos
Selepas
menyelesaikan S2 saya di Institut Pertanian Bogor tahun 2012 lalu, banyak rekan
atau senior di tempat saya bekerja yang mendorong untuk segera melanjutkan ke
jenjang S3. Tapi sebagian besar mereka melihat paling-paling S3 di dalam negeri
saja sudah lumayan. Sebab, jarang cerita mereka yang S2 dalam negeri bisa S3 ke
luar negeri. Kalau pun bisa sangat sedikit jumlahnya. Kalau S2 lulusan Luar
negeri biasanya mudah untuk S3 ke luar negeri. Alasannya, satu : bahasa
inggrisnya sudah baik. Kedua, sudah memiliki jejaring dengan profesor maupun
Universitas di LN. Ketiga, ijazah S2 LN lebih dihargai. Bagi saya, itu mitos
sodara-sodara!
Benar adanya
bahwa mayoritas mahasiswa yang pernah S2 di LN bisa lebih mudah melanjutkan
doktoralnya di LN. Akan tetapi bahwa mustahil mahasiswa S2 dalam negeri bisa
melanjutkan ke LN itu benar-benar mitos. Mengapa mitos?
Sebab
melanjutkan kuliah ke LN tidak hanya membutuhkan ijazah LN sebelumnya. Kuliah
ke LN juga bukan melulu milik mereka yang sudah pernah kesana sebelumnya.
Karena ternyata – sesuai pengalaman pribadi saya berproses selama hampir 3
tahun berjibaku dengan perwujudan mimpi ini – ada hal penting lainnya yang
diperlukan untuk benar-benar melanjutkan pendidikan ke Luar Negeri, khususnya
untuk kita-kita yang berasal dari golongan ekonomi kelas menengah atau warga biasa-biasa
saja. Kalau kamu anak orang kaya atau orang penting di negeri ini, jelas beda
lagi ceritanya hehe.
Tujuh Jurus Utama
“senjata”, “amunisi”
dan “modal” yang kita perlukan untuk kuliah di LN menurut versi Saya adalah
sebagai berikut :
Satu, Niat yang bulat sebulat-bulatnya. Niat
ini jangan pipih atau lonjong, apalagi abstrak. Niat harus bulat. Bahkan kalau
kita sudah berkeluarga, seperti saya, bukan hanya niat kita saja yang baru
bulat tetapi niat orang-orang terdekat juga harus sama-sama bulatnya. Niat yang
bulat ini akan memudahkan kita untuk menggelinding lebih cepat. Kebulatan niat
ini juga akan melahirkan keberanian untuk melawan mitos yang dihembuskan oleh
lingkungan di sekitar kita. Apa pun mitos itu : mulai dari kampus asal kita
yang tidak ternama, lembaga/kantor kita yang biasa-biasa saja, sulitnya
mendapatkan skor Toefl yang tinggi, susahnya test IELTS, mahalnya biaya kursus
dan tes yang harus dikeluarkan, jauhnya jarak, dstnya. Semua mitos dan bayangan
negatif itu hanya bisa dilawan dengan kebulatan niat dan tekad kita. Tanpa itu, saya jamin pasti loyo dan
patah semangat di tengah jalan.
Dua, keberanian mengambil resiko. Jangan
dianggap melanjutkan kuliah tidak akan mengorbankan apa-apa atau siapa-siapa.
Banyak hal dipertaruhkan ketika kita berniat melanjutkan pendidikan. Minimal
kita mempertaruhkan zona nyaman yang dinikmati saat ini. Berat lho meninggalkan
zona nyaman saat ini. Belum lagi keluarga yang kadang-kadang menjadi pertimbangan
utama bagi orang Indonesia seperti kita. Buat agar keluarga mendukung semua
mimpi-mimpi kita, karena kesuksesan Kita adalah ridho dari orang-orang dekat. Kalau
meyakinkan mereka saja kita gagal, bagaimana kita mau meyakinkan orang lain di
luar sana? Belum lagi jabatan, karir, waktu luang, uang jajan, pulsa, bensin,
kuota internet dan seabreg hal-hal kecil lainnya yang pastinya akan menjadi
“korban” keganasan mimpi anda! Hehe
Tiga, bahasa inggris. Nah, bahasa inggris
adalah modal ketiga setelah kebulatan niat dan keberanian mengambil resiko.
Jadi kalau ada yang bilang bahwa bahasa inggris menjadi modal utama/pertama
saya kurang setuju. Pengalaman saya pribadi yang memiliki kemampuan bahasa
Inggris pas-pasan, ternyata berhasil juga mencapai nilai yang diinginkan dengan
dua modal yang pertama diatas : niat yang bulat & keberanian mengambil
resiko! Apa sebab? Karena bahasa inggris itu skill yang bisa dilatih. Bisa
ditingkatkan. Dan sangat bisa dikuasai oleh siapa pun. Hanya saja memang proses
penguasaannya bisa berbeda-beda antara satu orang dengan orang lainnya.
Tergantung seberapa serius dan seberapa optimal lingkungan di sekitar kita
mendukung pencapaian dan penguasaan bahasa Inggris tersebut. Pada bab lain
nanti akan saya ceritakan bagaimana tips mendapatkan skor bahasa inggris yang
optimal menurut versi penulis. Intinya, jangan minder dengan kemampuan bahasa
inggrismu saat ini, kamu hanya perlu bekerja lebih keras untuk meningkatkannya.
Perlu diingiat, musuh terbesar dalam proses penguasaan bahasa ini adalah diri
kita sendiri. Bukan yang lain.
Empat, berjuang mencari beasiswa. Setelah tiga modal di atas bersama-sama dibentuk dan
dikuatkan, maka arahkan pencarian utama kita pada skema beasiswa apa yang
paling tepat untuk membiayai. Rumus saya sederhana : coba saja semua peluang
beasiswa yang ada! Bisa LPDP, beasiswa Bappenas, Beasiswa dari Negara Tujuan,
dan apa pun beasiswa yang ada. Mau yang beasiswa gelar maupun non gelar. Short
course maupun graduate coba saja semuanya sesuai dengan kemampuan yang ada.
Kalau tidak bisa mencoba semuanya, setidaknya buat prioritas dan fokuskan untuk
memenuhi seluruh persyaratan yang diminta oleh skema beasiswa itu. Penuhi
semuanya tanpa kecuali setiap persyaratan. Jika tidak yakin lengkap persyaratannya,
lebih baik jangan melamar dulu sampai yakin semuanya sudah lengkap. Agar tidak
sia-sia seluruh upayanya. Jika sekali gagal, coba lagi. Jika gagal lagi, anggap
itu latihan. Jika masih gagal lagi, maka hanya ada 3 pilihan : coba lagi, coba
lagi dan coba lagi!
Lima, melamar kampus impian. Dari pengalaman
saya, melamar beasiswa dan melamar kampus adalah dua hal yang berbeda tetapi
saling membutuhkan. Melamar kampus akan membutuhkan kepastian scholarship nya,
sedangkan melamar beasiswa juga memerlukan kepastian kampusnya dimana? Disinilah
seninya. Bagaimana agar kedua proses bisa berjalan beriringan dan bertemu di
ujung jalan. Sebagai prioritas maka kita bisa mencari kampus terlebih dahulu
baru mencari beasiswa, atau sebaliknya. Proses diterima di sebuah kampus juga
tidak sebentar dan membutuhkan persyaratan yang banyak juga. Kampus-kampus di
luar negeri juga memiliki jadwalnya masing-masing yang berbeda satu sama lain.
Maka penting untuk membuat prioritas kampus atau Universitas yang akan kita
tuju untuk kemudian melihat waktu yang tepat untuk melamar. Cara paling
konvensional dan jitu adalah mendekati dulu profesor atau sensei (kalau mau
kuliah ke Jepang) sampai kemudian kita mendapatkan rekomendasi atau malahan LoA
(Letter of Acceptance) dari Profesor
atau jurusan yang kita minati, baru kemudian beranjak pada proses admission di
level Universitas untuk mendapatkan LoA sebenarnya. Harapannya, akan terjalin
kecocokan lahir dan batin dengan calon pembimbing/advisor dengan kita, jadi
kalau ada kendala dalam proses rekrutmen di universitas sang advisor bisa
membantu memberikan jalan keluar. LoA ini penting sekali sifatnya dalam
persaingan beasiswa, biasanya dibutuhkan LoA unconditional sebagai bukti bahwa
kita diterima tanpa syarat di kampus tersebut, atau ada juga LoA conditional,
artinya kita diterima dengan syarat-syarat tambahan lainnya.
contoh Unconditional LoA
Enam, rajin berselancar di internet. Jangan
bosan-bosan berselancar di Internet untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya info.
Baik itu soal beasiswa yang akan kita ikuti kompetisinya maupun universitas dan
profesor yang akan kita lamar untuk melanjutkan studi. Untuk menyemangati di
tengah kepenatan, biasanya saya berselancar tentang keindahan atau
tempat-tempat adventure di kota tempat universitas tujuan berada. Ini baik
banget secara psikologis karena bisa memberi dorongan semangat yang lebih kuat
(semangat belajar sambil piknik). Saya juga berusaha meningkatkan kemampuan
bahasa inggris dengan rajin menonton tutorial di youtube maupun modul-modul
soal online lainnya.
Tujuh, jurus menengadah ke atas langit. Setelah
semua jurus sebelumnya dilaksanakan. Sekarang saatnya bersabar dan berdoa tiada
henti. Perbanyak puasa, mengaji, bersedekah, menolong orang lain dan hal-hal
baik lainnya menurut agama dan kepercayaan kita. Sebab, entah berhubungan atau
tidak, namun secara kejiwaan berdoa akan mampu menyeimbangkan hidup kita.
Terutama di tengah kompetisi yang sengit dan perjuangan hidup yang tidak ada
ujungnya, maka senjata pamungkas kita adalah dengan bersabar dan bertawakkal
pada yang Maha memberi. Berdoa juga menjauhkan kita dari rasa jumawa atau
kepedean, termasuk menghindarkan kita dari rasa rendah diri berlebihan. Berdoa menuntun
kita pada perasaan yang “sedang-sedang saja”, artinya tidak over optimis dan
juga tidak over pesimis. Sebab, ambisi yang kuat biasanya dekat pula dengan
kekecewaan dan ketidakpuasan, padahal, bukankah pendidikan hanya satu hal kecil
saja diantara hal-hal lain yang patut kita syukuri di dunia ini? Tengadahkan tanganmu
ke langit, sembari tundukkan kepalamu ke bumi. Sisanya adalah pelihara
prasangka baik pada Tuhanmu. Maka yang akan terjadi, terjadilah.
So, selamat
berjuang untuk meraih mimpimu setinggi mungkin.
Mimpi bolehlah
setinggi awan,
Tetaplah kaki
menginjak bumi.
Kuliah ke Luar
Negeri adalah harapan,
Pencapaian
yang kelak mungkin akan berarti.
No comments:
Post a Comment