Pasundan Ekspres, 24 Oktober 2016
Oleh : Yanu Endar Prasetyo
OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development) baru saja merilis sebuah laporan tentang tren pemanfaatan internet di kalangan pelajar. Penelitian ini membandingkan data dari 63 negara angggota OECD. Salah satu tujuannya adalah untuk melihat perbedaan akses dan pola pemanfaatan internet di kalangan pelajar saat ini dilihat dari faktor latar belakang sosial ekonomi mereka. Menariknya, hasil penelitian tersebut menunjukkan dua fakta penting. Pertama, soal“gap” atau kesenjangan digital (digital divide) yang masih harus dihadapi oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia yang menduduki peringkat kedua paling tinggi setelah Vietnam dalam hal kesenjangan akses terhadap internet antara pelajar dari keluarga miskin dan kaya.
Hal ini bisa dimengerti, sebab penetrasi internet terhadap populasi penduduk di Indonesia memang masih relatif rendah. Data yang dirilis oleh we are social global reportpada januari 2016 menunjukkan pengguna internet aktif di Indonesia baru pada kisaran 34% dan pengguna media sosial aktif sebesar 30% dari total penduduk yang ada. Meskipun, di sisi lain pengguna yang terkoneksi dengan mobile phone justru melebihi total populasi penduduk (126%). Sementara itu, negara-negara yang dinilai paling baik dalam mengatasi masalah kesenjangan akses internet antara pelajar miskin dan kaya adalah Denmark, Islandia dan Finlandia. Beberapa negara di Asia yang cukup rendah kesenjangannya adalah Hongkong-China, Macau-China, Singapura dan Taiwan.
Kedua, fakta bahwa ketika akses terhadap internet sudah diperoleh, ternyata pelajar dari keluarga yang miskin cenderung memanfaatkan internet untuk hal-hal yang kurang produktif. Sebagai contoh, waktu yang dihabiskan pelajar miskin untuk bermain video game online, baik sendirian maupun berkelompok, lebih lama dari pelajar yang berlatar belakang keluarga mampu. Rata-rata frekuensi mereka bermain video game juga lebih panjang dibanding aktivitas membaca berita atau pengetahuan lain dari internet. Pelajar berlatar ekonomi mapan cenderung lebih terarah dalam memanfaatkan internet untuk menunjang pengetahuan dan mendukung pendidikan mereka.
Apa yang menarik dari fakta ini? Tentu saja hasil riset ini kembali mengingatkan kita bahwa akses terhadap informasi masih menjadi masalah di negeri kita, baik dari sisi jangkauan horizontal (coverage areas), jangkauan vertikal (social stratification) maupun dalam hal edukasi pemanfaatannya (learning and education). Jika dilihat lebih dalam, sejatinya masalah ini tidak hanya terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Negara maju seperti Amerika Serikat juga masih mengalami masalah yang sama, meskipun dengan kadar kesenjangan yang jauh lebih rendah. Data yang dirilis oleh Council of Economic Advisers Issue Brief (2015) menunjukkan kesenjangan digital masih terjadi di Amerika Serikat, terutama yang menimpa sebagian masyarakat pedesaan, penduduk berusia tua, dan warga yang kurang berpendidikan serta berpendapatan rendah.
Namun demikian, fokus mereka sudah pada peningkatan kualitas akses, yakni mengurangi keterbatasan pilihan dan peningkatan kualitas kecepatan jaringan. Secara umum, akses internet di negeri Paman Sam ini baru bisa menjangkau 74,4% dari seluruh rumah tangga yang disurvey oleh American Community Survey (ACS) tahun 2013. Uniknya, jika dilihat dari kategori rasial, maka rumah tangga dengan kepala keluarga Asia adalah yang paling tinggi koneksinya terhadap internet (86,6%), disusul kulit putih (77,4%), hispanik (66,7%), kulit hitam (61,3%) dan paling rendah justru native american itu sendiri (58,2%). Potret ini sekilas menunjukkan bahwa bangsa Asia di Amerika memang dikenal melek dan jago terhadap teknologi, khususnya internet. Oleh karena itu, kita harus mulai menyadari dan bergerak agar pembangunan saat ini dan ke depan selayaknya difokuskan pada pengurangan kesenjangan digital ini. Dengan pemerataan akses internet dan informasi, bukan tidak mungkin akan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing bangsa kita di dunia.
Mulai dari Persepsi
Faktor penyebab kesenjangan digital ini memang harus diakui sangat kompleks. Mulai dari ketimpangan pembangunan fisik (infrastruktur, jaringan, energi, listrik), faktor budaya (penguasaan bahasa, ketimpangan gender), faktor ekonomi (pendapatan), faktor geografis (daerah terpencil, pegunungan, kepulauan), aspek sumber daya manusia (tingkat pendidikan, literasi, keterampilan), sampai dengan faktor relevansi konten internet dengan kebutuhan atau pekejaan sehari-hari. Perlu terobosan yang dilakukan di tingkat nasional, regional, lokal bahkan hingga voluntarisme di akar rumput (grassroots) untuk bersama-sama melawan kesenjangan digital ini, baik dari sisi akses, kualitas maupun edukasi penggunanya.
Banyak teori dan pengalaman di negara maju yang memberikan solusi untuk mengatasi kesenjangan digital pada semua level. Jika diringkas, intinya terletak pada pentingnya meningkatkan kapasitas “AAE” (Access, Ablity & Empowerment) terhadap internet. Peningkatan kapasitas AAE secara beriringan diyakini akan mampu mengurangi digital divide ini. Tidak cukup hanya dengan akses dan peningkatan keterampilan atau penguasaan internet saja, sebab seperti ditunjukkan oleh hasil riset OECD di atas, tanpa pemberdayaan dan edukasi yang terarah kemungkinan penyalahgunaan internet justru semakin terbuka lebar. Mereka yang seharusnya tertolong dengan adanya internet, misalnya untuk peningkatan pemasaran produk, pendidikan, pengetahuan, inovasi teknologi dan lain sebagainya, justru kurang mendapatkan manfaat dan keuntungan yang berarti.
Lebih dalam lagi, apa yang penting disasar dalam pemberdayaan ini sejatinya adalah persepsi pengguna terhadap apa itu internet dan bagaimana mendapatkan keuntungan darinya? Sebuah ilustrasi, mengapa anak-anak lebih cepat menguasai internet dibandingkan dengan orang dewasa atau orang tua? salah satunya adalah soal persepsi. Anak-anak mempersepsikan internet atau komputer sebagai suatu permainan yang menarik dan menantang bagi mereka. Sebaliknya, sebagian guru atau orang tua memandang internet dan komputer sebagai sesuatu yang asing dan sulit untuk dikuasai. Persepsi ini menyebabkan gapdalam kecepatan penguasaan. Padahal, kesempatan (opportunity) terhadap akses internet sudah relatif sama. Oleh karena itu, ketika persepsi yang terbangun berbeda, maka hasilnya pun akan berbeda. Persepsi menciptakan realitas itu sendiri.
Setelah memahami problem ketimpangan persepsi, maka tantangan selanjutnya adalah pemberdayaan publik dalam soal literasi digital (digital literacy) dan demokrasi digital (digital democracy). Mengapa ini penting? sebab peluang yang sama untuk bersuara dan berpendapat dalam era e-demokrasi seperti saat ini perlu dibarengi dengan kesiapan dan kedewasaan berdemokrasi. Contoh sederhana, saat ini beredar banyak meme di sosial media soal “ketik amin dan share” atau membanjirnya berbagai informasi berisi propaganda SARA, pornografi, kekerasan, fitnah dan bullying misalnya, yang menunjukkan perilaku negatif para pengguna media sosial di internet.
Ini menunjukkan bahwa tanpa ada peningkatan kapasitas pengguna internet maka teknologi ini menjadi sesuatu yang useless, membodohkan dan memecah belah masyarakat dalam jagat virtual (virtual sphere). Para tokoh publik yang memiliki banyak pengikut di dunia maya wajib berkontribusi dan menjadi agen pencerahan dalam edukasi dan peningkatan kedewasaan berdemokrasi bagi pengikutnya. Oleh karena itu, melalui formula AAE ini diharapkan mampu membongkar persepsi dan menumbuhkan literasi publik serta mendewasakan e-demokrasi sehingga mendorong lahirnya beragam pengetahuan, inovasi dan kreativitas ekonomi serta penguatan pendidikan demokrasi yang ujungnya berdampak langsung pada peningkatan kualitas hidup yang lebih beradab, adil dan merata. Semoga Bangsa kita bisa sampai kesana.
No comments:
Post a Comment