Oleh: Yanu Prasetyo
Bermula dari Italia, gerakan Slow Food Movement berkembang dan menyebar ke seluruh dunia. Diam-diam, gerakan ini kini memiliki lebih dari 200,000 anggota aktif dan memiliki perwakilan di 50 negara (Weaver, 2012). Adalah Carlo Petrini (1949-2012) pria cerdas dan pemberani dibalik gerakan yang berdiri di akhir tahun 1980an ini. Keberanian Petrini sebagai seorang jurnalis beserta kawan-kawannya yang menolak masuknya jaringan raksasa McDonald’s di kota Roma itulah yang menjadikan gerakan ini melegenda. Dari perlawanan terhadap McDonaldization ini pula “slow food”, mendapatkan tempat sebagai antitesis dari “fast food”; “We don’t want fast food… we want slow food!” demikian kira-kira slogan yang menggema di Roma kala itu. Gerakan ini semakin lengkap dengan terbitnya Slow Food Manifesto pada 10 Desember 1989.
Mengapa gerakan ini menarik? Selain kritikan tajamnya terhadap praktek-praktek industri makanan cepat saji yang dianggap jauh dari sehat, lahirnya gerakan ini juga menjadi simbol perlawanan alternatif dari para pembela keberagaman. Baik keberagaman makanan, sumber daya, tradisi, ilmu pengetahuan, dan tentu saja, keberagaman budaya kuliner yang kini remuk dihantam globalisasi resto murah cepat saji. Penggerak industri makanan fast food dianggap musuh bersama yang membuat kita kehilangan rasa terhadap apa yang kita makan. Otak kita telah di “brainwhased” oleh iklan-iklan mereka dengan mengatakan bahwa fast food adalah bagian dari gaya hidup modern yang serba praktis dan cepat itu. Seolah ia adalah pilihan satu-satunya.
Tidak terbatas pada substansi makanan yang kita makan, slow food movement juga mengajak kita untuk kembali ke meja makan dengan perasaan yang lebih antusias. Cara berpikir slow food mengajari kita bahwa meja makan adalah sesuatu yang spesial. Meja makan dengan segenap hidangannya bukanlah “sekedar” untuk mengenyangkan perut lapar, namun juga waktu teristimewa untuk mengapresiasi pemberian alam dan penciptanya. Ia ingin meja makan itu menjadi media yang merekatkan kembali hubungan kita dengan keluarga tercinta dan teman-teman dekat. Ditengah tekanan hidup yang semakin hectic dan stressful saat ini, slow food movement adalah salah satu alternatif menarik untuk keluar dari penjara itu.
Beberapa prinsip penting dari gerakan ini adalah penekanannya untuk mengonsumsi makanan yang memiliki rantai berkelanjutan. “Everyone has the right to a good, clean, and fair meal”. Tentu cita-cita ini masih jauh manakala banyak makanan yang kita konsumsi justru dihasilkan dari proses-proses yang merusak alam, meninggalkan polusi, dan bahkan menyumbang pada pemanasan global. Oleh karena itu, slow food movement mengajak kita untuk kembali pada proses produksi makanan yang tidak merusak alam. Mengambil bahan makanan dari lokasi terdekat kita adalah salah satunya. Makanan lokal – dimana bahan dan prosesnya dilakukan tanpa membuang energi yang besar – diyakini bisa menjadi langkah pertama untuk melawan dominasi mass food production. Cara lain adalah dengan lebih banyak mengonsumsi fresh food. Tantangannya, makanan lokal yang sehat dan segar itu semakin sulit ditemukan. Perlu “jejaring eksklusif” antara petani dan konsumen dimana mereka bisa saling percaya dan tahu bahwa proses produksi makanan tersebut dilakukan sebagaimana mestinya.
Mengetahui darimana makanan yang kita makan itu berasal, mengenal siapa yang menanam, bagaimana mereka merawatnya, apakah kebun dan prosesnya dilakukan secara organik, adalah kondisi ideal untuk mampu mengapresiasi apa yang kita makan. Sayangnya, kebanyakan konsumen di negara-negara maju tidak mendapatkan informasi yang memadai tentang hal-hal seperti ini. Mereka yang tinggal di kota juga tentu sangat sulit untuk mendapatkan informasi atau kondisi ideal semacam itu. Meskipun tidak berarti mustahil. Justru kita yang mungkin tinggal di desa ini yang jauh lebih akrab dengan gaya hidup “selow” ini. Nenek kita dulu mungkin paham betul rantai pasok makanan yang ia sajikan untuk keluarganya.
Gagasan menarik lainnya dari gerakan slow food movement – dan ini menarik untuk dicoba – adalah dengan mengajarkan gastronomi di rumah dan di sekolah-sekolah. Gastronomi, secara sederhana, adalah ilmu yang mempelajari perjalanan makanan dari sawah, kebun, atau laut ke meja makan kita. Dalam gastronomi kita juga belajar tentang dampak lingkungan dari apa-apa yang kita makan. Dengan kata lain, Ilmu gastronomi membentang dari pertanian, ekologi, sosiologi, ekonomi, dan lain-lain.
Mengajarkan gastronomi sejak dini kepada anak-anak kita adalah cara untuk kembali ke jalan yang "benar". Tentu tidak semudah itu. Godaan iklan dari industri makanan cepat saji yang menarik itu tentu sering lebih mengena dibanding pengajaran gastronomi yang terkesan “ribet”. Kemajuan teknologi pangan, rekayasa genetika, hingga keuntungan ekonomi industri makanan cepat saji itu tentu akan terus mendorong korporasi untuk memanipulasi pengetahuan dan kesadaran kita dengan menciptakan semakin banyak “comfort foods”. Kita sendirian tidak akan mungkin mampu melawan, kecuali dengan berjejaring serta memperluas edukasi publik sebagaimana dilakukan Carlo Petrini dan kawan-kawannya tiga puluh tahun yang lalu di Italia.
No comments:
Post a Comment