15 April 2007

Artikel : Pergulatan Moral Intelektual di Era Transisi

Pergulatan Moral Intelektual di Era Transisi
by : Yanu Endar Prasetyo
Semua orang adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat yang memiliki fungsi intelektual



Salah satu karakter utama intelektual adalah komitmennya terhadap proyek rekonstruksi (membangun kembali) atau rethinkhing (pemikiran kembali) segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat dan peradaban. Terutama apabila dehumanisasi semakin kentara dalam masyarakat. Karena itu, intelektual selalu akrab dengan perubahan dan sekaligus terlahir sebagai motor penggerak perubahan itu sendiri. Sementara itu, apabila masa transisi atau “masa yang baru” tiba, intelektual juga diharapkan konsisiten dengan kejujuran, keintelektualan, keyakinan, dan kekritisan tersebut.

Intelektual dan Kebenaran
Bung Hatta menyebut intelektual adalah mereka yang memiliki karakter dan teguh pendirian, lepas dari kepentingan diri, golongan, atau partai, lepas dari kedudukan, pangkat atau harta. Oleh karena itu, mereka harus tegas atas kebenaran, sebab ilmu yang menjadi ciri khasnya senantiasa mencari kebenaran. Mereka juga bersifat terbuka terhadap kebenaran yang lebih benar, yang datang dari pihak lain.
Namun demikian, keberpihakan intelektual terhadap kebenaran seringkali mendapat tantangan, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, masyarakat intelektual terbatas, dan dalam arti tertentu, diatur oleh hukum profesionalnya sendiri. Konstruksi pemahaman yang terbentuk terhadap kegiatan intelektual selama ini adalah kerja yang berkaitan dengan menulis (jurnal, surat kabar, majalah, internet) memberi kuliah, dan menerbitkan buku, serta tak lupa berburu gelar dan ijazah. Kegiatan ini kemudian menjadi semacam ideologi yang dirutinkan.
Regulasi internal dan kontrol yang sedemikian ketat, serta di dalamnya mengandung ketentuan apa yang patut dan yang tidak patut, menyebabkan perubahan yang terjadi dalam dunia akademis cenderung lebih konservatif. Sebagaimana tesis Pierre Bouerdieu, tentang kehidupan universitas di Prancis yang terangkum dalam Homo Academicus, bahwa untuk sukses di dunia akademis, orang lebih harus menyesuaikan diri daripada menjadi penemu cara-cara baru. Singkatnya, waktu yang seharusnya digunakan untuk mengejar ilmu pengetahuan, justru disita untuk mengejar karir akademis belaka.
Kemudian, secara eksternal, perubahan sosial masyarakat yang dinamis senantiasa diiringi oleh silih bergantinya kekuasaan dalam lingkup kenegaraan. Akibatnya, relasi intelektual dengan kekuasaan seringkali membawa problem yang dilematis. Berbagai momen pergantian kekuasan telah memaksa intelektual untuk menganut dan memasukkan – dalam istilah Julien Benda – gairah-gairah politik ke dalam aktivitas intelektual mereka. Pembungkaman tradisi kekritisan intelektual berlangsung terus-menerus sejalan dengan ritme pergantian kekuasaan. Kondisi ini melahirkan dikotomi antara intelektual murni, yaitu yang terus menerus melakukan hal yang sama, dan intelektual plus-organik yang berhubungan langsung dengan penguasa-penguasa, dan kelas tertentu, yang memanfaatkan mereka untuk memperbesar kontrol dan kekuasaan (Edward W. Said, 1993).
Tak heran, panggilan intelektual sebagai garda otonomi moral akhir-akhir ini terus menemukan relevansinya, terutama di Indonesia. Otonomi moral yang dimaksudkan adalah sikap dan perilaku yang dipimpin oleh hati nurani. Bukan kepentingan penguasa, kelompok atau organisasi, apalagi kepentingan etnis tertentu. Karena otonomi moral inilah, intelektual senantiasa ditarik atau menarik diri dalam dunia birokrasi ataupun pengelolaan pembangunan negara selama ini. Misalnya dengan menjadi menteri ataupun staf ahli pemerintahan. Pertanyaannya adalah, ketika modal, kekuasaan, dan negara menjadi bagian dari kompetisi intelektual, mungkinkah para intelektual tersebut mempertahankan otonomi moral dan komitmennya terhadap kebenaran ilmu pengetahuan ? Atau akankah intelektual hanya sekedar sebagai alat?.

Intelektual dan kekuasaan
Ruang yang telah diubah kaum intelektual menjadi kekuasaan, memungkinkan dan merangsang pertarungan dengan kekuatan lain yang menghasilkan political discourse untuk terus menerus direproduksi, dipertarungkan, dihancurkan, dan kemudian dibentuk diskursus baru lagi secara sosial dan politik (Daniel Dakhidae, 2003). Dengan demikian, di saat bangsa kita berada dalam jeratan neo-liberalisme yang berhasil menghancurkan semua bentuk struktur kolektif dengan logika pasarnya, kita terus menerus menyaksikan proses dehumanisasi dan pemiskinan terjadi di dalam masyarakat. Di sisi lain, otonomi moral intelektual sebagai hati nurani bangsa, terus bergulat mempertahankan kebenaran ilmu pengetahuan melawan kekuasaan dan modal.
Tabir yang menyelimuti selingkuh antara pengetahuan dan kekuasaan terkuak saat kita membaca Michel Foucault, khususnya tema "kebenaran" sebagai konsep yang selalu diidentikkan dengan tujuan mulia intelektual dalam menghasilkan pengetahuan. Fokus tentang kebenaran di sini bukan soal pertanyaan apa itu kebenaran, tetapi bagaimana kebenaran menjadi sebuah politik (politics of truth). Ini hal lumrah jika kekuasaan dipahami tidak dalam makna represif, tetapi sebagai jaringan produktif yang mengalir di sela-sela relasi sosial seperti dijelaskan Foucault. Melalui jaringan ini kelompok intelektual memainkan kekuasaan dengan dinamis, lewat pengetahuan yang dihasilkannya dalam berbagai wujud. Pada titik ini kita sampai pada kesimpulan, intelektual adalah ruang produksi pengetahuan yang sarat kepentingan dan bias-bias sosial, politik, dan budaya. Intelektual bukanlah seorang malaikat yang selalu berpijak pada "kebenaran", karena "kebenaran" sendiri adalah konstruksi politik. Ilmu pengetahuan adalah hasil kesepakatan. Dengan cara pandang ini, intelektual sebenarnya tidak pernah berkhianat. Sebab dia senantiasa berada dalam wilayah wacana kekuasaan yang tidak mengenal konsep pengkhianatan.
Implikasi dari pemahaman tersebut, tema pemihakan intelektual kepada rakyat menjadi kurang atau tidak relevan. Pertama, karena tuntutan pemihakan ini memberi stigma inferior pada rakyat dan menafikan kemungkinan potensi intelektual dan kecendekiawanan yang ada pada rakyat. Kedua, yang lebih penting, justru tema-tema "pemihakan" harus dicermati karena dapat dengan mudah dimanipulasi untuk melegitimasi kekuasaan.
Fenomena terlibatnya kaum intelektual di pusaran kekuasaan juga tidak perlu digusarkan. Sebab, masyarakat telah sedemikian kompleks, konsekuensinya lahan garap intelektual juga semakin luas. Kompleksitas masyarakat melahirkan pandangan yang mendukung beragam gerakan sosial (sipil, politik, lingkungan, ekonomi, budaya, jender). Pilihan Intelektual untuk bekerja di sektor Non Goverment Organization atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah konsekuensi dari arus demokratisasi yang menuntut kesadaran dan keterbukaan berbagai lapisan kelas sosial masyarakat. Kehadiran intelektual di sana diharapkan mampu membangun kesadaran transformatif dari kelompok masyarakat, untuk bergabung dengan gerakan civil society mewujudkan kemandirian dan menghapus berbagai macam ketidakadilan.

Moralitas Intelektual : Sebuah Gerakan
Namun demikian, hambatan utama justru datang dari institusi pendidikan tinggi yang seharusnya mencetak intelektual-intelektual hati nurani bangsa. PT ternyata hanya mampu menjadi pengabdi kapitalisme. Sama seperti ketika mengharap otonomi moral intelektual yang berada di kekuasaan, rasanya sulit pula mengharap lahirnya intelektual dengan kesadaran transformatif dari pendidikan tinggi yang demikian kapitalistik. Jalan tengah yang bisa diambil dalam mendamaikan intelektual dari pergulatan kekuasaan, modal, dan otonomi moral adalah dengan konsep free-floating intelligentsia, dari Karl Manheim. Ia menyatakan bahwa intelektual seharusnya adalah mereka yang berada pada lapisan sosial yang relatif bebas dari kepentingan kelas ekonomi tertentu dan mampu bertindak sebagai kekuatan politik kreatif dalam masyarakat modern. Intelektual memiliki tugas sejarah, memberi cermin kepada publik agar dapat merefleksi diri, sehingga dapat memilih jalan dan cara yang tepat bagi tindakannya. Netral namun tidak terasing. Independen, namun bukan berarti tidak menjalin hubungan dengan institusi sosial yang lain, termasuk negara dan modal asing.
Kaum intelektual, seperti diungkapkan Jakoeb Oetama, harus merumuskan sesuatu untuk menjadi feasible dan lebih workable serta lebih bermakna dan berdampak pada relasinya dengan kekuasaan, modal, kebudayaan dan juga pada sosoknya yang lain yakni sosok masyarakat. Bangkitnya lagi suatu keharusan membangun dan mengembangkan masyarakat madani, membuka peluang yang lebih cocok bagi kaum intelektual untuk mendekatkan pemikiran dan analisisnya ke masyarakat. Untuk menjaga moralitas ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh intelektual, diperlukan gerakan menempatkan moral diatas ilmu.
Gerakan ini setidaknya harus dijalankan secara sistemik dan kultural oleh pendidikan tinggi. Sekurang-kurangnya PT harus memfokuskan perhatian pada empat hal. Pertama mengupayakan para intelektual tetap berdiri dan bertindak sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan inovasi pemberdayaan masyarakat. kedua penjaga integritas setiap ilmuwan dan cendekiawan agar tetap bertindak sebagai pelopor pengembangan ilmu pencerahan.
Ketiga mengingatkan kembali pentingnya moral dan memperluas koridornya dalam gerak langkah pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. keempat gerakan ini akan memberikan perhatian khusus pada cakupan pembicaraan moral, bukan hanya bersifat horizontal antara ilmuwan/cendekiawan dengan manusia lain atau masyarakat lainnya, tetapi juga bersifat vertikal, kepada Tuhan dan Agamanya. Dari analisa diatas terlihat bahwa penegakan moral merupakan kebutuhan yang sangat urgen dalam rangka mengawal transisi bangsa, hingga tetap dalam jati dirinya sebagai bangsa yang religius dan berbudaya. Berpijak pula pada pandangan Hegel dan Thomas Hobbes, maka negara sebagai pemegang kekuasaan penuh, juga harus menegakkan supremasi hukum bagi setiap pelanggaran moral, termasuk budaya korupsi di segala sendi kehidupan kebangsaan yang menjadi musuh bangsa bersama.
Dengan begitu, menciptakan komunitas intelektual yang santun, radikal dan kritis adalah hal yang sangat penting. Sehingga, gerakan masyarakat sipil menjadi lebih berhati nurani dan bermakna bagi seluruh bangsa.



No comments:

Post a Comment