24 September 2007

Memahami Perempuan Bercadar

by : Yanu Endar Prasetyo

Ada satu hal yang terlewatkan dari fenomena radikalisme keagamaan akhir-akhir ini. Apalagi jika kita percaya pada pepatah, bahwa "di balik laki-laki yang hebat, dibelakangnya terdapat perempuan yang kuat". Kasus terorisme yang melambungkan beberapa nama, seperti Amrozi, Imam Samudra, Ali Imron, dan kawan-kawan, jika kita amati lebih jauh, ternyata terdapat wajah seorang istri/ibu/perempuan bercadar yang berada di balik "martir-martir" pejuang berani mati tersebut. Apakah ini kebetulan? Tentu tidak !



Sosok perempuan-perempuan "kuat" itu tidak dapat kita lupakan begitu saja. Secara sosiologis, kehadiran mereka tentu menjadi faktor X yang sangat menentukan. Bagaimana perempuan bercadar memaknai dan menjalani kehidupannya? Ternyata ada banyak hal dan nilai yang bisa kita peroleh dengan mempelajari dan memahami mereka.

Di akhir tahun 2006 hingga pertengahan tahun 2007, Saya melakukan studi kasus terhadap tiga mahasiswi muslim bercadar di sebuah Universitas negeri di Surakarta. Studi kasus tersebut menemukan bahwa ada beberapa hal yang "membelenggu" atau "membingkai" cara berpikir perempuan bercadar. Belenggu tersebut antara lain : pengalaman subjektif, sudut pandang, prasangka, prinsip, kepentingan, referensi pembanding, dan pemikiran-pemikiran keagamaan yang berkembang dalam komunitas tempat perempuan bercadar itu bersosialisasi.

Dengan menggunakan pendekatan sosiologi humanistis, studi kasus ini menemukan bahwa tindakan sosial individu, selalu didasarkan pada makna subjektif individu atas sesuatu norma dan peristiwa. Penelitian ini pun memahami bahwa setiap subjek atau informan mengkonstitusikan (menciptakan) dunianya (non-objektif), menurut perspektif masing-masing yang unik dan khas. Pikiran, dalam hal ini, tidak hanya berperan sebagai instrumen, tetapi juga menjadi manifestasi dari suatu sikap. Artinya, tiga orang perempuan bercadar dalam studi kasus ini, tidak begitu saja menerima pengetahuannya secara pasif dari luar, tapi sebaliknya, secara aktif dan dinamis membentuk sendiri pengetahuan dan tindakannya. Lingkungan sosial dan situasi tertentu di mana ia hidup, tidak sampai mendeterminasi diri dan tindakannya. Lingkungan sosial hanyalah merupakan kondisi-kondisi yang melatar belakangi mereka dalam menentukan pilihan sikap selanjutnya.

Ketika penulis mempertalikan motif mengapa mereka bercadar? dengan bagaimana perilaku mereka setelah bercadar? studi kasus ini menunjukkan, bahwa setiap informan senantiasa dihadapkan pada kondisi untuk memilih antara sistem makna yang berbeda-beda dan seringkali bertentangan (alternation). Teori yang dapat dibangun dari studi kasus ini, ternyata para informan lebih memilih rasionalisasi daripada proyeksi, sebagai cara untuk melepaskan diri dari pertentangan (konflik batin). Misal, lahirnya konstruksi kesadaran tentang "menghindari fitnah" sebagai motif bercadar. Ini menunjukkan bahwa informan lebih senang membangun suatu penjelasan dan alasan-alasan, daripada meletakkan kesalahan pada pihak lain (laki-laki).

Dalam kasus Haya, motif bercadarnya lebih bersifat histories-reason. Ia becadar untuk mengubur sejarah masa lalu, sebagai janji setelah menikah, wujud pengabdian total kepada suami dan agama, serta untuk menjaga diri dari gangguan laki-laki asing. Haya memaknai cadar sebagai rem pakem dalam berperilaku dan simbol penjagaan atas kehormatan dan perkawinan. Haya memaknai cadar sebagai sesuatu yang wajib dengan syarat sang suami mengijinkan.

Untuk kasus Alifah, motif bercadarnya lebih bersifat religieous-reason, yakni hasil sintesis dari dialektika pemahaman keagamaannya yang terus berkembang. Cadar diyakininya sebagai suatu kebenaran yang harus dijalankan seorang muslimah. Meskipun, Alifah terpaksa masih harus membuka-tutup cadarnya. Sebab, orang tua melarangnya bercadar ketika di rumah. Berbeda dengan Haya, Alifah memaknai cadar sebagai kebaikan (sunnah) yang sangat dianjurkan bagi seorang muslimah.

Sedangkan dalam kasus Nisa’, meskipun orang tua dan suami melarangnya bercadar di lingkungan rumah, hal itu tidak menghalangi niatnya untuk tetap bercadar di luar rumah, sebagai wujud cinta pada Tuhan. Cadar dimaknai Nisa’ sebagai simbol meninggalkan kesenangan duniawi. Baginya, hidup di dunia hanya sementara dan masih ada kehidupan yang lebih kekal setelah kematian.

Tobat dan Pencarian

Ada hal lain yang menarik, yakni ketiga informan ternyata mereproduksi pemahaman keislaman pada sumber (tempat) yang relatif sama, serta melalui tahapan individualisasi yang identik. Mulai dari menjadi individu yang berbeda, munculnya kesadaran dan evaluasi diri, transfer libido terhadap objek-objek tertentu, dan terakhir tahap pendalaman pribadi (introyeksi). Prinsip mereka, menjalankan Al Quran dan Hadits yang benar adalah berdasarkan pemahaman ulama-ulama muslim terdahulu (salafush sholeh). Tidak satu pun informan terlibat langsung dengan organisasi keagamaan yang ada. Keseluruhan aktivitas mereka bersifat cair, individual, dan bercadar merupakan sebuah upaya penjagaan dan penyelamatan diri secara pribadi

Sepanjang penelitian, peneliti menemukan bahwa mereka seringkali mengubah pandangan dunianya, ketika menafsiran kembali biografi pribadi mereka. Khususnya, untuk pengalaman tobat, sebagai pra-kondisi sebelum bercadar. Sesuai pengalaman informan, tobat dapat dipahami dan dibagi prosesnya ke dalam tiga tahap. Pertama, apabila seseorang melakukan kesalahan, dan kesalahan itu cukup besar, maka dalam kesadarannya akan muncul beberapa reaksi kejiwaan. Antara lain, batinnya terasa kocar-kacir, hilang keseimbangan, dan menderita disharmoni yang berhujung pada keputusasaan. Kedua, munculnya penyesalan. Ketiga, adalah momen pengambilan keputusan pribadi yang sangat eksistensial. Ketika Ia hanya sendirian dengan dirinya, mengambil keputusan untuk dirinya, tanpa pengawasan dan paksaan dari pihak luar, dan kemudian ia memutuskan untuk bercadar.

Meskipun demikian, tidak dapat dilakukan generalisasi atas fakta dan realitas individu maupun kelompok muslimah bercadar di lapangan. Sebab, sekali lagi, meskipun mereka sama-sama bercadar, namun mereka berangkat dari titik balik sosiologis (turning point) yang berbeda. Motif dan pemaknaan cadar bagi para informan bukanlah sesuatu yang sudah jadi, melainkan sebuah proses menjadi yang terus-menerus berdialektika, baik di dalam maupun di luar individu, sebagai sebuah pencarian spiritual dan (mungkin) sebagai gerakan politik keagamaan.

Sehingga, alangkah bijaknya jika prasangka sosial dan cerita miring yang selama ini berkembang dan cenderung menyudutkan mereka, pelan-pelan dieliminir. Masyarakat dan komunitas perempuan bercadar, hendaknya membuka ruang dialog yang lebih sehat. Sehingga kehadiran mereka, tidak sampai mengganggu integrasi sosial masyarakat di masa mendatang. Apalagi, saat ini sedang lahir "generasi kedua" dari keluarga atau pasangan perempuan bercadar di Jawa ini. Sudah saatnya untuk tidak hanya menghakimi, melainkan mulailah untuk bertanya dan memahami : apa makna di balik cadar itu bagi mereka?

9 comments:

  1. Aslm pak, saya mahasiswa yang sedang mengerjakan penelitian tentang perempuan bercadar. Bolehkah saya melihat lebih lengkap hasil penelitiannya pak yanu. Mudah-mudahan kita juga bisa diskusi. email saya : sobat_cimot@yahoo.com. Mohon bantuannya

    ReplyDelete
  2. aslm, bapak....
    saya mahasiswa yang juga ingin meneliti tentang perempuan bercadar terkait dgn psikologi..
    saya mohonbantuan bapak untuk bisa memperoleh data yang lebih lengkap tentang hasi penelitian bapak (perempuan bercadar)
    jika berkenan, bapak dapat mengirimkan atau menghubungi saya pada email saya: hernaohherna@yahoo.com
    terima kasih..

    ReplyDelete
  3. aslm, bapak....
    saya mahasiswa yang juga ingin meneliti tentang perempuan bercadar terkait dgn psikologi..
    saya mohonbantuan bapak untuk bisa memperoleh data yang lebih lengkap tentang hasi penelitian bapak (perempuan bercadar)
    jika berkenan, bapak dapat mengirimkan atau menghubungi saya pada email saya: hernaohherna@yahoo.com
    terima kasih..

    ReplyDelete
  4. Aslm pak, saya mahasiswa komunikasi yang sedang mengerjakan penelitian tentang perempuan bercadar. Bolehkah saya melihat lebih lengkap hasil penelitiannya pak Yanu. email saya : luveleevenom@gmail.com Mohon bantuannya. terimakasih.

    ReplyDelete
  5. permisi, saya mahasiswa sosiologi sedang mengerjakan penelitian tentang perempuan bercadar. bolehkah saya melihat lebih lengkap hasil penelitiannya bapak yanu? email saya Erina_ca@yahoo.co.id. mohon bantuannya, terima kasih.

    ReplyDelete
  6. Assalamu alaikum pak, saya mahasiswi psikologi yang sedang mengerjakan penelitian tentang perempuan bercadar. Bolehkah saya melihat lebih lengkap hasil penelitiannya pak. email saya : andisriw25@gmail.com Mohon bantuannya. terimakasih.

    ReplyDelete
  7. Cadar wajib menurut Imam Syafi'i
    Namun, beliau rahimahulallaah wa taqabalahullaah tdk mengatakan wajah itu aurat
    Tp klo dgn alasan wajah bukan aurat lalu Muslimah tdk boleh bercadar, maka minimal ada 3 kesalahan yg qt lakukan
    1. Itu sama saja menyalahkan Muslim laki laki yg memakai baju atas yg menutup dada. Bukannya dada laki laki bukan aurat??? Knp ditutup segala?
    2. Merasa lebih pandai drpd Imam Fuqaha dan Mazahib. Para imam empat tdk ada yg berpendapat makruhnya niqab. Yg ada (sejauh saya tw) minimal para imam ada yg menyebut cadar hukumnya sunnah
    Knp ulama salafus shalih?? Karena mereka ulama ikhlas yg dekat dgn zaman Rasulullah SAW dan sahabat rhum. Jadi sekalipun tdk bergabung dgn ormas ttt, bukan berarti mereka yg bercadar itu salah dalam beragama
    3. Menyalahkan Rasulullaah SAW, yg memerintahkan ummahatul mukminin memakai cadar BAHKAN saat bertemu seorang sahabat yg -Qadarallaah - mata sahabat ini buta

    Lagipula klo menghubungkan pakaian Syar'i dgn radikalisme
    Harusnya hubungkan juga donk pakaian non Syar'i dgn narkoba, judi, perzinahan dll

    Curigai mereka yg g Syar'i sbg bandar /pemakai narkoba atau wanita tuna susila donk
    Mana ada pelaku kriminal tsb yg pakaiannya Syar'i?
    Betul kan????
    Biar -INSYA ALLAH - jgn asal tuduh aja
    Apalagi yg dituduh ini Syari'at ALLAH (pakaiannya ummahatul mukminin rhuna?

    ReplyDelete