12 September 2007

Nuklir dan Fatwa Ulama


Sudah menjadi kebiasaan saat menjelang bulan puasa atau lebaran, fatwa yang paling ditunggu masyarakat – khususnya umat Islam - adalah kapan dimulainya puasa dan kapan jatuhnya tanggal satu syawal? Namun, menjelang Ramadhan kali ini, nampaknya ada fatwa lain yang lebih hangat dan tak sabar ditunggu hasil akhirnya oleh publik. Ada sebuah perdebatan yang sedang ramai menghiasi surat kabar kita belakangan ini. Apa lagi kalau bukan soal resistensi masyarakat Jepara terhadap rencana pendirian PLTN, yang memicu lahirnya fatwa "haram" sebagian ulama Jateng terhadap pendirian PLTN tersebut. Sementara itu, MUI bersikeras akan menguji ulang fatwa haram tersebut. Siapakah kira-kira yang akan memenangi drama pertarungan kali ini?
Layaknya kasus lain yang serupa tapi tak sama, seperti pelabelan halal dan haram pada produk tertentu, penanganan prostitusi, kasus kepemimpinan negara oleh perempuan, penerapan secara formal syariat Islam, penetapan awal dan akhir bulan puasa, dan lain sebagainya, kita sesungguhnya sedang menyaksikan pertarungan yang sengit antara kepentingan pasar atau pemilik modal, negara, dan civil society. Tarik ulur kekuatan tersebut, terkadang berlangsung menggelikan dan berakhir dengan keputusan aneh yang sekaligus membingungkan publik secara luas. Rumus umum yang selama ini berlaku adalah, pertama, jika kepentingan pasar dan negara bersatu, maka kekuatan civil society jelas akan kesulitan dalam membendung. Contoh, kebijakan kenaikan harga BBM tahun 2005, privatisasi BUMN, Komersialisasi pendidikan melalui BHP, dan lain sebagainya.
Kedua, Jika negara dalam posisi lemah, dan pasar relatif tidak agresif, maka civil society akan berpeluang menekan kebijakan negara. Contoh, formalisasi syariat Islam di Naggroe Aceh Darussalam, Otonomi khusus Papua, dan sebagainya. Dengan catatan, elemen dan struktur di dalam civil society tersebut relatif bersatu dan memiliki suara kepentingan yang bulat.
Ketiga, ketika posisi pasar, negara, dan kekuatan civil society ini relatif seimbang, maka keputusan pihak keempat (otoritas agama, Adat, atau penguasa non-formal lainnya) akan sangat berperan di dalam menentukan kemana arah bola panas ini akan bergulir? Pihak keempat ini, meskipun adalah juga bagian dari civil society, namun karena otoritas dan power hegemoniknya yang besar, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi wasit yang memegang peluit dan kartu hukuman terakhir yang menentukan nasib para pemain tadi. Hal ini pula yang mungkin sedang terjadi dalam kasus rencana pembangunan PLTN di jepara ini.
Keberpihakan Fatwa
Di Republik Islam Iran, meskipun ancaman dan tekanan politik serta ekonomi terus dilancarkan oleh Amerika, tetapi presiden Mahmoud Ahmadinejad begitu kukuh dan ngotot mempertahankan hak pengayaan uranium bagi negaranya. Mengapa bisa demikian? Sebab, selain rasionalisasi dan pertimbangan politik serta militer, ada hal lain yang membuat rakyat Iran juga mendukung keputusan pemerintahnya. Yaitu, adanya fatwa dari para Ayatulloh sebagai pemimpin negara dan spiritual tertinggi, yang memberikan restu dan payung hukum bagi negara untuk menunjukkan kedaulatannya : mendirikan dan mengembangkan teknologi nuklir untuk kesejahteraan rakyat !
Itu Iran. Lain di Iran, lain pula di Indonesia. Kompleksitas persoalan yang dihadapinya pun juga berbeda. Di Indonesia, otoritas ulama – taruhlah seperti ulama yang tergabung dalam MUI - tidak menempati posisi yang sejajar atau melampaui kekuatan negara. Meskipun, posisi ulama ini masih sangat strategis dan memiliki daya tawar yang cukup tinggi. Akan tetapi, fatwa sebagai produk hukum ulama, sifatnya hanyalah anjuran dan bahan pertimbangan dari sisi hukum semata. Sementara, keputusan untuk mengikuti atau tidak mengikuti fatwa tersebut, menjadi hak individu umat Islam. Posisi mengambang seperti inilah yang sebenarnya menyebabkan sebuah fatwa berpeluang menjadi blunder. Ibarat bola liar yang ditendang kesana kemari tanpa arah yang jelas dan terkadang mampu mengecoh kiper hingga membobol gawangnya sendiri.
Di satu sisi, fatwa dapat digunakan sebagai alat legitimasi politik dan ekonomi yang merugikan masyarakat. Namun, di sisi lain fatwa juga dapat menjadi alat perjuangan yang mendorong pengorbanan hingga bahkan bunuh diri altruistik para penganutnya. Misalnya, fatwa untuk jihad dalam arti perang, bunuh diri berjama’ah sekte-sekte agama menjelang ‘kiamat’, bom bunuh diri seorang ekstrimis-teroris, dan lain semacamnya. Maka bukan tidak mungkin, fatwa haram bagi pendirian PLTN ini, dapat menambah kekuatan dan dorongan tersembunyi (invisible drive) bagi masyarakat Jepara untuk melawan kebijakan negara kelak. Sebaliknya, fatwa halal sebagai counter yang mungkin akan dikeluarkan Ulama Pro-Pemerintah atau elit ulama Ormas Islam yang berpihak pada pemilik modal, akan dapat pula menjadi "senjata" negara untuk melumpuhkan perlawanan ulama akar rumput dan civil society pada umumnya.
Secara ilmiah, saya tidak yakin akan konsekuensi logis dari pendirian PLTN di Jepara, Jawa Tengah. Baik dari sisi safety, ekonomi, lingkungan, maupun dampaknya terhadap bangsa Indonesia, dan masyarakat Jepara khususnya. Namun, saya yakin, dibutuhkan dialog yang intensif antara pemerintah dan masyarakat, agar kebijakan yang lahir tidak hanya menguntungkan satu pihak saja. Memang, isu ini baru pada tahap rencana, sedangkan untuk realisasinya, PLTN ini membutuhkan waktu dan perencanaan yang cukup panjang. Akan tetapi, alangkah baiknya jika negara mau belajar dari berbagai kasus yang pernah dan sedang dialami negeri ini. Bahwa sesungguhnya, kecerobohan dalam mengambil kebijakan, nantinya harus dibayar dengan biaya ekonomi dan sosial yang teramat mahal. Tengoklah, kasus lumpur Lapindo yang telah membawa kita pada ujung keputusasaan dan frustasi yang dalam. Begitu pula dengan berbagai kerusakan lingkungan dan ekosistem yang dahsyat akibat aktivitas penambangan yang belum tentu mensejahterakan rakyat sekitarnya.
Dengan demikian, fatwa ulama diharapkan tidak semata-mata melihat pada aspek hukum tekstualnya belaka, melainkan juga harus melihat konteks kemanusiaan dimana ia berpijak. Seperti argumentasi di atas, selain untuk pencerahan, ternyata fatwa berpeluang ditumpangi oleh konspirasi kejahatan yang merugikan. Tinggal sekarang, mampukah ulama kembali kepada posisi strategisnya sebagai pemberi pencerahan pada umat? Atau hanya akan menjadi stempel bagi kenaifan penguasa dan kerakusan pegusaha belaka? Wahai para alim ulama, integritas Anda sedang diuji!

No comments:

Post a Comment