25 August 2008

GAGALNYA PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN





Oleh : Yanu Endar Prasetyo

Secara umum, kewajiban pemerintah untuk memprakarsai pengukuran berbagai indikator kemiskinan dari berbagai perspektif. Misalnya, indikator insiden kemiskinan (The Poverty Headcount Index), tingkat kedalaman kemiskinan (The Depth of Poverty), dan tingkat keparahan kemiskinan (The Severity of Poverty Gap). The Poverty Headcount Index atau The Incidence of Poverty menggambarkan prosentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. The Poverty Gap Index atau The Depth of Poverty adalah kedalaman kemiskinan di suatu wilayah, yang merupakan perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. The Severity of Proverty menunjukkan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah. Indikator ini memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, dan ketimpangan di antara orang miskin.

Menurut laporan Statistik tentang tingkat kemiskinan di Indonesia, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada bulan Maret 2006 sebanyak 39,90 juta jiwa (17,75 %). Dibandingkan dengan bulan Februari tahun 2005, jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan sebesar 3, 95 juta jiwa. Namun, ada sedikit kabar gembira (meskipun masih menjadi kontroversi) pada bulan Maret 2007, terjadi penurunan angka kemiskinan secara nasional. Penduduk miskin turun sebanyak 2,13 juta dari 39,90 juta orang (17,75%) menjadi 37,17 juta jiwa (16,58) dari jumlah penduduk (SM, 16/07/07).

Data dari BPS juga menunjukkan bahwa garis kemiskinan menunjukkan kenaikan 9,67 % dari Rp. 151.997 per kapita per bulan pada Maret 2006, menjadi Rp. 166.697 per kapita per maret 2007. naiknya garis kemiskinan ini disebabkan oleh pengaruh adanya kenaikan harga komoditas kebutuhan pokok masyarakat yang lebih tinggi daripada kenaikan tingkat inflasi selama satu tahun tersebut.

Pada dasarnya, ada dua faktor penting yang menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin (Raskin), program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk orang miskin, Asuransi Kesehatan Untuk Orang miskin (Askeskin), Bantuan langsung Tunai (BLT) dan sebagainya. Program bantuan semacam ini, akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada. Tetapi justru melahirkan persoalan baru, semisal konflik horizontal, Ketergantungan, korupsi, disintegrasi warga, hingga melahirkan mental ‘peminta-minta’. Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen.

Kedua, gagalnya program penanggulangan kemiskinan dilatarbelakangi paradigma dan pemahaman yang kurang tepat tentang penyebab kemiskinan itu sendiri. Sehingga wajar, jika program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan dan pro rakyat miskin. Penyebabnya, sekali lagi, adalah data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini masih tumpang tindih dan bahkan tidak sesuai dengan kenyataan kemiskinan sebenarnya yang dirasakan oleh masyarakat.

Data BPS dan Susenas, yang selama ini menjadi acuan, memang hanya tepat ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik. Asumsi yang dibangun menekankan pada keseragaman dan fokus pada dampak. Kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar nan majemuk, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal. Akibat logisnya, angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan kepala daerah, karena adanya dua atau lebih angka kemiskinan yang sangat berbeda.

Secara konseptual, data makro BPS yang selama ini dihitung dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), sebenarnya dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antar-daerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti model-model ekonometrik yang selama ini digunakan.

Negara, sebagai penanggung-jawab utama dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia, masih harus banyak berbenah untuk membuktikan kesungguhannya dalam melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak rakyat atas pendidikan, pekerjaan, pangan, kesehatan, dan hak dasar hidup yang lain.

No comments:

Post a Comment