10 November 2008

AMrozi, Obama, dan Hari Pahlawan

Dalam minggu-minggu ini, ada beberapa peristiwa penting, yang secara simbolik mengingatkan kita pada makna kepahlawanan. Kebetulan pula, pada tanggal 10 November, bangsa kita memperingati kembali hari pahlawan, yang di masa lalu sungguh heroik itu.
Peristiwa pertama adalah terpilihnya senator Barrack Husein Obama sebagai presiden Amerika Serikat ke-44. Kemenangan Obama ini, menjadi kabar baik hampir di seluruh belahan dunia. Masyarakat dunia ternyata berharap terjadi perubahan atas citra dan tindakan Amerika dengan terpilihnya kandidat kulit hitam dari Partai Demokrat ini. Sebagian pihak juga yakin, bahwa melengganggnya Obama ke Gedung Putih, akan mampu meredam krisis ekonomi Amerika Serikat, yang kemudian menjadi krisis Global saat ini. Setidaknya, Obama telah menjadi ikon dan penanda demokrasi substansial di negeri yang mengaku pejuang demokrasi namun sering dilanda isu-isu rasial tersebut. Terpilihnya Obama telah menambah citra positif Amerika di mata dunia. Meskipun, kita semua masih menunggu, apakah Obama dan pemerintahannya akan membawa perubahan positif bagi kebijakan politik luar negeri Amerika. Sebelum jauh kesana, bagi bangsa kulit hitam atau afro-amerika, sudah terlanjur menjadikan Obama adalah pahlawan bagi mereka saat ini.
Jauh dari hiruk pikuk pesta kemenangan Obama disana, di Indonesia, masyarakat menyaksikan para pelaku Bom Bali II, yang telah menewaskan 200 orang lebih, sedang dieksekusi mati. Mereka adalah Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron atau Mukhlas. Semua media pernah mencatat, bahwa mereka berasal dari kelompok radikal yang Anti-Amerika. Mereka dianggap memiliki hubungan dan jaringan dengan teroris internasional. Amrozi dkk, adalah potret kecil yang merepresentasikan perjuangan para gerilyawan muslim di belahan dunia yang lain, seperti Afganistan, Pakistan, Filipina, Irak, Iran, hingga bumi Palestina. Mereka, para pejuang Anti-Amerika tersebut, pada saat yang sama, mendapat label teroris oleh media di seluruh dunia. Teroris dan pahlawan adalah label yang memiliki makna berlawanan. Meskipun, jika kita lihat dan hayati apa yang mereka kerjakan, secara substansial, sebenarnya identik. Yakni, mereka sedang meyakini dan memperjuangkan sesuatu, meskipun dengan cara yang berbeda.

Pahlawan dan Sejarah
Pahlawan adalah hasil konstruksi sejarah. Siapa yang berhak menjadi pahlawan dan siapa yang bukan, hanya sejarah yang menentukan. Padahal, sejarah itu sendiri dapat dikontrol dan dimanipulasi oleh mereka yang berkuasa. Pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, Tan Malaka dan Kartosuwirjo (pemimpin gerakan DI/TII) sempat dicap sebagai “pemberontak” dan “musuh” bagi revolusi kemerdekaan Indonesia. Namun belakangan, setelah para peneliti, ilmuwan, dan sejarawan memiliki kebebasan untuk menelusuri dan mendekonstruksi sejarah buatan penguasa itu, ditemukan bahwa sebenarnya Tan Malaka dan Kartosuwirjo, adalah pejuang yang ikut memperjuangkan kemerdekaan NKRI. Gelar pemberontak dan musuh pun direvisi menjadi “pahlawan”. Sebab, ekspresi perlawanan mereka, sebenarnya hanya karena mereka berbeda pendapat dan merasa dikhianati oleh pemimpin revolusi saat itu, Soekarno. Pun dengan Hasan Tiro, Wali Aceh dan mantan pimpinan tertinggi GAM ini, dulunya adalah orang yang ikut berjuang dan dicap menjadi pemberontak karena tidak sepakat dengan kebijakan Amir Syarifuddin saat itu, yang dianggap memecah belah RI.
Akan tetapi, sejarah ada di tangan penguasa. Siapapun yang berkuasa mampu mengambil dan menentukan sudut pandang mana yang diambil, untuk menentukan apakah seseorang menjadi pahlawan atau bukan. Namun, penguasa zaman dahulu dengan sekarang, sedikit berbeda. Jika penguasa dulu yang bisa memutar balikkan fakta dan membentuk opini sejarah adalah regim atau pemerintah (ingat dengan regim fasis Jerman, Itali, Jepang, komunisme Soviet, hingga yang terbaru Korea dan Kamboja), maka penguasa yang bisa menentukan citra pahlawan atau bukan saat ini adalah Media. Ya, kekuasaan media, baik cetak maupun elektronik melebihi sebuah regim.
Kemajuan teknologi dan komunikasi, yang menurut Friedmen telah “Mendatarkan Dunia”, benar-benar melampui sekat-sekat teritorial bangsa dan kebudayaan. Citra tentang Obama, dikonstruksi dan dibentuk melalui internet dan televisi. Pesan-pesan perubahan yang dijanjikan, bergaung dengan keras hingga ke telingan bangsa-bangsa di belahan dunia lain. Pun dengan George W. Bush, yang beberapa tahun silam sempat menjadi pahlawan yang telah menumpas regim totaliter Taliban, di Afganistan dan Saddam Hussein, di Irak. Namun, tak lama kemudian, saat Obama dicitra positif-kan dengan menolak kebijakan invasi Irak karena dianggap “proyek yang merugikan Amerika”, maka berbondong-bondong media menganggap George W. Bush sebagai “the real terorist” dan pelanggar HAM kelas berat.
Entah mengapa, sejarah pelabelan ke-Pahlawan-an ini begitu mudah dan cepat untuk berubah. Tapi itulah kekuatan media sesungguhnya. Hegemoni media mampu menyihir opini publik dalam waktu yang cepat secara massif. Ia mampu mengangkat seseorang untuk menjadi selebritis atau pahlawan, dan diwaktu yang sama, menjatuhkan seseorang menjadi teroris dan pengacau. Selama ini, kita selalu diyakinkan dengan mantra obyektivitas, netralitas, dan keseimbangan pemberitaan dari media. Padahal, setiap media pun sejatinya memiliki keberpihakannya sendiri.
Obama, detik ini menjadi orang yang dipuja dan dibanggakan di seluruh dunia. Sementara Amrozi dkk, adalah mereka yang dianggap sebagai pengacau, teroris, dan pembunuh. Namun perlu dicatat, pelabelan itu belum tentu akan abadi. Sejarah masih terus berjalan dan mencatat apa saja yang akan diperbuat oleh tokoh-tokoh itu. Selain yang mendukung, di luar sana, banyak juga yang membenci dan anti terhadap Obama. Pun terhadap Amrozi, mungkin saja, eksekusi mati yang mereka jalani, menjadi inspirasi yang justru menambah militansi para pejuang Anti-Amerika di luar sana. Mereka adalah Pahlawan dari sudut pandang itu. Media mungkin mencatat mereka secara negatif hari ini, namun, kelak mungkin akan terjadi sebaliknya. Hanya mereka, para pelaku, yang mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Apakah perjuangan yang mereka lakukan, tulus atau untuk tujuan-tujuan yang lain? Hanya mereka sendiri sebenarnya, yang tahu apakah mereka pahlawan atau bukan? Kita, yang di luar mereka, hanya bisa menunggu, media akan “memilih” menulis sejarah versi yang mana?
Semoga, label pahlawan senantiasa melekat kepada mereka yang memang memperjuangkan kebenaran yang diyakininya. Seperti mereka yang terkubur diam di taman makam pahlawan, yang bahkan tidak ada nama di atas batu nisannya. Mereka tak pernah menuntut. Sebab, menjadi pahlawan bukanlah tujuan, tapi hadiah yang diberikan oleh mereka yang telah merasa ikut diperjuangkan. Seperti ungkapan nasionalisme ala Naga Bonar, jika orang-orang berjuang hanya karena mereka ingin menjadi pahlawan, Apa Kata Dunia??
Selamat Hari Pahlawan !

2 comments:

  1. ada temen di milis alumni universitas yang suka banget buku berjudul "Tuhan tahu tapi menunggu." kata lainnya adalah tes waktu. tes waktu bekerja seperti roda yg berputar. seperti itu juga perjalanan sejarah. ada awal, pertengahan, dan akhir.

    wrote more and more.

    ReplyDelete
  2. mau ngomong apa ya???
    lam kenal aja dulu dah

    ReplyDelete