05 March 2009

Seni Berpikir Kritis




Oleh Yanu Endar Prasetyo

Seperti kebanyakan orang pahami, kebiasaan berpikir kritis seringkali berkonotasi negatif. Kritis kerapkali diartikan “melawan” argumentasi yang ada, atau “keluar” dari arus pemikiran umum. Terkadang, Kita menyebut orang yang “vokal” atau suka protes dan berteriak lantang menentang sesuatu, sebagai “orang yang kritis”. Apapun yang dipikirkan dan dilontarkan oleh orang-orang itu, oleh banyak orang lalu disebut sebagai “kritik”.

Kritik, yang semula hasil pemikiran itu, kemudian tersampaikan ke hadapan publik dalam berbagai bentuknya. Ada yang berupa lirik, lagu, film, drama, orasi, pidato, dan lain sebagainya. Kritik yang dimaksudkan sebagai manifestasi protes, rasa benci, melawan atau meluruskan sesuatu itu, tak jarang mendapatkan “kritik” lagi dari otoritas yang lain. Mengkritik sebuah kritik. Kritik-meng-kritik ini berlangsung terus menerus tanpa batas yang dapat kita gambarkan secara jelas. Mungkin itulah yang dimaksud dengan dialektika (Berger & Luckman, 1990:xix), gaya berpikir kontradiksi, sebuah siklus dari tesis-antitesis-sintesis/tesis baru-antitesis-dst. Yang jelas, dunia per-kritikan ini telah melahirkan banyak “profesi” baru, seperti kritikus film, kritikus sastra, dan “kritikus-kritikus” lainnya.

Dalam dunia akademis, dikenal pula istilah “critical review” atau tinjauan kritis. Kurang lebih maksudnya adalah cara pembacaan terhadap sesuatu (buku, jurnal, peristiwa, karya ilmiah, dsb) secara menyeluruh dan kritis. Tapi sayangnya, kesan yang muncul dari aktivitas “critical review” itu berubah menjadi sekedar mencari “apa yang kurang” dari sesuatu itu. Aktivitas meninjau secara kritis ini juga tidak hanya populer di kampus, tetapi juga di media massa dan elektronik. Critical review ala media elektronik, seperti televisi, kemudian melahirkan para “pengamat yang kritis”, baik di bidang sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya. Mereka biasanya dilabeli sebagai pakar yang menguasai dengan baik bidangnya, sehingga berhak untuk mengkritisi keadaan yang terjadi. Sementara versi media cetak, melahirkan para “kolumnis, penulis opini, maupun cerpenis” yang juga banyak mengulas atau menyisipkan kritik terhadap sesuatu, di dalam tulisan-tulisannya.

Jika memang demikian, apa sebenarnya tujuan dan manfaat dari kritik? Siapa, kapan, dan dimana cara berpikir kritis ini harus diterapkan?

Secara definitif, Berpikir kritis atau critical thinking merupakan kemampuan atau keahlian dalam menggunakan pikiran secara reflektif dan independen, sehingga mampu untuk menghasilkan pikiran yang jernih dan rasional (Lau, 2003). Berpikir kritis memang bisa digunakan untuk mencari titik lemah dari argumentasi orang lain. Ia juga bahkan dapat digunakan sebagai senjata dalam berdebat dan membunuh karakter “lawan bicara”. Namun demikian, dalam makna yang lebih positif, berpikir kritis dapat diandalkan sebagai kemampuan dalam pemecahan masalah (problem solving). Ia juga dapat digunakan untuk memperkuat cara pandang atau teori orang lain, dan untuk memperoleh pengetahuan.

Berpikir kritis adalah sebuah keahlian atau cara yang berguna dan penting dalam pengembangan profesi, karir, maupun kehidupan. Selain itu, berpikir secara jernih dan sistematis, dapat meningkatkan kemampuan untuk mengekspresikan gagasan secara lebih komprehensif. Artinya, berpikir kritis secara tidak langsung menambah kemampuan ber-bahasa dan keahlian presentasi dari orang tersebut.

Keahlian berpikir kritis juga sangat berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menjadi kreatif. Sebab, kreativitas tidak begitu saja muncul secara tiba-tiba sebagai akibat lahirnya ide atau gagasan baru. Ada proses yang terjadi sebelum kreativitas itu terwujud. Proses itu adalah proses berpikir. Seseorang yang kreatif adalah mereka yang mampu membangkitkan pikiran supaya melahirkan gagasan baru yang berguna dan relevan untuk dikerjakan. Ketika ide atau gagasan baru itu bermunculan, keahlian untuk berpikir kritis memiliki peran yang sangat penting. Khususnya dalam menilai dan mengevaluasi penting-tidaknya gagasan baru itu, memilih gagasan yang paling relevan, dan memodifikasi gagasan baru itu untuk disesuaikan dengan masalah yang dihadapi.

Metode berpikir kritis juga bermanfaat dalam kegiatan perenungan atau refleksi diri. Dalam rangka mendapatkan hidup dan kehidupan yang bermakna, serta untuk membangun hidup kita berdasarkan makna itu, kita perlu mencari pembenaran atas setiap keputusan hidup yang kita ambil. Berpikir kritis membantu kita mendapatkan alasan yang rasional tentang hidup dan pilihan yang kita jalani. Sebagai alat, berpikir kritis menyediakan seperangkat cara untuk melakukan proses evaluasi diri.

Dengan demikian, berpikir kritis sebenarnya bukan hanya monopoli para pengamat, akademisi, kritikus, pakar, atau kolumnis saja. Ia sejatinya adalah seni yang bisa diolah dan dipakai oleh siapapun. Terutama bagi mereka yang sadar akan potensi pikirannya dan merasa perlu untuk mengembangkan kreativitasnya. Seperti kata Bapak Filsafat Modern (Bertens,1998:45), Rene Descartes (1596-1650), bahwa “Cogito ergo sum”. Artinya, “saya ada karena saya meragukan sesuatu (yang dianggap sudah pasti sekalipun) secara radikal !”

Pun dalam hal memilih pada Pemilu 2009 yang tinggal dalam hitungan hari ini, berpikirlah kritis sebelum mencontreng!

4 comments:

  1. kritis=kreatif?
    berpikir kritis=meragukan sesuatu?

    bagaimana bila bersikap kritis namun tak menjadi kreatif?

    bagaimana bila berpikir kritis tetapi tak kunjung menemukan jawaban atau konklusi dari sesuatu?

    ReplyDelete
  2. thanks berat buat pertanyaan kritisnya.

    1. kritis tidak = kreatif, tapi kreatifitas adalah buah dari gagasan yang kritis. ya, tentu saja tidak ada harga mutlak untuk premis itu.

    2. ya menjadi kritis tidak harus meragukan sesuatu, itu hanya rumus dari Descartes saja, filsuf lain juga punya caranya sendiri, seperti derida dengan metode "dekonstruksi", atau Giddens dengan "reflective monitoring" dsb.

    3. rasionalitas manusia akan menuntun pada apa yang disebut sebagai "perhitungan" atau dalam bahasa teori yang lebih kongkrit adalah "pertukaran" (exchange). akan banyak faktor yang menjembatani dari pikiran menjadi sebuah tindakan. sebab, kadang kreativitas bisa mengundang resiko atau tidak menguntungkan bagi seseorang, jadi, kritis bisa berhenti pada otak dan mulut saja, tidak sampai pada tindakan, jika saja dihitung merugikan.

    4. sebab sebenarnya dalam kehidupan ini semua jawaban adalah bersifat "sementara". kalopun ada yang merasa menemukan "jawaban akhir" atas sesuatu hal, saya yakin akan ada orang lain yang memberikan/memperbaiki jawaban itu. jadi, konklusi bukan akhir dari suatu proses berpikir kritis.

    ReplyDelete
    Replies
    1. untuk mengerti semua itu apa perlu kita belajar filsafat dahulu?

      Delete
  3. berpikir kritis seharusnya menjadi budaya berpikir kita sehari-hari. banyak kerusuhan-kerusuhan yang terjadi akibat dari menerima informasi yang tidak akurat sehingga mudah memancing emosi masyarakat.

    ReplyDelete