06 May 2012

Ingin Kaya? (Jangan) Jadi Petani!


Oleh : Yanu Endar Prasetyo

Jika kita bertanya kepada anak-anak tentang profesi apa yang mereka idamkan, jangan kaget jika tidak ada yang menjawab : “aku ingin menjadi petani”. Bahkan jika pertanyaan yang sama diajukan kepada pelajar maupun mahasiswa, mungkin kita akan mendapati gejala yang serupa. Sebagai bangsa yang dianugerahi kesuburan tanah, matahari yang bersinar sepanjang tahun dan sumber daya air yang melimpah (meskipun makin tercemar), aneh rasanya jika generasi mudanya malah berbondong-bondong menjauh dari dunia pertanian. Bukan hanya pertanian dalam arti sempit (bercocok tanam), tetapi juga dalam arti luas. Tengok saja data yang dirilis oleh pemerintah, penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian pada tahun 2011 tinggal 33,51% (39,33 juta orang) dari total angkatan kerja nasional. Padahal tahun sebelumnya (2010) masih mencapai 41,49 juta orang. Itu pun sebagian besar sudah berusia diatas 45 tahun. Artinya, dalam satu tahun kita kehilangan sekitar 2 juta orang petani sekaligus mendapat bonus terputusnya rantai regenerasi petani.

Para ahli yang menelaah fenomena ini menyebutkan bermacam alasan dan penyebab petani beralih profesi. Antara lain, rendahnya harga produksi pertanian, minimnya pendapatan, kebijakan yang berseberangan (misalnya dalam soal impor pangan), perampasan tanah oleh perkebunan, pertambangan hingga proyek-proyek pembangunan swasta dan pemerintah yang makin mempersempit kepemilikan lahan petani. Karenanya banyak petani turun pangkat menjadi petani gurem dan bahkan buruh tani. Seorang petani yang kehilangan lahan, nelayan yang kehilangan kapal, atau peladang yang kehilangan hutan, ibarat tuna netra yang berjalan tanpa tongkat. Mereka kehilangan pegangan. Bukan hanya kehilangan penopang ekonomi, tetapi juga harga diri, identitas dan kebanggaan terhadap profesi dan pekerjaannya. Dari sinilah kemudian melekat atribut bahwa petani adalah simbol dari kemiskinan.

Evolusi Kebudayaan Agraris
Representasi sosial kemiskinan petani itu terus bergaung di berbagai media dan menularkan kesadaran pada generasi muda bahwasanya “jika ingin kaya, jangan jadi petani!”. Bahkan seorang petani kaya sekalipun, banyak yang tidak ingin anaknya menjadi petani. Ditinjau dari sisi evolusi kebudayaan, menjadi atau tidak menjadi petani bukanlah persoalan genetis, melainkan persoalan memetis. “Meme” disini mirip dengan gen. Apabila gen biologis berpindah dari satu tubuh ke tubuh lainnya melalui reproduksi, maka meme berpindah dari satu otak ke otak lainnya melalui proses imitasi. Jika gen merupakan pembawa informasi biologis, maka meme adalah pembawa informasi budaya berupa keyakinan dan gagasan. Meme adalah unit kebudayaan yang dapat dipindahkan, dikomunikasikan, digandakan dan diwariskan. Inilah elemen kognitif dan perilaku manusia yang jarang disentuh dalam menganalisis fenomena krisis petani di negeri ini, bahwa sedang terjadi seleksi alam dalam masyarakat pertanian kita akibat dari evolusi pengetahuan dan kebudayaan dunia.
Sadar atau tidak, keengganan generasi muda terjun ke dunia pertanian bukan sekedar persoalan ekonomi, regulasi atau ekologi saja, melainkan juga persoalan gaya hidup. Dalam konteks ini, meme gaya hidup “modernisme”, “hedonisme” dan “konsumtivisme” telah tereplikasi dan ditiru secara mendalam oleh otak dan kesadaran generasi muda. Lupakan kebudayaan agraris, karena telah lahir kebudayaan kapitalis-konsumtif yang gegap gempita hingga ke pelosok desa dan pulau. Ini adalah konsekuensi dari evolusi kapitalisme produksi menjadi kapitalisme konsumsi. Menurut teori Jean Baudrillard (1998) tentang kapitalisme lanjut ini, manusia telah “dihasrati” oleh kebutuhan-kebutuhan yang mengarahkan mereka untuk meraih segala sesuatu yang memberi kepuasan (Wijayanto, 2011:58).
Dalam upaya meraih kepuasan itu, manusia dijangkiti suatu penyakit psikologis yang disebut dengan narsisme konsumen (consumer narcissism), yaitu suatu kondisi dimana kekayaan (terlihat kaya), selera dan status yang melekat pada diri kita menjadi lebih penting dari segalanya. Dalam sebuah alam berpikir dan budaya global semacam ini, dapat dibayangkan bahwa menjadi petani adalah sangat jauh dari selera, status dan kekayaan yang diimpikan oleh kebanyakan generasi muda. Sebuah pilihan profesi yang mungkin akan dilupakan.
Bayangkan, berkotor-kotor badan dengan lumpur atau binatang ternak dan terjemur dibawah terik setiap hari tentu bukan sebuah gaya hidup yang membangkitkan selera. Alih-alih mendapatkan status sebagai pahlawan pangan, justru kita akan menduduki strata paling bawah dalam pelapisan sosial masyarakat. Kita lihat fenomena bagaimana anak-anak petani tidak lagi memandikan kerbau atau sapi mereka di sore hari, melainkan ramai-rami memandikan sepeda motor mereka dengan air yang mengalir di pinggir sungai. Sebuah penanda orientasi konsumsi yang dipenuhi hasrat akan pencitraan jati diri sebagai bagian dari masyarakat modern.
Mendorong-dorong generasi muda agar mau terjun ke dunia pertanian tanpa memberikan insentif tertentu agar terpenuhinya standar gaya hidup modern, adalah ibarat memindahkan gunung : sia-sia. Meme konsumtivisme yang meracuni generasi muda misalnya, tidak lagi melihat apakah sesuatu yang ia konsumsi dan lakukan itu bermanfaat atau tidak, melainkan memuaskan atau tidak? Ia juga tidak bisa dilawan begitu saja, karena sifat meme ini seperti gen, sangat mudah ditiru, dan sayangnya ia bergerak secara horisontal (antar orang) sehingga lebih cepat menular. Cara terbaik untuk mencegah “kepunahan” petani karena gagal beradaptasi di alam konsumtivisme adalah dengan mengembalikan harga diri dan martabat petani itu sendiri. Menjadikan pekerjaan petani memiliki status yang istimewa, pendapatan diatas rata-rata, lahan yang mencukupi, dan melepaskannya dari jebakan simbol kemiskinan adalah harga mati.
Seperti halnya evolusi kebudayaan manusia yang banyak ditopang oleh teknologi, maka menyelamatkan profesi petani dari kegegalan seleksi alam ini adalah dengan membuat regulasi yang benar-benar berpihak. Semakin banyak petani biasa yang bisa disejahterakan, maka memepetani itu miskin” juga akan sirna. Kasus dalam dunia pendidikan adalah contoh yang baik. Ketika meme guru yang beratribut “pahlawan tanpa tanda jasa” dan dipersonifikasikan dalam sosok “Oemar Bakrie” pelan-pelan dihapuskan melalui 20 persen anggaran untuk pendidikan (termasuk kesejahteraan guru), maka profesi guru kini “terselamatkan” dan kembali diminati oleh banyak generasi muda. Kenapa kita tidak melakukan hal yang sama untuk petani dan pertanian? Terlepas dari berbagai kekurangannya, tugas kita adalah menyadarkan bahwa menjadi petani bukanlah sebuah keterpaksaan atau keterhimpitan belaka, melainkan suatu panggilan dan kesadaran. Hanya dengan itu evolusi kebudayaan kita dapat berjalan pada rel yang semestinya : jati diri dan identitas bangsa.




No comments:

Post a Comment