Oleh : Yanu Endar Prasetyo
Jika
kita bertanya kepada anak-anak tentang profesi apa yang mereka idamkan, jangan
kaget jika tidak ada yang menjawab : “aku
ingin menjadi petani”. Bahkan jika pertanyaan yang sama diajukan kepada
pelajar maupun mahasiswa, mungkin kita akan mendapati gejala yang serupa.
Sebagai bangsa yang dianugerahi kesuburan tanah, matahari yang bersinar
sepanjang tahun dan sumber daya air yang melimpah (meskipun makin tercemar),
aneh rasanya jika generasi mudanya malah berbondong-bondong menjauh dari dunia
pertanian. Bukan hanya pertanian dalam arti sempit (bercocok tanam), tetapi
juga dalam arti luas. Tengok saja data yang dirilis oleh pemerintah, penyerapan
tenaga kerja di sektor pertanian pada tahun 2011 tinggal 33,51% (39,33 juta
orang) dari total angkatan kerja nasional. Padahal tahun sebelumnya (2010)
masih mencapai 41,49 juta orang. Itu pun sebagian besar sudah berusia diatas 45
tahun. Artinya, dalam satu tahun kita kehilangan sekitar 2 juta orang petani
sekaligus mendapat bonus terputusnya rantai regenerasi petani.
Para
ahli yang menelaah fenomena ini menyebutkan bermacam alasan dan penyebab petani
beralih profesi. Antara lain, rendahnya harga produksi pertanian, minimnya
pendapatan, kebijakan yang berseberangan (misalnya dalam soal impor pangan),
perampasan tanah oleh perkebunan, pertambangan hingga proyek-proyek pembangunan
swasta dan pemerintah yang makin mempersempit kepemilikan lahan petani.
Karenanya banyak petani turun pangkat menjadi petani gurem dan bahkan buruh tani. Seorang petani yang kehilangan lahan,
nelayan yang kehilangan kapal, atau peladang yang kehilangan hutan, ibarat tuna
netra yang berjalan tanpa tongkat. Mereka kehilangan pegangan. Bukan hanya
kehilangan penopang ekonomi, tetapi juga harga diri, identitas dan kebanggaan
terhadap profesi dan pekerjaannya. Dari sinilah kemudian melekat atribut bahwa petani
adalah simbol dari kemiskinan.
Evolusi Kebudayaan Agraris
Representasi
sosial kemiskinan petani itu terus bergaung di berbagai media dan menularkan kesadaran
pada generasi muda bahwasanya “jika ingin
kaya, jangan jadi petani!”. Bahkan seorang petani kaya sekalipun, banyak
yang tidak ingin anaknya menjadi petani. Ditinjau dari sisi evolusi kebudayaan,
menjadi atau tidak menjadi petani bukanlah persoalan genetis, melainkan
persoalan memetis. “Meme” disini
mirip dengan gen. Apabila gen biologis berpindah dari satu tubuh ke tubuh
lainnya melalui reproduksi, maka meme berpindah dari satu otak ke otak lainnya
melalui proses imitasi. Jika gen merupakan pembawa informasi biologis, maka
meme adalah pembawa informasi budaya berupa keyakinan dan gagasan. Meme adalah unit kebudayaan yang dapat
dipindahkan, dikomunikasikan, digandakan dan diwariskan. Inilah elemen kognitif
dan perilaku manusia yang jarang disentuh dalam menganalisis fenomena krisis
petani di negeri ini, bahwa sedang terjadi seleksi alam dalam masyarakat
pertanian kita akibat dari evolusi pengetahuan dan kebudayaan dunia.
Sadar
atau tidak, keengganan generasi muda terjun ke dunia pertanian bukan sekedar
persoalan ekonomi, regulasi atau ekologi saja, melainkan juga persoalan gaya
hidup. Dalam konteks ini, meme gaya
hidup “modernisme”, “hedonisme” dan “konsumtivisme” telah tereplikasi dan
ditiru secara mendalam oleh otak dan kesadaran generasi muda. Lupakan
kebudayaan agraris, karena telah lahir kebudayaan kapitalis-konsumtif yang
gegap gempita hingga ke pelosok desa dan pulau. Ini adalah konsekuensi dari
evolusi kapitalisme produksi menjadi kapitalisme konsumsi. Menurut teori Jean Baudrillard
(1998) tentang kapitalisme lanjut ini, manusia telah “dihasrati” oleh
kebutuhan-kebutuhan yang mengarahkan mereka untuk meraih segala sesuatu yang
memberi kepuasan (Wijayanto, 2011:58).
Dalam
upaya meraih kepuasan itu, manusia dijangkiti suatu penyakit psikologis yang
disebut dengan narsisme konsumen (consumer
narcissism), yaitu suatu kondisi dimana kekayaan (terlihat kaya), selera
dan status yang melekat pada diri kita menjadi lebih penting dari segalanya.
Dalam sebuah alam berpikir dan budaya global semacam ini, dapat dibayangkan
bahwa menjadi petani adalah sangat jauh dari selera, status dan kekayaan yang
diimpikan oleh kebanyakan generasi muda. Sebuah pilihan profesi yang mungkin akan
dilupakan.
Bayangkan,
berkotor-kotor badan dengan lumpur atau binatang ternak dan terjemur dibawah
terik setiap hari tentu bukan sebuah gaya hidup yang membangkitkan selera.
Alih-alih mendapatkan status sebagai pahlawan pangan, justru kita akan
menduduki strata paling bawah dalam pelapisan sosial masyarakat. Kita lihat
fenomena bagaimana anak-anak petani tidak lagi memandikan kerbau atau sapi
mereka di sore hari, melainkan ramai-rami memandikan sepeda motor mereka dengan
air yang mengalir di pinggir sungai. Sebuah penanda orientasi konsumsi yang
dipenuhi hasrat akan pencitraan jati diri sebagai bagian dari masyarakat
modern.
Mendorong-dorong
generasi muda agar mau terjun ke dunia pertanian tanpa memberikan insentif
tertentu agar terpenuhinya standar gaya hidup modern, adalah ibarat memindahkan
gunung : sia-sia. Meme konsumtivisme yang meracuni generasi muda misalnya,
tidak lagi melihat apakah sesuatu yang ia konsumsi dan lakukan itu bermanfaat
atau tidak, melainkan memuaskan atau tidak? Ia juga tidak bisa dilawan begitu
saja, karena sifat meme ini seperti
gen, sangat mudah ditiru, dan sayangnya ia bergerak secara horisontal (antar
orang) sehingga lebih cepat menular. Cara terbaik untuk mencegah “kepunahan”
petani karena gagal beradaptasi di alam konsumtivisme adalah dengan
mengembalikan harga diri dan martabat petani itu sendiri. Menjadikan pekerjaan
petani memiliki status yang istimewa, pendapatan diatas rata-rata, lahan yang
mencukupi, dan melepaskannya dari jebakan simbol kemiskinan adalah harga mati.
Seperti
halnya evolusi kebudayaan manusia yang banyak ditopang oleh teknologi, maka
menyelamatkan profesi petani dari kegegalan seleksi alam ini adalah dengan
membuat regulasi yang benar-benar berpihak. Semakin banyak petani biasa yang bisa
disejahterakan, maka meme “petani itu miskin” juga akan sirna. Kasus
dalam dunia pendidikan adalah contoh yang baik. Ketika meme guru yang beratribut “pahlawan
tanpa tanda jasa” dan dipersonifikasikan dalam sosok “Oemar Bakrie” pelan-pelan dihapuskan melalui 20 persen anggaran
untuk pendidikan (termasuk kesejahteraan guru), maka profesi guru kini
“terselamatkan” dan kembali diminati oleh banyak generasi muda. Kenapa kita
tidak melakukan hal yang sama untuk petani dan pertanian? Terlepas dari berbagai
kekurangannya, tugas kita adalah menyadarkan bahwa menjadi petani bukanlah sebuah
keterpaksaan atau keterhimpitan belaka, melainkan suatu panggilan dan kesadaran.
Hanya dengan itu evolusi kebudayaan kita dapat berjalan pada rel yang
semestinya : jati diri dan identitas bangsa.
sumber gambar : http://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2011/09/petani.jpg
No comments:
Post a Comment