Implementasi
Teknologi Tepat Guna untuk Pemberdayaan Masyarakat : Peluang, Strategi dan
Tantangan[1]
Oleh :
Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna (B2PTTG)
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
JL. K.S. Tubun No 5 Kabupaten Subang – Jawa Barat
41213
Telp : 0260-411478, 41288 Fax : 0260-411239
(Link berita terkait acara ini : DRPM UI, Technology for the poor-UI)
“I have no doubt that it is possible to give a new
direction to technological development, a direction that shall lead it back to
the real needs of man, and that also means : to the actual size of man. Man is
small, and, therefore, small is beautiful.”
[E.F. Schumacher, technology with a human face]
A. Latar
Belakang : Pemanfaatan TTG untuk Pemberdayaan Masyarakat
Balai Besar Pengembangan
Teknologi Tepat Guna (B2PTTG) LIPI telah berkiprah dalam kegiatan implementasi
dan pemanfaatan Teknologi Tepat Guna (TTG) untuk pemberdayaan masyarakat sejak
tahun 1979 dengan embrio “proyek TTG” yang digagas oleh Lembaga Fisika Nasional
(LFN). Setelah itu, pada tahun 1987 proyek TTG berkembang menjadi “Balai
Pengembangan TTG” dibawah Puslitbang Fisika Terapan. Tidak berhenti sampai
disitu, pada tahun 1998 Balai Pengembangan TTG berubah lagi menjadi Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Balai Besar Pengembangan TTG dan kemudian menjadi “Balai
Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna (B2PTTG) LIPI” sejak tahun 2005 sampai
dengan sekarang[5]. Dalam
perjalanannya, B2PTTG telah banyak melakukan kegiatan implementasi TTG,
terutama di wilayah pedesaan, mulai dari wilayah paling Barat hingga Timur
Indonesia. Beberapa bidang teknologi pokok yang terus diterapkan dan
dikembangkan hingga saat ini adalah bidang pangan dan energi.
Sebelum membahas lebih
jauh tentang pengalaman dalam penerapan TTG, ada baiknya kita menyamakan
persepsi terlebih dahulu terkait dengan filosofi dan tujuan dari teknologi
tepat guna itu sendiri. Dari berbagai pengertian yang ada - baik yang telah
diadopsi oleh pemerintah melalui Inpres No 3 tahun 2001[6],
Permendagri No 20/2010[7],
maupun yang tertuang dalam visi misi B2PTTG LIPI - setidaknya dapat kita
rangkum pemahaman TTG ini ke dalam 4 pilar utama yang tidak dapat dipisahkan
satu sama lain, yaitu (1) layak secara teknis (2) menguntungkan secara ekonomi
(3) diterima secara sosial-budaya dan (4) ramah terhadap lingkungan. Sasaran implementasi
TTG menurut dua peraturan diatas (Inpres 3/2001 dan Permendagri 20/2010) secara
umum sama, yaitu golongan miskin (masyarakat penganggur, putus sekolah, dan
keluarga miskin), golongan wirausaha (masyarakat yang memiliki usaha mikro,
kecil dan menengah) kawasan (pedesaaan dan perkotaan) serta institusi yang membutuhkan. Dengan pemahaman tersebut,
implementasi TTG bukan saja mampu mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat
miskin, tetapi juga dapat menjadi strategi jangka panjang untuk meraih
kesejahteraan secara berkelanjutan.
*) Sumber : diolah dari data BPS 2007-2010
Gambar 1. Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia lebih banyak yang tinggal di wilayah
pedesaan, potensi bagi penerapan TTG untuk peningkatan kesejahteraan
Senada dengan semangat
teknologi untuk masyarakat miskin dan pengentasan kemiskinan (pro-poor technology) diatas, dalam
Agenda Riset Nasional (ARN) 2010-2014 juga dikemukakan bahwa untuk mewujudkan
kemandirian dan kemampuan penguasaan teknologi itu perlu didukung oleh
kemampuan mengembangkan potensi sumberdaya manusia (SDM), sehingga tercapai peningkatan
produktivitas, pengembangan kelembagaan ekonomi yang efisien dengan menerapkan
praktik-praktik terbaik (best practices).
Berbagai bentuk teknologi yang dikembangkan hendaknya dipusatkan kepada
pemenuhan kebutuhan pokok bagi peningkatan kesejahteraan rakyat yaitu pangan,
energi, kesehatan, serta infrastruktur dasar berupa perumahan, ketersediaan air
bersih, akses transportasi dan komunikasi. Implementasi teknologi dapat
dilaksanakan melalui program-program difusi atau transfer teknologi khususnya
untuk usaha kecil dan menengah, serta penguatan institusi intermediasi.
Tabel 1. Potensi
UMKM di Indonesia (2010)
Jumlah UMKM
|
53,82
juta unit
|
Tenaga Kerja
|
99,40
juta orang
|
Nilai dalam
perekonomian (PDB harga berlaku)
|
Rp.
3,466 triliun
|
Porsi terhadap total
kegiatan ekonomi
|
57,12
persen
|
*)
Sumber BPS dan Litbang Kompas (16/02/12)
Penumbuhan Usaha Mikro Kecil
dan Menengah (UMKM) melalui implementasi TTG juga
merupakan sasaran strategis dalam upaya penanggulangan kemiskinan dan
pertumbuhan ekonomi sekaligus. Sebab, sektor UMKM ini paling banyak dijalankan
oleh masyarakat ekonomi lemah yang bermodal kecil dan minim akses terhadap
permodalan, teknologi maupun pasar. Padahal, sektor ini mampu menyerap tenaga
kerja yang cukup besar [lihat tabel 1]. Karakteristik TTG yang sederhana, mudah
dioperasikan, dan relatif murah sangat cocok untuk dijadikan pendorong bagi
berkembangnya UMKM sehingga layak secara teknis maupun bisnis. Terlebih dengan
prinsip pemberdayaan masyarakat yang bermakna “help people to help themselves”, TTG ini sangat tepat menjadi alat
untuk menumbuhkan kemandirian pada masyarakat atau komunitas miskin tersebut. Tinggal
sejauh mana rasa empati dan keberpihakan dari penyedia TTG tersebut untuk
secara serius dan sepenuh hati dalam mengimplementasikannya?
Gambar 2. Konsep Alih Teknologi (sumber :
Abbas & Hidajat, 2006)
B. Pengalaman-Pengalaman
Implementasi TTG : “Best Practices”
Dalam makalah sependek
ini tentu saja kami tidak dapat menyajikan keseluruhan pengalaman – baik
keberhasilan maupun kegagalan – dari implementasi TTG yang pernah dijalankan
oleh B2PTTG LIPI. Bahkan, jika harus memilih mana dari sekian banyak kegiatan
tersebut yang dapat disebut sebagai “best
practices” rasanya juga tidak mudah, sebab setiap kegiatan memiliki kadar
dan konteks permasalahannya masing-masing. Disamping itu, belum tentu suatu
pengalaman yang bagus dan pernah diterapkan pada suatu wilayah dan waktu
tertentu, akan memiliki hasil yang sama bagus ketika direplikasi ke tempat dan
waktu yang berbeda. Lokalitas dan ciri
spesifik lokasi kegiatan teramat penting untuk dipandang sebelah mata. Justru,
terkadang faktor penentu keberhasilan implementasi TTG ini adalah pada
aspek-aspek non-teknis semacam itu. Berikut adalah beberapa kegiatan
implementasi TTG yang menurut pengalaman kami memiliki nilai historis dan
mengandung pelajaran yang cukup penting dalam melakukan intervensi TTG kepada
masyarakat, khususnya di wilayah pedesaan.
1. TTG
di Wamena : Yogotak Hubuluk Motok
Hanorogo[8]
Salah satu kegiatan
pemberdayaan masyarakat berbasis TTG yang cukup komprehensif adalah kegiatan
Pengembangan Masyarakat Pedesaan Wamena (PWPW) tahun 1987 s.d 1997. PMPW ini
merupakan program penugasan khusus dari BAPPENAS kepada LIPI. Tindak lanjut
dari penugasan ini, LIPI menerjunkan personil-personil dari beberapa kedeputian
dan satuan kerja yang berbeda bidang ilmunya, mulai dari Biologi, Limnologi, Geologi,
Ilmu Sosial hingga berbagai ilmu terapan. Kegiatan PMPW yang multidisiplin ilmu
dan dilakukan di wilayah pedalaman lembah Balim ini tentu saja memberi banyak
pelajaran dan pengalaman tentang arti penting dan keberpihakan kepada mereka
yang minim akses terhadap IPTEK. Beberapa contoh kegiatan yang berkaitan
langsung dengan implementasi TTG antara lain :
a.
Pengembangan
usaha tani. Terdiri dari budidaya pertanian lahan kering (palawija dan hortikultura),
pertanian lahan basah (sawah, sistem tumpang sari), teknologi penanganan pasca
panen (sarana penyimpanan, perontok padi, penggiling padi, pemipil jagung
sederhana, pembuat beras jagung, pengupas kopi, alas jemur dll), Peternakan
keluarga dan Perikanan darat.
b.
Pengembangan
Pemukiman dan Lingkungan hidup, misalnya pembangunan sumur gali, jembatan
gantung Waesaput, pembangunan Honai dan Sili contoh.
c.
Pengembangan
Sarana Berhimpun dan Pelatihan. Terdiri dari pembangunan sarana fisik (pilamo
adat, perbengkelan logam, kios usaha, lantai jemur dan gudang, bangunan honai
serba guna dan perbengkelan kayu).
Hasil dari kegiatan
tersebut tentu saja telah berhasil membuka wawasan masyarakat lokal terhadap
IPTEK “modern”, meskipun intervensi TTG harus dipahami selalu memberi
dampak-dampak lain yang tidak selalu konstruktif. Namun secara umum, kegiatan
PWPW ini dapat menjadi suatu model pemberdayaan masyarakat berbasis TTG yang
cukup lengkap.
2. Pengembangan
TTG di Wilayah Poso Pasca konflik[9]
Wilayah berpotensi
konflik di Indonesia ini cukup banyak, baik konflik yang bersifat horisontal
hingga konflik berbau SARA. Salah satu titik api konflik tersebut adalah
wilayah Poso. Ketika konflik mulai mereda dan situasi kembali kondusif,
ternyata implementasi TTG dapat menjadi jembatan dan strategi yang cukup efektif
dalam membangun kembali persatuan dan kebersamaan warga masyarakat. Pengalaman
ini diperoleh pada kurun waktu 2002 hingga 2012 dimana B2PTTG LIPI mendapat
Penugasan khusus dari DPR RI (2002-2004) yang kemudian dilanjutkan melalui
kerjasama dengan BPMPD dan Bappeda Kabupaten Poso (2005-2012). Penugasan khusus
tersebut adalah untuk melakukan kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat pasca
konflik di Poso melalui implementasi TTG berbasis kakao. Hasil kegiatan ini
antara lain : pilot plant pengolahan kakao menjadi selai coklat, permen dark coklat, dan permen milk coklat, brownies, cookies, dan industri
pengolahan pangan (dodol, abon). Capaian terpenting dari kegiatan ini
tentu saja adalah kegiatan kelompok masyarakat ini – dengan mendorong
partisipasi kedua kelompok yang berkonflik – dapat mengambil peran sebagai media rekonsiliasi pasca konflik antar agama di kabupaten
Poso.
3. Pengembangan
TTG di daerah perbatasan NTT-Timor Leste[10]
Selain daerah
terpencil seperti di pedalaman Wamena dan daerah konflik seperti Poso, ternyata
implementasi TTG juga dapat berperan dalam mengembangkan wilayah perbatasan
atau pintu gerbang NKRI. Daerah-daerah perbatasan ini merupakan pintu terdepan
Indonesia yang seharusnya mencerminkan kesejahteraan dan martabat bangsa di
hadapan negara tetangga. Sayangnya, kondisi di lapangan adalah sebaliknya,
banyak pulau terluar maupun wilayah perbatasan yang kondisinya sangat
memprihatinkan. Dengan kondisi semacam itu, sejak tahun 2003 LIPI memfokuskan
kegiatan pengembangan wilayah perbatasan NTT melalui implementasi TTG. Beberapa
kegiatan implementasi di wilayah perbatasan ini antara lain penanganan pasca
panen kopi, teknologi proses pengolahan pangan (sale pisang, dendeng dan abon
ikan, sirup jambu mete, jahe dan kunyit instan serta keripik ubi kayu),
teknologi pembuatan kompos dan budidaya pertanian, serat pendampingan usaha
mikro bersama pemerintah daerah setempat. Hasilnya, banyak usaha ekonomi
produktif yang berhasil ditumbuhkan dari kegiatan-kegiatan ini.
4. Pelita
TTG di desa terpencil : Implementasi PLTMH di Enrekang[11]
Sebelum tahun 2006,
Tanete hanyalah sebuah desa terpencil di bawah kaki gunung Latimojong,
kabupaten Enrekang yang gelap gulita tanpa penerangan. Lokasi yang terisolir
membuat Desa Tanete tidak terjangkau aliran listrik dari PLN. Sampai pada tahun 2005 dilakukan kajian
potensi energi yang dilakukan oleh Tim LIPI yang tindak lanjutnya adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga
Mikrohidro (PLTMH) 20 KW yang dilakukan atas kerjasama B2PTTG LIPI dan
Pemerintah Daerah Kabupaten Enrekang. Pembangunan
PLTMH yang diresmikan tanggal 10 Juni 2006 ini merupakan PLTMH pertama yang
dibangun di Kabupaten Enrekang. Masyarakat Desa Enrekang yang berpuluh-puluh
tahun gelap gulita, kini terang benderang, terutama di malam hari. Hingga tahun 2009, jaringan listrik dari PLTMH telah menerangi 91
rumah dari total 124 rumah yang ada di desa tersebut dengan daya terpasang
rata-rata 220 watt/rumah.
Masuknya listrik ke
desa terpencil Tanete ini telah membawa perubahan signifikan dalam aspek kehidupan
masyarakat, khususnya dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi dan informasi.
Masyarakat dapat mengakses berbagai informasi melalui televisi di rumah
masing-masing. Dibangun pula usaha-usaha ekonomi produktif pengolahan pangan
dengan memanfaatkan TTG yang dapat memberikan nilai tambah ekonomi bagi rumah
tangga, meskipun infrastruktur lainnya seperti jalan raya masih belum cukup
memadai. Dengan keberadaan PLTMH yang memanfaatkan sumber daya air dari hutan
ini masyarakat juga menjadi lebih peduli
dengan hutan alam setempat, termasuk tidak sembarang menebang pohon atau
membuang sampah ke sungai karena akan mengganggu keberlanjutan PLTMH. Namun
demikian, dampak buruk PLTMH juga perlu diantisipasi, seperti perilaku
masyarakat yang semakin konsumtif. Terlepas dari itu semua, keberhasilan dari
pembangunan PLTMH pertama di Tanete ini adalah difusi TTG PLTMH ini ke
desa-desa terpencil lain di wilayah Enrekang seperti Palakka, Bungin, dan
lain-lain. Pada tahun 2012, PLTMH di Kabupaten Enrekang ini pun telah berkembang
dan tersebar di 12 titik yang berbeda.
5. Pengembangan
TTG di daerah Pesisir
Sebagai negeri
maritim yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia, semestinya kita juga
insyaf bahwa potensi terbesar kita adalah berada di pesisir dan lautan
tersebut. banyak sekali sumber daya di pesisir dan laut yang belum diolah
dengan maksimal dan memberi nilai tambah bagi masyarakat pesisir. Selain
perikanan sebagai produk utama, di pesisir dan laut juga memiliki kekayaan lain
seperti rumput laut. Salah satu kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat
melalui implementasi TTG ini juga kami lakukan di beberapa wilayah pesisir,
seperti Bangka Belitung (UMKM pengolahan ikan dan rumput laut) dan Pantura Jawa
Barat (pengolahan ikan, budidaya ikan dan pakan ikan). Karakteristik sosial
ekonomi masyarakat pesisir yang berbeda dengan masyarakat pedalaman, memberikan
banyak sekali pelajaran dalam proses penerapan TTG. Meskipun potensi wilayah
pesisir ini demikian besar, masalah-masalah yang dihadapi masyarakat juga tak
kalah besar. Kemiskinan hadir bak lingkaran setan pada komunitas ini. Dengan
demikian, tantangan terbesar dari keberadaan TTG di wilayah pesisir adalah
untuk membebaskan masyarakat dari jerat-jerat kemiskinan yang nampaknya terus
menerus menghantui mereka. Teknologi an sich
tidak dapat menyelesaikan persoalan khas pesisir ini, diperlukan dukungan
kelembagaan yang lebih kuat dan luas dari seluruh pihak yang berkepentingan.
6. Iptek
di
Daerah (IPTEKDA) LIPI untuk pengembangan UMKM
Salah satu program
andalan LIPI dalam usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah melalui
IPTEKDA, yaitu suatu program kerjasama yang strategis antara LIPI, Lembaga
Litbang dan Perguruan Tinggi di daerah untuk menyediakan dukungan IPTEK yang
maksimal kepada UMKM binaan sehingga proses inovasi dapat dipercepat dengan
biaya produksi serta operasional yang lebih efektif dan efisien[12].
Luaran dari kegiatan ini antara lain unit usaha yang berkelanjutan, produk yang
berkualitas dan laku di pasar, peningkatan pendapatan kelompok usaha, teknologi
yang reliable, terjalinnya interaksi
antara dunia usaha dan lembaga litbang, dan terbentuknya kelompok intermediasi
alih teknologi (KIAT) yang berfungsi dengan baik. Beberapa pengalaman kegiatan
IPTEKDA antara lain di Aceh (pemberdayaan UKM Bumbu instan
pasca bencana tsunami), Lombok (UKM pengolahan kopi lombok), Jambi (UKM
pengolahan berbasis umbi-umbian) dan Pilot
plant sari buah.
7. Alih
Teknologi Melalui Pelatihan-Pelatihan
Kegiatan Alih TTG
melalui pelatihan-pelatihan di B2PTTG LIPI dapat dikatakan sebagai aktivitas yang
“rutin”, mengingat frekuensi kerjasama pelatihan yang cukup sering dan memiliki
jangkauan stakeholder mulai dari
pelatihan untuk UKM, pensiunan, tentara, pemda (BPMPD, Disperindagkop, DKP,
Dinas Pariwisata, Balitbangda), berbagai Kementerian hingga untuk level
industri. Kegiatan pelatihan juga sering dilakukan sebagai bentuk kerjasama
kegiatan Corporate Social Responsibility
(CSR), seperti dengan PT Badak NGL, maklon dengan PT MBF, CV. Bumi Rasa, PT Sifa
Bersaudara dan lain-lain. Kegiatan pelatihan ini biasanya dilakukan di laboratorium
dan kelas-kelas di B2PTTG maupun dilakukan di lokasi kelompok pengguna
(diundang sebagai trainer). Lebih
luas dari pelatihan ini adalah kerjasama-kerjasama kegiatan, baik secara nasional maupun internasional. Jenis teknologi
yang dilatihkan antara lain teknologi proses (pengolahan pangan) dan rekayasa
peralatan TTG.
C. Kerangka
dan Tahapan Implementasi TTG Untuk Pemberdayaan Masyarakat
Gambar 3. Kerangka dan Tahapan Kerja
Implementasi TTG
D. Kendala-Kendala
Implementasi TTG
1. Masalah
ke-Tepat-Sasaran teknologi : belum “menetes ke bawah”
Biasanya, pembawa
TTG cenderung mencari jalan “termudah” dalam melakukan implementasi TTG,
khususnya dalam menentukan sasaran atau penerima/calon adopter TTG. Seperti kita tahu, ciri adopter yang potensial biasanya adalah mereka yang memiliki akses,
tingkat pendidikan dan sumber daya yang diatas rata-rata masyarakat di
sekitarnya. Biasanya mereka adalah elit masyarakat atau orang-orang yang dekat
dengan elit tersebut, seperti kepala desa, tokoh masyarakat, pemuka agama dan
lain sebagainya. Respon kelompok elit terhadap kehadiran program atau TTG ini
tentu lebih cepat dibandingkan kelompok masyarakat lapisan bawah di desa
tersebut. Akibatnya, mereka yang sebenarnya membutuhkan/potensial tetapi
“tertutup” aksesnya oleh para elit ini menjadi tidak tersentuh oleh kehadiaran
TTG. Kalaupun mereka terlibat, pada akhirnya statusnya hanya menjadi “karyawan”
belaka yang sulit untuk tumbuh dan berkembang mandiri. Oleh karena itu, kejelian
yang dibarengi dengan keberpihakan pembawa TTG dalam menetapkan sasaran akan
sangat membantu aspek ketepatan sasaran implementasi TTG ini.
2. Masalah
ke-Tepat-Gunaan teknologi : kebutuhan dasar dan tambahan
Masalah “tepat
guna” ini biasanya terkait dengan kesesuaian antara TTG yang diimplementasikan
dengan kondisi lokasi kegiatan. Oleh karena itu, tahap identifikasi potensi dan
masalah lokal serta tahap pemilihan teknologi menjadi faktor yang krusial dalam
menentukan ketepatgunaan teknologi yang diimplementasikan. TTG seperti PLTMH
yang bertujuan memenuhi kebutuhan dasar energi masyarakat secara kolektif tentu
saja memiliki daya guna yang berbeda dengan penerapan TTG kepada UMKM yang
berorientasi pada peningkatan produksi dan pendapatan (income generating activities). Tentu saja membangun usaha berbasis
TTG tidak dapat dilakukan disembarang tempat, perlu dipetakan sumber
daya-sumber daya pendukung lainnya seperti ketersediaan energi, bahan baku,
pasar, kohesivitas/kebersamaan masyarakat, dan lain sebagainya.
3. Hambatan
difusi teknologi : berhenti pada “generasi pertama”
Keberlanjutan usaha
ekonomi berbasis TTG tentu saja menjadi impian dan tujuan setiap penyedia atau
pendamping TTG. Akan tetapi, tidak jarang keberlanjutan ini harganya sangat
“mahal”, karena pelatihan dan transfer teknologi saja ternyata tidak cukup
untuk membuat penerima teknologi itu mandiri atau berkelanjutan. Diperlukan
pendampingan yang serius dan terkadang membutuhkan pengorbanan yang lebih dari
para tenaga di lapangan. Mendampingi komunitas pengguna TTG bukan saja
memerlukan keahlian teknis dan non-teknis, namun juga dibutuhkan rasa empati
dan kepedulian yang tinggi. Bukan saja kerja tangan dan otak, tetapi yang
terpenting adalah kerja hati. Pendampingan yang menyeluruh ini – dengan didukung
anggaran serta teknologi yang proven – akan menjadi kunci keberlanjutan dari
usaha ekonomi berbasis TTG agar tidak berhenti begitu saja pada “generasi
pertama” (penerima langsung TTG, kader terlatih, dll), melainkan dapat tersebar
luas dan bertahan sampai pada generasi-generasi berikutnya.
4. Kebijakan
stake holder di daerah
Salah satu hambatan
yang cukup sering mengganggu dalam kegiatan implementasi TTG yang berdurasi
panjang adalah iklim birokrasi di daerah yang sering berubah. Dinamika politik
lokal – seperti pergantian kepala daerah, kepala dinas, mutasi pegawai, dll –
termasuk faktor yang sangat berperan terhadap kegiatan implementasi TTG,
khususnya terkait dengan dukungan terhadap kegiatan tersebut. Dukungan dan
pemahaman yang tepat dari para pemangku kepentingan – termasuk LSM, Swasta,
Koperasi, dll – ini akan memberikan efek yang positif bagi kegiatan.
Sebaliknya, tanpa dukungan serius dari para pemangku kepentingan di daerah ini
bisa jadi akan menghambat tercapainya tujuan pemberdayaan masyarakat melalui
TTG ini. Dinamika dan kebijakan lokal semacam ini perlu dicermati sejak awal
agar tidak mengganggu program kegiatan, salah satu caranya adalah dengan
menjalin komunikasi dengan seluas dan sebanyak mungkin stake holder, sehingga dukungan yang diperoleh juga semakin kuat.
E. Peluang
dan Tantangan Ke Depan : Pengembangan Bioresources Untuk Ekonomi Hijau
Paradigma
pembangunan yang selama ini masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi terbukti
banyak mengabaikan keberlanjutan ekologis. Akibatnya, dunia mengalami krisis
multidimensi. Dalam makalahnya pada saat peluncuran Buku “Bioresources untuk Pembangunan Ekonomi Hijau” di Gedung Bappenas
bersama LIPI dan Kemenristek (7/2/13), Prof. Emil Salim menggarisbawahi
perlunya perubahan paradigma pembangunan dari one track economy menjadi triple
track economy, yaitu pembangunan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan
ekonomi tetapi juga menjaga keberlanjutan dari aspek sosial dan lingkungan
(ekologi). Tentu saja paradigma baru ini bukan hal yang “baru” bagi para praktisi
TTG, sebab prinsip-prinsip tersebut memang telah terkandung dalam definisi dan
filosofi TTG itu sendiri. Dengan demikian, gagasan untuk membangun ekonomi
hijau (green economy) merupakan
sasaran strategis implementasi TTG berikutnya.
Senada dengan Prof.
Emil Salim, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dalam kata
pengantar buku Ekonomi Hijau[13]
mengatakan bahwa ekonomi hijau merupakan keniscayaan bagi negara-negara di
dunia. Indonesia, sebagai negara yang kaya akan bioresources, harus ikut ambil
bagian karena beberapa alasan utama, yaitu pertama,
ekonomi indonesia sangat menggantungkan diri pada pengelolaan sumber daya alam
sehingga Indonesia sangat berkepentingan terhadap keberlanjutannya. Kedua, dengan menerapkan ekonomi hijau
selain Indonesia akan menjadi pelopor di tingkat global, ekonomi Indonesia akan
mengarah kepada ekonomi yang lebih efisien dalam penggunaan sumber daya yang
terbatas dan akan lebih berkelanjutan. Ketiga,
penerapan ekonomi hijau akan lebih mempercepat usaha memperbaiki krisis
lingkungan hidup. Oleh karena itu, peluang pengembangan dan implementasi TTG
ini ternyata tidak hanya mampu menjadi strategi penanggulangan kemiskinan,
melainkan juga dapat menjadi langkah-langkah kecil dalam upaya mengubah tatanan
dan keadilan dunia dengan mendukung gerakan pemanfaatan bioresources melalui TTG untuk masa depan ekonomi hijau.
F. Ucapan
Terima Kasih
Secara khusus
penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Dadang D. Hidayat, M.Eng, Carolina,
M.Sc, dan Dr. Savitri Dyah WIKR atas
diskusi, masukan dan pengayaan yang telah diberikan untuk melengkapi makalah
ini.
G. Daftar
Pustaka
Apriliyadi, Eki dan Arie Sudaryanto. 2009. Geliat Desa
Terpencil Pengguna PLTMH Enrekang. LIPI Press
Dyah, Savitri, Lidya Ariesusanty, dan Akmadi Abbas (penyunting).
2006. Dinamika Sosial dan Pembangunan di Kabupaten Poso. LIPI Press
Dyah, Savitri, Saparita, Rachmini, dkk (editor).2006.
Pengembangan Wilayah Perbatasan Nusa Tenggara Timur Melalui Penerapan
Teknologi. LIPI Press
Kusnowo, Anung dan Amru Hydari Nazif
(penyunting). 1992. Pengembangan Wilayah
Pedesaan Wamena Yogotak Hubuluk Motok Hanorogo : Rekaman Perjuangan Ke Arah
Hari Esok yang Lebih Cerah. LIPI Press
Tjahja Djajadiningrat, Surna. Yeni Hendriani dan Melia
Famiola. 2011. Ekonomi Hijau. Bandung : Penerbit Rekayasa Sains
LIPI. 2012. Panduan Penyusunan Proposal Kegiatan
IPTEKDA LIPI XVI tahun 2013 Untuk Lingkungan Perguruan Tinggi
Undang-Undang :
Instruksi Presiden RI No 3/2001 tentang Pedoman
Pelaksanaan Penerapan dan Pengembangan TTG
Permendagri No 20/2010 tentang Pemberdayaan Masyarakat
Melalui Pengelolaan TTG Siswo, Prof. Dr. Sudarmo Muhammadi. 2005. Perspektif Pengembangan
Teknologi Tepat Guna. Halaman 11 Orasi
Ilmiah Peresmian B2PTTG LIPI tanggal 25 Januari 2005.
[1] Disampaikan dalam seminar
setengah hari Dompet Dhuafa dengan tema “Technology
for the poor : Tepat Guna dan memberdayakan”, Jumat, 22 Februari 2013, pukul 14.00 s/d
17.00 WIB, Ruang Terapung perpustakaan UI Depok
[5] Dikutip dari Orasi Ilmiah
Prof. Dr. Sudarmo Muhammadi Siswo, berjudul “Perspektif Pengembangan Teknologi
Tepat Guna”. Halaman 11 yang disampaikan
dalam acara peresmian B2PTTG LIPI tanggal 25 Januari 2005.
[6] Instruksi Presiden RI No 3/2001 tentang
Pedoman Pelaksanaan Penerapan dan Pengembangan TTG
[8] Yogotak Habuluk Motok
Hanorogo = Hari Esok Harus Lebih Cerah daripada Hari ini. Pengembangan Wilayah
Pedesaan Wamena, Rekaman Perjuangan Ke Arah Hari Esok yang Lebih Cerah, LIPI,
1992, penyunting Anung Kusnowo dan Amru Hydari Nazif
[9] Dinamika Sosial dan
Pembangunan di Kabupaten Poso, LIPI, 2006, Penyunting Savitri Dyah, Lidya
Ariesusanty, dan Akmadi Abbas
[10] Pengembangan Wilayah
Perbatasan Nusata Tenggara Timur Melalui Penerapan Teknologi, 2006, LIPI Press,
Editor : Savitri Dyah dkk
[11] Apriliyadi, Eki dan Arie
Sudaryanto. 2009. Geliat Desa Terpencil Pengguna PLTMH Enrekang. LIPI Press
[13] Penulis Surna Tjahja
Djajadiningrat, Yeni Hendriani dan Melia Famiola. 2011. Penerbit Rekayasa
Sains, hal vii-ix
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteTerima kasih Mas Yanu, sebuah pencerahan buat saya ... salam dari Cianjur ( Dendi Rinaldi - BPMPD )
ReplyDeletesami-sami kang, moga ada manfaatnya :D
Delete