10 February 2013

Menulislah dengan Konsisten!


Konsisten – atau agar nampak lebih alim kita sebut saja dengan istiqomah – itu memang satu kata yang mudah untuk diucapkan, namun tak kepalang berat ketika dijalankan. Buktinya, baru dua kali pertemuan rutin saja saya sudah demikian telat menuliskan hasil “rangkuman” diskusinya. Padahal pada pertemuan perdana, ketika semangat dan harapan demikian membuncah, selesai pertemuan OPS itu, malam harinya langsung saya tulis dan posting laporannya. Hmm, maklum, mungkin selain terbaginya pikiran pada beberapa hal lain, mungkin juga karena konsisten itu memang tidak bermakna statis pada satu frekuensi tertentu saja, melainkan sebuah proses kontinu yang suka tidak suka mengalami pasang-surut gelombang (ngeles). Alasan lainnya, jelas saya bukan wartawan yang harus dikejar waktu untuk secepat mungkin menuliskan berita, tetapi saya penulis biasa yang bebas kapan saja mau menulis dan kapan tidak.

Baiklah, langsung ke intinya saja ya. Pertemuan OPS II kemarin (27/01/13) rencananya akan menghadirkan 3 orang narasumber yang unik dan berbeda satu sama lain, yaitu kang Fauzi (general manager Pasundan Ekspres) yang berlatar pemimpin media cetak di Subang, lalu kang Kaka Suminta (penulis buku Keajaiban Bawah Sadar, tigamaha 2012) yang berlatar hipnoterapis dan Ibu Euis Herni Ismail (penulis kumpulan puisi “Demprut”) yang berlatar seorang tenaga pendidik di SMA 2 Subang. Tentu latar belakang beliau-beliau itu tidak tunggal, tetapi sangat kaya dan mewakili beragam warna kehidupan. Namun kapasitas narasumber tersebut diundang di forum OPS adalah untuk berbicara tentang satu hal yang menjadi benang merah perekat ketiga warna latar yang berbeda itu, yaitu : dunia tulis-menulis.


Akan tetapi, antusiasme untuk mendengarkan ketiga narasumber tersebut harus sedikit terkurangi karena salah satu narasumber berhalangan hadir, yakni kang fauzi yang mendadak ada acara ke Cirebon. Namun demikian, diskusi tetap digelar. The show must go on. Kang kaka yang lebih dulu hadir didaulat untuk menyampaikan beberapa hal terkait kepenulisan dari sudut pandang hipnoterapi. Beberapa lontaran menarik sempat memicu pertanyaan dan diskusi hangat. Misalnya bahwa kita memiliki kemampuan untuk menulis menggunakan kekuatan bawah sadar, sehingga dikenalkan konsep “hypno writing” dan “hypnotic writing”. Konsep pertama adalah tips bagaimana agar kita bisa kesurupan dalam menulis sedangkan konsep kedua adalah cara agar pembaca bisa kesurupan melahap tulisan kita. Menarik bukan? Ada lagi soal bagaimana cara menjadi penulis hebat dengan modelling atau - dalam bahasa saya – bagaimana kita mampu bercermin dari penulis-penulis yang kita kagumi lalu kemudian menginternalisasikannya ke dalam diri dan visi kita.

Setelah cukup dalam menyelami trik menulis menggunakan sudut pandang hypnosis, kemudian kita mendengarkan penuturan nan lugas dari sang penyair, bunda euis herni. Kata-kata yang berkali-kali beliau tekankan adalah “belajar”, “ibu rumah tangga”, “jangan malu bertanya” dan “terus menulis”. Bu euis yang telah beberapa kali berkolaborasi dengan penyair nasional dan menulis puisi bersama mereka, nampaknya berusaha menekankan pada teman-teman bahwa siapapun bisa menjadi penulis asalkan mau terus belajar, tahan kritikan dan tidak malu untuk bertanya. Beliau yang baru intensif menulis 6 tahun belakangan ini pun membuktikan bahwa tekad yang kuat, kecintaan pada rangkai-merangkai kata dan keinginan yang kuat untuk bisa, telah membawanya pada jalan kepenulisannya saat ini. Bu euis membuktikan bahwa ibu rumah tangga tanpa latar belakang pendidikan sastra bisa menjadi penulis puisi yang produktif.

Pada pertemuan kali ini juga, rakhmad hidayatullah permana, membawa karya tulisnya yang berjudul “ikan asin”, sebuah eksplorasi proses penulisan cerpen yang spontan dan mengalir tanpa rencana yang ketat. Sekali jadi. Hasilnya saya kira cukup lumayan, karena tanpa disadari beberapa pesan moral dapat terekspresikan dengan tanpa menggurui. Bertutur dalam gaya dialog kedua tokohnya. Bukan hanya Rakhmad, bu Euis dan Sally Esage juga telah berbaik hati mau membacakan karya puisinya di sela-sela diskusi dan istirahat berlangsung.

Tidak hanya itu, ketika makan siang bersama, kejutan justru saya alami. Tiba-tiba, bunda tita irama, ibu kedua anakku, menyanyikan lagu selamat ulang tahun yang salah satu liriknya seperti ini..”slamat ulang tahun kuucapkan, sambutlah hari indah bahagia…slamat ulang tahun untuk kamu,…” tahu lagunya khan? Wah, sungguh momen yang berbekas di hati. Bukan hanya bertemu para narasumber dan teman-teman yang istimewa, namun juga suatu isyarat bagi saya pribadi untuk terus bersyukur masih bisa istiqomah berada di tengah-tengah mereka yang mencintai buku dan kepenulisan, sehingga saya masih bisa terus belajar dan belajar.

Saatnya melanjutkan perjalanan dan konsistensi ini, teman-teman.

10/02/13, 11.30 WIB
KA. Argo Wilis, perjalanan Bandung-Yogyakarta




No comments:

Post a Comment