Konsisten –
atau agar nampak lebih alim kita sebut saja dengan istiqomah – itu memang satu kata yang mudah untuk diucapkan, namun
tak kepalang berat ketika dijalankan. Buktinya, baru dua kali pertemuan rutin
saja saya sudah demikian telat menuliskan hasil “rangkuman” diskusinya. Padahal
pada pertemuan perdana, ketika semangat dan harapan demikian membuncah, selesai
pertemuan OPS itu, malam harinya langsung saya tulis dan posting laporannya. Hmm, maklum, mungkin selain terbaginya
pikiran pada beberapa hal lain, mungkin juga karena konsisten itu memang tidak
bermakna statis pada satu frekuensi tertentu saja, melainkan sebuah proses
kontinu yang suka tidak suka mengalami pasang-surut gelombang (ngeles). Alasan lainnya, jelas saya
bukan wartawan yang harus dikejar waktu untuk secepat mungkin menuliskan
berita, tetapi saya penulis biasa yang bebas kapan saja mau menulis dan kapan
tidak.
Baiklah, langsung
ke intinya saja ya. Pertemuan OPS II kemarin (27/01/13) rencananya akan menghadirkan 3
orang narasumber yang unik dan berbeda satu sama lain, yaitu kang Fauzi
(general manager Pasundan Ekspres) yang berlatar pemimpin media cetak di
Subang, lalu kang Kaka Suminta (penulis buku Keajaiban Bawah Sadar, tigamaha
2012) yang berlatar hipnoterapis dan Ibu Euis Herni Ismail (penulis kumpulan
puisi “Demprut”) yang berlatar seorang tenaga pendidik di SMA 2 Subang. Tentu latar
belakang beliau-beliau itu tidak tunggal, tetapi sangat kaya dan mewakili
beragam warna kehidupan. Namun kapasitas narasumber tersebut diundang di forum
OPS adalah untuk berbicara tentang satu hal yang menjadi benang merah perekat
ketiga warna latar yang berbeda itu, yaitu : dunia tulis-menulis.
Akan tetapi,
antusiasme untuk mendengarkan ketiga narasumber tersebut harus sedikit
terkurangi karena salah satu narasumber berhalangan hadir, yakni kang fauzi
yang mendadak ada acara ke Cirebon. Namun demikian, diskusi tetap digelar. The show must go on. Kang kaka yang
lebih dulu hadir didaulat untuk menyampaikan beberapa hal terkait kepenulisan
dari sudut pandang hipnoterapi. Beberapa lontaran menarik sempat memicu
pertanyaan dan diskusi hangat. Misalnya bahwa kita memiliki kemampuan untuk menulis
menggunakan kekuatan bawah sadar, sehingga dikenalkan konsep “hypno writing” dan “hypnotic writing”. Konsep pertama adalah tips bagaimana agar kita bisa
kesurupan dalam menulis sedangkan konsep kedua adalah cara agar pembaca bisa
kesurupan melahap tulisan kita. Menarik bukan? Ada lagi soal bagaimana cara
menjadi penulis hebat dengan modelling
atau - dalam bahasa saya – bagaimana kita mampu bercermin dari penulis-penulis
yang kita kagumi lalu kemudian menginternalisasikannya ke dalam diri dan visi
kita.
Setelah cukup
dalam menyelami trik menulis menggunakan sudut pandang hypnosis, kemudian kita
mendengarkan penuturan nan lugas dari sang penyair, bunda euis herni. Kata-kata
yang berkali-kali beliau tekankan adalah “belajar”, “ibu rumah tangga”, “jangan
malu bertanya” dan “terus menulis”. Bu euis yang telah beberapa kali
berkolaborasi dengan penyair nasional dan menulis puisi bersama mereka,
nampaknya berusaha menekankan pada teman-teman bahwa siapapun bisa menjadi
penulis asalkan mau terus belajar, tahan kritikan dan tidak malu untuk
bertanya. Beliau yang baru intensif menulis 6 tahun belakangan ini pun
membuktikan bahwa tekad yang kuat, kecintaan pada rangkai-merangkai kata dan
keinginan yang kuat untuk bisa, telah membawanya pada jalan kepenulisannya saat
ini. Bu euis membuktikan bahwa ibu rumah tangga tanpa latar belakang pendidikan
sastra bisa menjadi penulis puisi yang produktif.
Pada pertemuan
kali ini juga, rakhmad hidayatullah permana, membawa karya tulisnya yang
berjudul “ikan asin”, sebuah eksplorasi proses penulisan cerpen yang spontan
dan mengalir tanpa rencana yang ketat. Sekali jadi. Hasilnya saya kira cukup
lumayan, karena tanpa disadari beberapa pesan moral dapat terekspresikan dengan
tanpa menggurui. Bertutur dalam gaya dialog kedua tokohnya. Bukan hanya
Rakhmad, bu Euis dan Sally Esage juga telah berbaik hati mau membacakan karya
puisinya di sela-sela diskusi dan istirahat berlangsung.
Tidak hanya
itu, ketika makan siang bersama, kejutan justru saya alami. Tiba-tiba, bunda
tita irama, ibu kedua anakku, menyanyikan lagu selamat ulang tahun yang salah
satu liriknya seperti ini..”slamat ulang
tahun kuucapkan, sambutlah hari indah bahagia…slamat ulang tahun untuk kamu,…”
tahu lagunya khan? Wah, sungguh momen yang berbekas di hati. Bukan hanya
bertemu para narasumber dan teman-teman yang istimewa, namun juga suatu isyarat
bagi saya pribadi untuk terus bersyukur masih bisa istiqomah berada di
tengah-tengah mereka yang mencintai buku dan kepenulisan, sehingga saya masih
bisa terus belajar dan belajar.
Saatnya melanjutkan
perjalanan dan konsistensi ini, teman-teman.
10/02/13, 11.30 WIB
KA.
Argo Wilis, perjalanan Bandung-Yogyakarta
No comments:
Post a Comment