24 January 2014

Banjir Pantura; Catatan Ringan

Subang tiba-tiba menjadi sangat terkenal. Kali ini bukan karena kemunculan pengamen/penyanyi cilik seperti si Tegar, tetapi karena kali ini Subang - terutama di wilayah Pantura - tergenang banjir. Ya, Banjir yang konon paling besar dalam sepuluh atau mungkin dua puluh tahun terakhir. Setidaknya demikian pendapat mereka yang yang menjadi korban. Salah satu korban/warga dari Blanakan menuturkan tengah malam kira-kira jam dua, tiba-tiba air sudah setinggi dada orang dewasa. "cepat sekali air itu naik, tiba-tiba sudah sedada". Dalam kondisi panik, tanpa sempat menyelamatkan barang-barang berharga perempuan muda beranak satu itu langsung ikut mengungsi bersama ribuan warga lainnya ke tempat yang lebih tinggi. 


Banjir yang datang demikian cepat juga menenggelamkan wilayah Pamanukan, jantung ekonomi Pantura Subang. Saya sendiri lebih banyak mengikuti perkembangan berita banjir ini dari media sosial dan televisi. Pada saat puncak bencana, hari minggu, belum banyak pihak yang nampak bergerak. "Ah, ini khan banjir rutin" seloroh orang-orang. Kondisi banjir makin hari makin parah hingga melanda sekitar 12 kecamatan di wilayah Pantura. Melihat kondisi ini terpikir untuk ikut menyumbangkan sesuatu, tidak hanya sumbangan pribadi, tetapi juga yang harus bersifat kolektif. Mulailah mengontak beberapa teman dan kemudian menggulirkan kegiatan #lipi peduli. Alhamdulillah dalam waktu dua hari terkumpul cukup banyak bantuan, baik berupa uang, pakaian, makanan, obat-obatan hingga produk hasil litbang (food bar) yang diproduksi untuk disampaikan kepada para korban.

Gerak cepat bersama teman-teman Pasundan ekspres (setelah melihat bantuan yang menumpuk di PMI) pun dilakukan. Akhirnya dengan mengendarai 5 mobil tim gabungan ini berkeliling ke beberapa titik, seperti di desa muara, ciasem hilir, jayamukti, blanakan dan rawameneng. Ada beberapa catatan menarik terkait pemberian bantuan ini, misalnya, beberapa kepala desa mengaku "pusing" dengan pembagian/distribusi bantuan ini. Sebab, ketika bantuan sudah diturunkan di kantor desa tertentu, maka warga otomatis mengira bantuan itu adalah hanya untuk desa tersebut, bukan untuk desa lain. Warga akan marah kalau bantuan itu diberikan kepada warga luar desa mereka. Padahal, mereka yang membawa bantu niatnya adalah semerata mungkin bantuan itu didistribusikan. Sebab tidak mungkin pemberi bantuan bisa menjangkau semua titik yang terjauh. Tapi jika hanya sampai posko pun, bantuan menumpuk!

Selain keluhan kepala desa, banyak juga warga yang menggerutu manakala bantuan datang. "ah, moal baleg iye mah.." atau artinya mereka tidak percaya tatkala pihak desa yang membagi; tidak akan adil dan merata. Ditambah beberapa partai politik juga memanfaatkan momen ini untuk kemudian sangat aktif dalam upaya pendistribusian langsung, sehingga menimbulkan kecurigaan masyarakat bahwa bantuan itu hanya akan dibagikan pada titik-titik tertentu yang sesuai dengan kepentingan mereka. Memang nampaknya kabupaten subang tidak siap sepenuhnya menghadapi bencana. Perlu sebuah desain pendataan, evakuasi, penyaluran/distribusi bantuan, dan up date informasi yang dapat diakses oleh semua pihak berkepentingan, sehingga dampak buruk bencana dapat diminimalisir. Semoga dengan musibah ini mengingatkan kembali pentingnya menjaga keseimbangan alam dan bahwa semboyan kabupaten subang, "Subang Gotong Royong, Rakyat Subang Maju" seharusnya bukan isapan jempol belaka.

No comments:

Post a Comment