26 February 2014

Kicauan Maut



Oleh: YE Prasetyo

Di sudut kota yang muram itu hidup sekawanan burung gagak. Kehadirannya tak pernah disadari warga kota yang selalu sibuk dengan urusan perutnya sendiri. Mereka diacuhkan meski setiap malam sekawanan burung itu ngerumpi bersahut-sahutan dengan nyaringnya. Biasanya mereka tiba-tiba gaduh manakala membicarakan perilaku bangsa manusia yang diamatinya sedari pagi,setiap hari.

Peot, si burung gagak yang paling senior di kawanan itu bahkan punya kesimpulan sendiri soal bangsa manusia ini. Menurut pandangan tuanya (yang mungkin juga sudah rabun) manusia tak ubahnya seonggok daging busuk beraroma birahi yang dibungkus permadani rombeng. Dimata Peot, manusia tak lebih berguna dari kucing dan anjing-anjing peliharaannya.

"Kamu cemburu ya Peot, karena manusia tidak pernah memberi kita makan di dalam sangkar emas yang mereka buat itu?" Celetuk Iput, si burung gagak imut-imut yang umurnya setengah dari peot. 

"Ah, tidak juga" jawab peot sambil mengibaskan sayap kirinya yang patah. Konon sewaktu muda ia pernah terbang dan tersangkut kawat jebakan yang dibuat manusia. Ia berhasil lolos tapi dengan bekas luka yang dibawanya sampai tua.

"Memang menurutmu manusia itu bagaimana?" Selidik si Peot pada Iput.
"Kamu yakin ingin mendengar pendapatku?" Basa basi Iput menyindir kebiasaan gagak senior yang jarang mendengar gagak muda. 

"Jawab sajalah, lekas!" Si Peot taksabar berdebat.

"Menurutku manusia itu aktor sekaligus sutradara yang sempurna" Jawab Iput serius.

"Ah, kamu berlebihan, Put" gagak Peot meremehkan.

"Bagaimana tidak? manusia bisa memerankan Tuhan hanya untuk mengampuni dosa-dosa terencana mereka, sekaligus menciptakan setan sebagai kambing hitam kala perbuatan jahatnya ketahuan. Sempurna bukan?" 

Si Peot garuk-garuk pantat.
"Aku belum mengerti maksudmu, bicaramu sudah sepertimanusia saja, Put.
"Susah memang ngomong sama gagak tua" bisik Iput sambil melempar pandang genit pada gwen, gagak betina yang sedari tadi mematut-matut diri. 

"Apa katamu! Hei gagak ingusan, aku dengar ucapanmu barusan, jaga mulutmu baik-baik" si Peot naik darah, teriakan kesalnya barusan membuat suasana seram dan mistis seantero kota.
Burung-burung dan makhluk malam lainnya pun buru-buru menyusup ke lubang dan sarang persembunyian mereka. Kecuali masyarakat kumbang dan jangkrik yang tak bisa mendengar apapun kecuali suara mereka sendiri.
"Apa maksudmu dengan manusia itu aktor yang sempurna? siPeot berusaha kembali mencairkan kebekuan sesaat itu, meski dengan mimik yang sedikit angkuh. 

"Ya...menurutku....satu-satunya kelebihan manusia dibanding bangsa binatang lainnya adalah kecerdasan mereka dalam mengelabui siapapun dan apapun. Jangankan kepada sesama mereka, kepada Tuhandan diri sendiri mereka juga tega kelabui" meski kikuk, si gagak muda Iput mencoba menjelaskan. Kali ini dengan nada sopan. 

"Lalu..?" Si Peot manggut-manggut.

"Contohnya saja kemarin aku dengar dari gerombolan cicak yang sering berkunjung ke rumah manusia yang ada di gang paling ujung sana, tempat dimana setiap malam selasa dan jumat ribuan orang berbondong-bondong mengikuti pengajian yang speakernya gaduh itu. Belakangan si pemilik rumah ditangkap KPK dan diketahui hartanya yang tak terkira. Istri mudanya berserakan dimana-mana. Istri tuanya depresi mengetahui fakta bahwa dia adalah perempuan terakhir yang mengetahui siapa sebenarnya suaminya itu" 
Si Peot, Gwen dan beberapa gagak lain hinggap merapat khitmad mendengarkan cerita Iput.
"Bahkan dua hari sebelum itu, sesaat setelah aku mengabarkan tanda-tanda kematian salah seorang warga.." si Iput melanjutkan cerita penuh semangat. 

"Aku berpapasan dengan sekelompok tikus yang baru keluar dari dinas malam. Kutanya dari mana kalian? Katanya, mereka baru saja gerilya dari sebuah rumah di RT 08. Konon itu rumah milik manusia dosen dan akademisi terkenal. Saat sedang asyik mengerat buku-buku berdebu di sebuah lemari yang gedhenya minta ampun, tikus-tikus itu mendengar si pemilik rumah sedang rapat serius dengan beberapa rekannya. Mereka sedang membicarakan siasat dan strategi untuk menjawab masalah dosa akademik (baca :plagiarisme) yang menjerat empunya rumah. Hasilnya, besok mereka akan melakukan konferensi pers dengan strategi mengalah untuk menang. Artinya, si dosen akan mengundurkan diri dengan ksatria di depan kamera, tapi dibelakangnya ia sudah tahu bahwa akhirnya pengunduran dirinya akan ditolak dengan sejuta alasan. Sungguh teknik pengelabuan yang sempurna". pungkas Iput mantap.

"Tapi aku tidak percaya kalau manusia itu sutradara yang sempurna, buktinya rencana busuk mereka terbongkar juga, hanya soal waktu saja khan?" tiba-tiba gwen menyahut.
Iput tidak menyangka gagak betina bohay itu cerdas juga, dikiranya hanya betina buruk rupa saja yang pintar, sedangkan betina pesolek seperti gwen tidak akan nyambung diajak diskusi yang berat-berat.

"Iya benar sekali apa yang dikatakan gwen tadi, bagaimana kamu menjelaskan itu, Put" skak mat, batin si Peot puas.

Tentu saja gagak muda Iput tidak menyerah begitu saja,sekalipun diserang pendapatnya oleh si betina gwen, yang sedari tadi memang membuatnya enggan beranjak. Obrolan burung-burung hitam pengicau (marga corvus) yang legendaris ini semakin hangat saja, dan kalau mau menyimak atau belajar dari obrolan mereka, mungkin bangsa manusia bisa ketularan cerdas. Sebab,diantara bangsa unggas lainnya, burung gagak dipercaya memiliki kecerdasan tertinggi. Ia bisa meniru suara binatang lainnya dan mengingat wajah manusia. Maka tak heran dalam mitologi eropa mereka dianggap sebagai peliharaan para penyihir. Dengan reputasi cerdas dan seramnya itu, gagak dikenal pula sebagai burung kematian (penanda hal buruk akan terjadi)

"Oke gwen, manusia mungkin kau anggap bukan sutradara yang sempurna, betul. Karena satu-satunya musuh mereka adalah waktu. Waktu yang membatasi kebohongan mereka. Siapapun dan apapun bisa mereka kibuli, kecuali sang waktu.Tapi waktu pula yang menyelamatkan mereka dengan sempurna. Aku tak bisa bayangkan jikalau manusia hidup kekal, betapa berat beban kebohongan yang harus mereka pikul dari waktu ke waktu. Akan sebungkuk apa punggung mereka? setebal apa muka mereka? kalau tidak ada waktu yang jujur menelanjangi apa yang rapat-rapat tersembunyi, saat itulah waktu membebaskan mereka dengan caranya sendiri yang indah". Celoteh gagak Iput berpatah-patah.

"Heiiii kaliaannn...tolong, banyak kabar buruk yang harus kita sampaikan malam iniii..."
Tiba-tiba suara Cendy memecah kerumunan. Ia adalah burung gagak yang paling tidak bisa diam, hobinya adalah mengitari kota hingga berkali-kali. Ia selalu ingin tahu paling awal tentang apa yang terjadidi dunia manusia. Kepo, mungkin itu sebutan remaja manusia padanya.

"Hei, cen ada apa kau teriak-teriak begitu,biasa aja kali" sambut si Peot menenangkan.
"Aku perlu bantuan kalian, banyak kematian yang mungkin akan terjadi malam ini. Kita harus kabarkan pada bangsa manusia"
"Baik, tolong ceritakan lebih detail maksudmu tadicendy, kami belum mengerti" gagak Iput meminta klarifikasi.

"Tadi setelah aku berputar-putar keliling kota, aku mencium aroma kematian di empat sudut kota. Di timur, barat, utaradan selatan. Beberapa sudah aku intip langsung. Tetapi aku tidak sanggup mengabarkannya dalam waktu bersamaan, aku perlu bantuan kalian" gagak cendy menceritakan temuannya dengan penuh semangat. Tak lepas raut muka bangga menjadi gagak yang paling awal tahu adanya gelagat kematian.
"Berati kita harus berpencar arah dan berbagi tugasya..." sahut gwen.

"...tapi kita belum selesai mendengarkan ceritamu, Put" buru-buru gwen menambahkan. Merasa tidak enak dengan yang lain.

"Tidak apa-apa, kita bisa lanjutkan diskusinya nanti" jawab Iput.

"Menurutku memang baiknya begitu, sudah tugas kita mengabarkan kematian. Sekalipun manusia-manusia tolol itu makin melupakan tanda-tanda alam, mereka lebih percaya pada teknologi daripada dengan alam" gagak senior berusaha menengahi, sambil tak lupa menumpahkan kekesalannya pada binatang manusia.
Setelah berembug singkat, akhirnya sekawanan gagak itu memutuskan untuk berpencar. Gwen, si betina bohay, bertugas mengabarkan kematian ke utara. Gagat peot, yang sudah tak sanggup terbang jauh memilih ke arah timur. Si Iput, sekalipun galau harus melepas tatapan pada gwen, berangkat juga ke ujung selatan kota. Sedangkan cendy dan beberapa grup gagak cabe-cabeanlainnya memilih ramai-ramai ke barat. Nampaknya hawa kematian sedang menyebar ke empat arah penjuru mata angin.

***

Begitu hinggap di sebatang pohon tua di utara kota, gagak gwen langsung mengarahkan matanya ke sebuah rumah bambu reot yang hampir rubuh. Manusia pemiliknya nampak sedang kalang kabut sendirian. Lelaki berusia senja berkaos oblong compang camping itu sibuk dengan gerobak tuanya. Nampak ia memasukkan sesuatu bergulung selimut kumal ke dalam gerobak itu. Sorot tajam mata gwen bisa menangkap dengan jelas sesuatu di dalam buntalan selimut itu, tubuh seorang anak kecil. Mungkin pingsan, tapi nampak dari pijaran auranya semakin meredup. Gagak gwen berkeok kencang.

Lelaki itu mendorong gerobak dengan tergesa. Menembus malam yang gulita. Gwen tak tahu tempat apa yang ditujunya, ia mengikuti saja dari atas. Sambil terus berkeok, berharap ada manusia lain beranjak dari hangat selimutnya untuk kemudian membantu lelaki itu. Yang ada sebaliknya, keokan gagak justru membuat manusia lainnya enggan keluar rumah. Takut. Lelaki dengan gerobak itu mengetok beberapa pintu. Nihil. Lalu ia ketuk lagi pintu lainnya,kali ini dengan ratapan pilu. Sementara buntalan anak dalam gerobak makin menggigil. Membiru. Waktunya sudah dekat.

Sementara itu, gagak Peot juga telah tiba di Timur kota. Meski penerawangannya sudah mulai melemah, namun ia bisa menangkap hawa kematian dengan jelas. Intuisi yang kuat. Ia berdiri dengan sisa-sisa kegagahannya di atap sebuah rumah super mewah. Dari posisinya dia bisa melihat jelas sepasang lelaki dan perempuan duduk rapat di tepi kolam renang. Tanpa pakaian. Ia menduga mereka sepasang suami istri. Tapi ada yang janggal. Si perempuan nampak dua kali lebih tua dari lelaki kekar yang memeluknya. Siapa yang akan mati, gagak peot kesulitan menduganya. Tapi getaran itu kuat dirasakannya.

Meski masih tidak percaya kalau si gagak pesolek gwen begitu cerdas, dalam hati gagak Iput makin mengagumi gwen. "Ternyata gagak gwen bohay luar dalam" batin Iput sepanjang penerbangan ke selatan kota. Sesampainya di pucuk tiang tertinggi, radar Iput yang tajam mengendus hawa kematian dalam radius tak terlalu jauh. Kemudian Ia hinggap pada sebuah pohon yang cukup rendah. Dilihatnya seorang anak kecil sedang termangu di belakang rumah. Di bawah pohon jambu. Tatapannya kosong. Ada jeritan yang tak tersuarakan. Ada protes yang tak tertuangkan. Seutas tali tambang dalam genggamannya. Gagak Iput berkeok, nampaknya ini detik-detik pengambilan keputusannya.

Kabar paling seram berhembus dari barat kota. Cendy dan grup ngrumpinya sudah tiba disana dan menyaksikan bau kematian yang menyeruak tajam.Sampai-sampai pendaran cahaya maut menerangi hampir seluruh sudut. Malaikatpencabut nyawa tampak bedol desa, menaungi atap-atap rumah warga. Sontak cendy dan kawan-kawannya berkicau sahut-sahutan, menebar kabar kematian. 


Sementara di atap bumi, langit telanjang bulat tanpa sekapas pun awan bergelayut. Rembulan menantang garang. Malam demikian bersahabat, tapi kenapa malaikat maut apel siaga menunggu sangkakala?

***

Malam merayap perlahan. Kicauan maut menjalar hingga relungbawah sadar warga kota di empat penjuru mata angin. Suasana kota makin muram. Sekawanan gagak gelisah menunaikan tugasnya. Harap-harap cemas dengan apa yangselanjutnya terjadi. 

Sementara dari bangsa manusia hanya segelintirsaja yang peka. Mereka yang punya ilmutiten, yang jarang tidur danbersih hatinya. Bersih pula isi perutnya. Mereka pun dihinggapi perasaan takmenentu. Ada bisikan tertentu yang menyiratkan ketidakberesan. Mereka ini tahu,tapi lebih banyak diam.

Anak kecil dalam buntalan selimut kumal itu kembali kejang,menggigil keras. Bibirnya terkatup rapat membiru. Mukanya pucat pasi. Sementarasi bapak yang mendorong gerobak itu tak hentinya menangis. Ia berteriak dengangagau. Ya, lelaki itu bisu. Mendorong gerobak tua berisi tubuh mungil anak lelakinya yang sekarat. Dia tak tahu harus kemana membawa anaknya malam-malam begini?  Gagak gwen tahu benar apa jeritan hatilelaki bisu itu. Tapi ia tak bisa berbuat apapun selain mengeok lebih kencang. Sampai akhirnya lelaki bisu itu teringat ada rumah sakit terdekat di baratkota. Ia menuju kesana. Tak sabar, ia gendong buntalan anaknya itu. Berlari kencang dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya.

Di tempat lain, di tepi kolam renang, sepasang insan menggelepar bak ikan kepanasan. Layaknya pendaki yang baru saja menggapai puncak gunung. Bersimbah keringat. Nikmat. 

Sementara itu di atap rumah, Si gagak peot hanya bisa menelan ludah. Menunggu dengan kesal. Kicauan seraknya sedari tadi tak digubris pasangan beda usia itu. Perempuan berumur lima puluhan tahun itu adalah istri (tua) pejabat negeri yang berminggu-minggu dinas keluar kota. Tak punya teman curhat, ia tumpahkan semua kegalauan pada orang yang siap mengantarnya kemana saja. Ya, lelaki kekar itu adalah sopir pribadinya. Kekasih gelapnya. Tak lama beradu pandang, bergegas mereka berpakaian dan menuju diskotik langganan tengah malam. Pesta hura-hura kaum sosialita.

Mobil pasangan gelap itu melaju kencang dari timur ke arah barat kota. Bak remaja yang gandrung balapan, dua insan dimabuk cinta terlarangitu membelah angin malam. Tak peduli kiri kanan. Gagak Peot terengah-engahmengikuti dari belakang. Sopir selingkuhan menginjak gas tak karuan, makinkencang makin mendebarkan. Adrenalin nyonya pujaan dipermainkan. Gelak tawaberhamburan. Tanpa sadar di tengah jalanan sepi,seorang pria bisu nan malang terseok-seok membawa gendongan. Sekejap perhatiansopir selingkuhan teralihkan. Tapi terlambat. Ia banting stir ke kanan, menghindari lelaki yang berjalan sambil menggendong buntalan.Hilang keseimbangan, mobil masuk jurang. 
Gagak Peot mengabarkan kematian sepasang selingkuhan. Mengenaskan.

Sesaat Gagak Peot dan Gagak Gwen berkeok bergantian. Memberi tanda dua nyawa telah melayang. Sementara lelaki bisu malang tak sedikitpun menoleh ke belakang. Dalam benaknya hanya ada anaknya yang malang. Sekarat dan butuh pengobatan. Ia terus melangkah meski kakinya berlumur darah. Berharap lekas sampai di balai pengobatan, meski tanpa sepeser pun uang di genggaman. Menerobos tengah kota yang seolah tanpa kehidupan, hanya ditemani dua gagak hitam yang bersahutan mendendangkan lagu kematian.

Suasana di selatan kota tak kalah tegang. Sudah hampir duajam remaja itu termangu terdiam. Kali ini tali sudah digantungkan, di cabangpohon jambu. Gagak Iput masih mengawasi, sambil terus mengirim sinyal-sinyal kematian. Meski harus bertepuk sebelah tangan, karena tak satu pun manusia memperhatikan peringatan. Waktu seolah berhenti sejenak, hening, sampai tiba-tiba mata remaja itu melotot merah, giginya gemeretak, penuh amarah yang membuncah. Ia pegang erat-eratujung tambang yang terlilit di leher mungilnya itu. Jaraknya dengan bumi hanya beberapa kaki, dibatasi sebuah meja dan kursi tempatnya berdiri, siap-siap mengakhiri.

Dan..."Krrrekk...kekk..kekk..qk qqk.." suara maut paling mengerikan yang mungkin takkan pernah kau dengar pun berbunyi. Bagaimana tambang mengiristenggorokan ditengah malam sunyi. Sebuah tubuh mungil terombang-ambing pelan dicabang pohon jambu. GagakIput menatap dingin, sementara binatang-binatang penghuni malam lainnya menjadisaksi peristiwa terkutuk ini, membisu kemudian berlalu. Menunggu kabar esokhari kalau-kalau bangsa manusia lekas menyadari dan mengerti, mengapa hal inibisa terjadi?

***

Di barat kota, gagakCendy dan kawan-kawannya masih bertengger di kejauhan. Mereka tak tahu gong kematian macam apa yang akan bergaung. Puluhan, atau mungkin ratusan malaikat maut masih bertasbih dalam diam, melayang di atas atap-atap rumah, gedung perkantoran, sekolah dan bahkan di atap rumah sakit yang masih benderang, hingga subuh menjelang. Bangsa manusia penghuni barat kota nampaknya sedang pulas. Bermimpi indah dalam istana malas.

Sampai beberapa detik kemudian, lolongan manusia terdengar memilukan. Muncul sosok lelaki berkaos oblong kumal menggendong buntalan menangis histeris. Kakinya berlumur darah seperti habis menginjak ribuan duri dan kawat. Sekujur badannya basah. Tak terucap kata yang sempurna karena mulutnya gagu dan bisu. Sementara buntalan berisi putra kesayangannya itu telah membeku. Membujur kaku. Gagak Cendy terpaku penuh haru.
Lolongan lelaki itu membangunkan beberapa manusia sebangsanya. Mereka menengok saja dari kaca dan lubang jendela. Mengintip dari balik bilik. Tak satu pun lantas keluar sekedar mencari tahu. Semua masih membisu, sampai lelaki itu tersungkur tak mampu menahan ngilu. Bukan! bukan karena mereka takut dengan lelaki asing bersimbah darah dan keringat ini! Bukan pula mereka ngeri dengan mayat kecil yang digotong-gotong itu. 
"Mengapa manusia-manusia itu diam saja?!" Gagak cendy mengumpat kesal. Dilihatnya lelaki itu meratap pilu diatas jasad kaku anaknya. Tanpa sadar pendaran auranya sendiri makin gelap dan meredup. Tubuh tua lunglai bernoda darah dan keringat itu juga sekarat. Orang-orang disekitar tak jua mendekat, sekedar memberikan pelukan semangat. Padahal tak jauh lagi instalasi gawat darurat rumah sakit sudah dekat. Sebaliknya, lampu-lampu rumah yang semula menyala justru kembali padam. Satu persatu kembali melanjutkan tidur sambil berbisik dan mengamini ; "tak ada apa-apa malam ini. Aku tak melihat apapun. Lupakan. Tak ada peristiwa penting yang terjadi". 

Seonggok lelaki dan anak kecil itu mati sendiri. Gagak Peot, Gwen, Cendy dan teman-temannya tak sanggup lagi berkicau. Dilihatnya malaikat yang sedari tadi mengawasi kini bersamaan terbang ke langit membawa sebuah gumpalan. Ternyata itu gumpalan hati. Ya, hati manusia-manusia di barat kota yang sudah mati!

***

Keesokan harinya,suasana kota masih saja muram di sudut-sudutnya. Ditemani secangkir teh hangat beberapa manusia membolak-balik halaman surat kabar hari ini. Sebagian malah sudah nongkrongin acara gosip di televisi sedari pagi. Ada berita tentang kematian sepasang selingkuhan yang ternyata istri tua pejabat negeri dengan sopir pribadi. Kemudian berita seorang anak kecil yang nekat gantung diri karena malu orang tuanya tak mampu membeli tablet keluaran terbaru. Ia tertekan karena diejek dan dibully di sekolahnya. Kemiskinan membunuhnya.

Terselip pula di pojok surat kabar, sebuah kolom kecil, hampir tak terlihat diantara riuh rendah berita politik negeri, kisah kematian seorang pemulung dan anaknya yang tragis.Tapi hanya menjadi berita yang dibaca sepintas lalu. Kemudian semua berlalu, dilupakan oleh kenyataan dan kesibukan bangsa manusia hari ini. Sayangnya, tak ada kabar tentang malaikat yang mencabut hati dari raga kumpulan manusia itu. Hanya sekawanan gagak saja yang tahu dan menjadi saksi, bahwa sejak dini hari penduduk di kota itu sesungguhnya telah mati. (*)

No comments:

Post a Comment