16 December 2015

DISKURSUS PEMEKARAN PANTURA SUBANG


Oleh : Yanu Endar Prasetyo
Social Engineer & Pegiat TRPIP Subang

Ada dua hal yang membuat Saya menulis esai pendek tentang topik yang mungkin sedang menjadi isu “panas” sekaligus “sensitif” di Kab. Subang ini. Pertama, momentum meninggalnya Indonesianis terkemuka, penulis buku “Imagined Communities”, Prof. Bennedict Anderson. Ia adalah salah satu pemikir serius yang mendalami studi soal nasionalisme dalam arti luas dan sempit. Sebuah kerangka paradigmatik untuk mengupas “konflik” antara nasionalisme dan kedaerahan, antara penyeragaman dan otonomi serta relasi antara identitas bersama (bangsa) dan identitas individu (etnis).
Dengan pisau analisis ini penulis tergelitik untuk meletakkannya dalam konteks perebutan hegemoni di level regional-lokal yang menyeruak. Misalnya, wacana penggantian nama provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Pasundan, pasang surut isu pemekaran wilayah Cirebon dari Jawa Barat, bahkan termasuk polemik identitas “sampurasun” vs “campur racun” yang hangat diperbincangkan di media sosial kita belakangan ini.
Kedua, tentu saja pasang surut wacana pemekaran Pantura Subang itu sendiri yang dalam satu dekade belakangan terus muncul dan tenggelam dalam diskursus politik di Kabupaten Subang khususnya. Dalam konteks terakhir inilah tulisan ini dibuat. Tidak bermaksud memperkeruh keadaan, namun tulisan ini mencoba mengurainya secara reflektif-sosiologis bagaimana isu ini bisa muncul, dikelola dan berbagai faktor yang patut dipertimbangkan oleh para elit dan lini massa yang berkepentingan di dalamnya.

Territorial Reform(s) dan Tafsir Kedaerahan
Secara sosiologis, wilayah teritorial Kabupaten Subang yang terbagi dalam tiga bentang agro-ekologis yang berbeda (pesisir-pantura, persawahan-urban dan pegunungan) ini, nampaknya juga melahirkan tiga pola besar sentimen kewargaan yang berbeda. Kesadaran penduduk yang secara administratif bernama Kabupaten Subang ini sesungguhnya “terbelah” ke dalam tiga konstruksi identitas, yaitu sebagai “wong kaler” (orang utara, warga pantura, jawa sawareh), “urang subang” (orang kota, pusat pemerintahan, hasil akulturasi ekonomi-budaya-politik yang relatif heterogen) dan “urang tonggoh” (orang selatan, daerah atas/gunung, orang Sunda asli, relatif homogen). Eksisnya ketiga tafsir dan identitas kedaerahan ini sebenarnya sudah disadari betul oleh para elit dan penguasa daerah Subang, oleh karenanya basis-basis wilayah konstituen pun selalu dibagi ke dalam tiga zona tersebut. Sehingga pendekatan komunikasi politik pun akan disesuaikan dengan ketiga karakteristik kultural yang berbeda ini.
Dengan peta identitas kultural semacam itu, pengaruhnya tentu saja mampu mewarnai kontestasi atau perebutan kekuasaan di Kabupaten Subang. Era Reformasi, Otonomi Daerah, ditambah lahirnya UU Desa yang makin menurunkan konflik perebutan kuasa di level terbawah (desa) terus menyemai suburnya isu “pemilik sah wilayah”, “penduduk asli” dan “pemilik asli” yang konon lebih berhak mengelola dan menikmati hasil pembangunan serta pemanfaatan sumber daya di wilayahnya tersebut. Pertanyaannya, siapa pemilik asli tersebut? Siapa yang lebih kuat memberi penekanan dan hegemoni atas wilayahnya? Tafsir dan definisi antara penduduk “asli” dan “non-asli” ini kemudian secara otomatis akan merembet dalam sentimen negatif antara “penduduk asli” dan “pendatang”.
Dalam konteks ini, dapat diimajinasikan, bahwasanya pemerintahan dengan segala isinya (sebagai gula yang diperebutkan) yang saat ini berada di Subang Kota yang heterogen sebagai hasil konstruksi-akulturasi warga asli dan pendatang yang hidup berdampingan, sedang diperebutkan oleh warga pendatang (wong kaler, dimana mayoritas warganya adalah pendatang, dengan bahasa sehari-hari yang bukan Sunda, melainkan Panturaan) versus warga asli (urang tonggoh, dimana mayoritas warganya merupakan etnis Sunda dan berbahasa Sunda).
Pertanyaannya, apa yang mendesak sehingga pemekaran itu menjadi penting bagi Pantura? Mengapa bukan melanjutkan perebutan kekuasaan di “pusat pemerintahan” yang berkembang, tetapi justru isu “membuat pusat pemerintahan baru” yang muncul? Adakah kekalahan hegemoni politik dan kultural wong kaler disini?

Kepentingan Elit atau Kehendak Mayoritas
Dalam diskursus atau wacana pemekaran ini tentu kita bisa menimbang dari beberapa aspek. Dari sisi politik, umumnya kepentingan segelintir elit yang mencoba “iseng-iseng berhadiah” dengan menunggangi isu pemekaran wilayah. Dipicu oleh kekalahan politik, ketidakpuasan kepada rezim, perasaan ter-dzalimi atau politik transaksional (bagi-bagi kekuasaan) menjadi alasan  rasional untuk mendorong pemisahan diri. Hal ini pun terjadi dalam tarik menarik yang lebih besar antara Aceh-Indonesia, Papua-Indonesia dan Timur-timur – Indonesia yang terlebih dahulu berhasil “merdeka”.  Apa sebab? rasa Nasionalisme yang “dipaksakan” dalam instrumen-instrumen yang seragam dan represif menjadi alasan daerah-daerah tersebut bergolak. Ditambah dengan ketidakadilan sosial-ekonomi, penjarahan sistematis kekayaan sumber daya alam oleh pusat dan perasaan terpinggirkan sebagai penduduk asli akan melengkapi faktor pendorong dan penarik separatisme.
Kembali ke Subang, fakta berbicara bahwa infrastruktur di daerah Pantura pada umumnya memang tertinggal dan terkesan terjadi pembiaran. Kekecewaan warga pantura terhadap pembangunan yang tidak merata itu kemudian diartikulasikan oleh para elit dan tokoh masyarakat untuk mendapatkan perhatian lebih. Mengingat potensi dan sumbangan ekonomi wilayah Pantura yang signifikan bagi Kabupaten Subang itu sendiri.
Dalam sejarahnya, masyarakat daerah pesisir tidak pernah takut terkait pemenuhan kebutuhan ekonomi, sebab sedari dulu wilayah Pantura Jawa selalu menjadi jalur logistik dan ekonomi yang penting. Bahkan saat ini sudah ada proses pembangunan Pelabuhan Nusantara di Pantura Subang yang kelak diprediksi akan menjadi poros ekonomi baru di wilayah ini.  Bagaimana dan untuk siapa pembangunan pelabuhan ini tentu perlu komunikasi politik yang baik kepada warga Pantura. Macetnya saluran aspirasi untuk pembangunan itu memicu terbukanya saluran lain yang lebih agresif, yaitu pemisahan diri. Justru ketika perhatian itu tidak lekas disikapi dan diberikan, wacana yang semula dianggap kepentingan segelintir elit itu pasti akan menemukan muara menjadi kehendak massa atau publik mayoritas. Pada titik inilah kehendak dan aspirasi itu menjadi sangat sulit untuk dibendung.  
Di sisi lain, secara administratif-teknis-kewilayahan, pemekaran daerah saat ini memerlukan proses lebih panjang dan semakin ketat. Sebab, dari hasil penilain Kemendagri RI, 65 persen daerah otonom baru hasil pemekaran itu gagal berkembang! Artinya, nafsu politik dan bagi-bagi kekuasaan yang selama ini kental dalam aroma pemekaran nampaknya kurang diimbangi dengan kalkulasi ekonomi, sosial dan budaya yang menopang tumbuh kembangnya suatu daerah. Hal ini juga menjadi bukti bahwa tujuan pemekaran, pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah (PP No 78/2007) sebagian besar bukan semata untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, melainkan hanya untuk jalur mobilitas vertikal para elit lokal yang malah melahirkan inefisiensi anggaran milik publik.
Oleh karena itu, kembali kepada inspirasi yang diberikan oleh Ben Aderson, bahwa “Members of the community probably will never know each of the other members face to face; However, they may have similar interests or identify as part of the same nation. Members hold in their minds a mental image of their affinity”. Kita memang belum tahu bagaimana imajinasi mayoritas warga Pantura yang sesungguhnya, apakah mereka ingin mekar atau masih ingin menjadi bagian dari Subang? Perlu kajian mendalam. Tapi tak terbantahkan jika setiap diri kita sebagai warga ingin hidup sejahtera dan berdaulat di bumi yang kita pijak. Maka yang mendesak ternyata bukan soal kapan atau perlu tidaknya pemekaran? yang mendesak dan paling mendekati imajinasi dan kebutuhan warga itu tak lain adalah : keinginan untuk hidup lebih sejahtera! Titik. Urang kaler, urang subang dan urang tonggoh memiliki kesamaan keinginan dalam hal ini. Apa pun nama kabupatennya, siapa pun pemimpinnya, mereka tidak terlalu peduli.

No comments:

Post a Comment