02 October 2016

Peta Sosial Politik Subang : Kemarin, Kini dan Nanti (1)


Subang sedang mengalami “paceklik kepemimpinan”. Sebuah masa dimana sulit mencari figur ideal dalam birokrasi dan kepemimpinan. Badai KPK telah mengubah struktur politik lokal menjadi demikian cair dan membutuhkan proses untuk kembali menguat pada poros-porosnya. Subang tentu tidak sendirian, paceklik kepemimpinan ini dialami pula - bahkan lebih dulu - oleh ratusan daerah lain yang merupakan anak kandung otonomi daerah. Sebuah era dimana raja-raja kecil menjadi penguasa mutlak di daerah. Subang pun pernah mengalami tren sentralisasi kekuasaan oleh raja kecil itu, dimana penempatan orang sangat jauh dari prinsip “the right man in the right place”. Kepentingan umum dilupakan karena sengaja diletakkan di bawah kepentingan pribadi dan golongan. Masa dimana publik mengeluhkan segala hal, tapi tak kuasa berbuat apa-apa karena didera ketakutan untuk bersuara. Rezim semacam ini merayakan otonomi secara berlebihan dan kebablasan, hingga pada akhirnya digulung pula oleh peribahasa politik klasik dari sejarawan John Dalberg-Acton yang mengatakan bahwa “power tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutely”. Para pemimpin dari rezim lama itu, baik yang tua maupun muda, akhirnya bergiliran satu per satu menginap di hotel prodeo.

Namun, realitas politik tidak pernah absolut. Ia dinamis dan tak pernah berhenti di tempat. Meskipun kita akui kegagalannya dalam memproduksi birokrasi yang bersih, namun harus kita akui pula bahwa otonomi daerah juga berhasil membidani lahirnya pemimpin-pemimpin yang berprestasi. Mereka adalah angin segar bagi demokrasi kita di tengah pengapnya politik transaksional yang sering melukai nalar dan akal sehat. Pilkada DKI menjadi contoh tampilnya angin segar kepemimpinan di ibu kota, dimana keenam kandidat yang tampil adalah tokoh-tokoh pemimpin ideal dari basisnya masing-masing. Terlepas dari dinamika politik praktis di dalamnya, mereka telah menjadi oase bagi demokrasi elektoral dan prosedural yang terus digugat oleh ketidakpercayaan publik ini. Pun di negara yang didongengkan sebagai corong demokrasi seperti Amerika Serikat, seorang Hillary Clinton juga sedang berusaha mencatatkan sejarah menjadi presiden perempuan pertama di negeri itu. Tentu tidak mudah. Tren ini menambah angin segar bahwa meskipun compang-camping dan tidak sempurna, sistem demokrasi masih memberi kita sedikit ruang dan kepercayaan bahwa setiap orang – terlebih orang baik dan berkompeten – masih memiliki kesempatan yang relatif sama untuk menjadi pemimpin. Demokrasi tidak hanya milik para mafia.


Elit dan Akar Rumput
Itu hingar bingar dinamika politik di level makro. Lalu bagaimana dinamika di akar rumput Subang sendiri? Sejatinya ditengah-tengah masyarakat Subang tidak pernah sepi dari obrolan politik. Masyarakat kita adalah tipikal masyarakat yang gemar bergosip. Selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan orang lain, terlebih pada para pemimpinnya. Politik bukan barang asing, bahkan di pedesaan sekali pun. Mereka merayakan banyak pesta-pesta politik, mulai dari pemilihan ketua RT, RW, Kepala Desa, memilih pengurus masjid, karang taruna, terlibat dalam organisasi massa, laskar-laskar, hingga menjadi partisipan aktif dalam pilkada, pilpres dan berbagai momen demokratis lainnya. Politik uang juga bukan barang baru, malahan sering dinanti-nanti pada masa perayaan demokrasi. Tidak selamanya calon pemimpin membodohi rakyat, seringkali masyarakat juga mencurangi para petualang politik itu. Kecurangan dibalas dengan kecurangan lain. Pada sisi ini barangkali kita masih membutuhkan proses panjang untuk demokrasi yang lebih substansial. Diawali dengan mengubah paradigma politik para patron lokal terlebih dahulu agar kebiasaan konstituen (client) di lapisan ini berubah menjadi lebih substantif.

Pada lapisan menengah yang lebih berpendidikan dan melek teknologi, kehadiran internet dan media sosial tentu menjadi referensi politik yang tak terbatas bagi mereka. Mereka adalah golongan yang mengidentifikasikan diri sebagai kaum urban dan kelas pekerja. Orientasi politik mereka tidak lagi mengikuti patron lokal atau tokoh masyarakat, melainkan dari jejaring lintas wilayah, group-group di facebook, twitter atau berita-berita dari media lainnya. Mereka tampil lebih percaya diri dan berani mengkritisi segala hal. Massa pada lapisan ini juga tumbuh secara signifikan. Bentang geografis tidak lagi menjadi halangan bagi lapisan menengah ini untuk saling terkonekasi. Geopolitik subang utara, tengah dan selatan yang selama ini dianggap sebagai batas pemisah untuk menganalisis perilaku pemilih, nampaknya akan semakin melebur dan tidak lagi relevan. Ke depan, opini publik pada lapisan inilah yang akan menentukan peta politik lokal, bukan hanya di Subang, tetapi juga di seluruh daerah yang semakin terjangkau dengan teknologi informasi.

Lalu, bagaimana dengan elit politik Subang saat ini melihat dinamika sosial politik yang ada? Sebagian masih gagal fokus dan menganggap tidak banyak perubahan yang akan terjadi saat ini dan ke depan. Sebagian lagi terpaksa tiarap seiring dengan hilangnya figur patron yang selama ini memayungi. Sebagian kecil lainnya adalah mereka yang responsif dan membaca tanda-tanda jaman dengan perhitungan yang lebih realistis. Elit Partai politik Subang nampaknya masih banyak yang gagal fokus dan tiarap. Kikuk menempatkan diri di tengah berbagai isu yang berkembang. Bisa dimaklumi karena memang telah demikian lama partai politik – apa pun warnanya – dikondisikan atau tersandera pada zona nyamannya masing-masing. Mereka kehilangan figur dan kepercayaan diri sekaligus di hadapan publik. Meski, ada satu Parpol besar yang berhasil dengan cepat beradaptasi, yaitu yang telah dengan cepat memiliki pemimpin baru yang cukup menjanjikan sebagai patron/figur yang ditawarkan kepada publik di masa mendatang. Sementara itu, panggung politik Subang umumnya masih diramaikan oleh manuver elit-elit ormas dan aktivis yang berharap akan mampu menarik perhatian publik dan menjadi elit alternatif di tengah masa transisi dan membisunya parpol-parpol ini.

Belajar dari Kemarin

            Kendati politik itu spekulatif layaknya meja judi, namun tidak ada salahnya kita belajar dan membaca dinamika politik dengan data-data dan informasi yang kita anggap relevan. Tulisan ini mencoba memotret peta politik lokal Subang kemarin untuk melihat apa saja isu kekinian dan kemungkinan menjadi hal penting di masa mendatang. Beberapa data primer dan sekunder yang penulis gunakan dan elaborasi dalam analisis ini antara lain; pertama, hasil survey perilaku pemilih pada pemilihan Bupati Subang tahun 2013 yang dilakukan oleh Cita Institut. Kedua, hasil akhir pilkada kepala daerah subang yang dirilis oleh KPUD Subang dan berbagai media saat itu. Data kedua ini sebagai pembanding dari data pertama. Ketiga, hasil survey peluang keterpilihan calon dalam pemilu legistlatif di daerah pemilihan Subang, Majalengka dan Sumedang (SMS) dari LPPM STIESA tahun 2014. Data ketiga ini untuk memetakan dominasi partai politik dan membandingkan demografi pemilih dengan data yang pertama maupun yang kedua. Keempat, data hasil survey sosial ekonomi buruh perempuan subang yang dilakukan TRPIP tahun 2016. Data ini digunakan untuk melengkapi analisis demografis para pemilih perempuan (sebagai mayoritas pemilih dalam pilkada), khususnya dari kalangan perempuan kelas pekerja.

            Menjelang Pilkada tahun 2013, jagad politik subang diramaikan oleh sepuluh nama tokoh terpopuler pada saat itu, antara lain Ojang Sohandi (Petahana, PDIP, 89,04%), Atin Supriatin (DPRD, PDIP, 52,81%), Imas Aryumningsih (Golkar, Pernah Mencalonkan sebagai Paslon bersama Primus pada Pilkada tahun 2009, Saat ini Plt Bupati dan Ketua Golkar, 42,98%), Nina Hidayat (Istri mantan bupati Eep Hidayat, 20,22%), Asep R. Dimyati (PAN, Gibas, 17,70%), Bambang Herdadi (PDIP, DPRD, 15,45%), Oman Warjoman (Golkar, 10,67%), Ade Suhaya (Demokrat, 10,39%), Rumanda (Golkar, 6,74%) dan Agus Masykur R (PKS, 6,46%) (CI, 2013). Ada banyak nama lain yang muncul selain itu, namun popularitas mereka ada di bawah kisaran lima persen. Sepuluh nama tokoh yang muncul tersebut memang pada akhirnya sebagian berhasil maju sebagai pasangan calon bupati dan wakil bupati melalui jalur partai. Sementara nama-nama tokoh lainnya kemudian muncul melalui jalur independen.

Ojang sohandi merupakan figur paling populer karena petahana dan telah lama menjadi pendamping bupati sebelumnya, Eep Hidayat. Selain petahan, Ojang sohandi juga representasi figur yang muda, muslim, putra daerah dan memiliki karir yang melesat sejak lulus dari IPDN. Saingan terberat Ojang Sohandi, terutama dari sisi popularitas dan elektabilitas saat itu hanya Atin Supriatin yang sangat gencar melakukan sosialisasi pada masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari frekuensi tatap muka tokoh dengan responden dalam sebulan terakhir dimana Ojang dan Atin sangat menonjol dibanding yang lain. Sementara saingan terberat Ojang dalam hal sosialisasi melalui baliho, spanduk dan media lainnya saat itu adalah Asep R. Dimyati, tokoh baru yang juga muda dan berhasil menarik minat pemilih perempuan dan pemilih pemula. Dinamika politik akhirnya menyodorkan kepada publik Subang enam (6) paslon kepala daerah : (1) Agus Masykur R – Asep R. Dimyati (PKS-PAN) (2) Ma’mur Sutisna – Asep Muslihat (Independen) (3) Ahmad Djuanda – Ade Suhaya (Demokrat) (4) Ojang Sohandi – Imas Aryumningsih (PDIP-Golkar) (5) M. Riza Hanafi – Ade Kosasih (Independen) dan (6) Atin Supriatin – Nina Nurhayati Hidayat (PDIP).

Hasil akhir dari rekapitulasi KPUD Subang Tahun 2013, pasangan no urut (4) Ojang Sohandi - Imas Aryumningsih unggul dengan memperoleh total suara 404.191 (54,01%), disusul pasangan no urut (6) Atin Supriatin - Nina Nurhayati dengan memperoleh suara 108.461 (14,49%), yang ketiga pasangan no urut (1) Agus Masykur Rosyadi - Asep Rochman dengan memperoleh suara 101.668 (13,59%), yang keempat pasangan no urut (3) KH. Ahmad Djuanda - Ade Suhaya dengan memperoleh suara 69.332 (9,26%), kemudian yang kelima pasangan no urut (2) Ma'mur Sutisna - Asep Muslihat dengan jumlah suara 48.037 (6,42%), selanjutnya yang keenam pasangan no urut (5) M. Riza Hanafi - Ade Kosasih dengan jumlah suara 16.684 (2,23%). Total seluruh suara sah sebanyak 748.373 dan suara tidak sah sebanyak 28.197.

Kolaborasi Ojang – Imas melesat jauh meninggalkan lawan-lawannya. PDIP dan Golkar pada saat itu merupakan partai yang paling disukai menurut responden (32,30% dan 28,37%) di Kabupaten Subang, ditambah dengan popularitas kedua kandidat yang memang tertinggi di antara yang lain semakin memudahkan langkah Ojang-Imas meraih kursi Subang satu. Pada akhirnya, survei dan hasil Pilkada tahun 2013 di atas menunjukkan bahwa popularitas dan elektabilitas kandidat tetap yang terpenting dalam perhelatan pilkada di Kabupaten Subang. Publik pemilih nampaknya tidak terlalu mempermasalahkan kasus hukum yang menimpa bupati sebelumnya, Eep Hidayat, yang sebenarnya juga adalah elit PDIP. Arti lainnya adalah bahwa pilkada adalah pertarungan figur, bukan pertarungan nama baik partai politik pengusungnya.

Jika dibandingkan dengan perhelatan politik Nasional tahun 2014, demografi pemilih Subang nampaknya tidak banyak berubah. Tingkat pendidikan responden dari survei yang berbeda ini masih sama, yaitu mayoritas lulusan SD (tahun 2013 : 40%, tahun 2014 : 38,33%). Namun dari segi jenis kelamin pemilih nampak peningkatan pada pemilih perempuan dari survei tahun 2013 pada kisaran 45% menjadi 63% pada tahun 2014. Akan tetapi, preferensi pemilih pada karakter atau atribut kepemimpinan mereka masih sama, yaitu menghendaki pemimpin berlatar belakang muslim dan putra daerah. Pemimpin laki-laki atau perempuan sama saja di mata pemilih Subang. Uniknya, jika pada tahun 2013 responden menginginkan secara signifikan figur kepala daerah penting dari etnis Sunda (55%), namun pada tahun 2014 pilihan bahwa kandidat penting dari etnis Sunda tidak lagi menjadi dominan (33%), yang terpenting adalah masih putra daerah (lahir di subang).

Isu Terkini dan Nanti

Tahun 2013-2016 adalah tahun-tahun dimana pembangunan fisik gencar dan pesat dilakukan di Subang. Pada tahun-tahun politik saat itu, Tol Cipali dibangun dan resmi dioperasikan. Menyusul kemudian kantong-kantong industri baru yang menjadi magnet bagi urbanisasi, meski dengan skala yang masih belum besar namun membawa perubahan demografi yang cukup signifikan. Pesatnya industri baru merekrut buruh perempuan misalnya, dari hasil kajian TRPIP tahun 2016, menunjukkan bahwa jumlah pemilih perempuan dari kalangan pekerja/buruh dan ber KTP Subang kemungkinan juga akan meningkat. Profil pemilih perempuan di kantong industri (Kalijati, Cipeundeuy dan Purwadadi) dengan rata-rata usia 27 tahun, aktif di sosial media dan menjadi anggota serikat buruh tentu tidak bisa diremehkan sebagai basis suara dalam pemilihan kepala daerah. Belakangan, kekuatan buruh juga telah cukup membuktikan bagaimana bergaining position mereka dalam berbagai isu di Kabupaten Subang, sehingga kekuatan buruh sangat patut untuk diperhitungkan oleh para calon pemimpin di Kabupaten Subang. Kendati pun tidak semua serikat atau aliansi buruh di Subang solid dan memiliki komitmen yang sama, namun setidaknya mereka telah menunjukkan eksistensinya dan sangat mungkin menjadi kekuatan utama seiring industri yang terus merangsek masuk ke kabupaten Subang.
  
Pertumbuhan ekonomi berbasis industri tidak hanya berpusat di zona-zona industri yang ada, akan tetapi juga melebar hingga ke pantura Subang. Hadirnya rencana pembangunan pelabuhan internasional Patimban tahun depan akan mengubah arah ekonomi pembangunan Subang. Siapa pun pemimpin Subang nantinya harus memiliki sikap dan merespon dinamika sosial dan ekonomi ini. Mereka harus mampu menjelaskan kemana arah pembangunan ekonomi Subang akan berlabuh? Dinamika politik Nasional dan Regional pada 2017-2019 juga akan sangat mewarnai tren politik lokal di Kabupaten Subang. Sebagaimana di awal tulisan ini, siapa kelak figur kepala daerah di Jakarta, sedikit banyak juga akan mewarnai preferensi publik terhadap calon bupati dan wakil bupatinya. Apakah dari militer? pengusaha? birokrat? akademisi? atau politisi? Masyarakat tentu merindukan figur pemimpin yang bisa membuat hati mereka terpaut. Membuat mereka merasa dekat, terlibat dan merasa memiliki.

Sekali lagi, meskipun popularitas-elektabilitas itu penting dan akan mengantarkan pada kemenangan Pilkada, sejarah membuktikan bahwa itu saja tidak cukup untuk menjadi kepala daerah yang amanah dan selamat. Tanpa jejaring riil ke akar rumput, visi yang kuat, integritas, moralitas dan keberpihakan pada kepentingan yang lebih luas, maka singgasana yang telah dibangun dengan teramat mahal itu akan runtuh dengan sekejap mata. Disamping itu, kita juga tidak bisa naif, bahwa selain proses politik di atas mimbar terbuka dan media, ada banyak pergerakan politik di bawah tanah dan di ruang-ruang tertutup yang kadang menggulung habis aspirasi publik. Selalu ada kepentingan lain, entah itu intelejen, pusat, taipan dan bahkan kekuatan lain yang teramat kabur dan “ghaib” untuk dipahami publik. Tentu saja mereka ada dan akan terus bekerja. Namun di atas itu semua, membangunkan kesadaran publik akan pentingnya berperan aktif dalam politik dan mengirim orang-orang terbaik untuk mengurus bangsa ini pada level mana pun, adalah kewajiban bagi kita semua untuk memulai serta mendukungnya. (bersambung)  

“Never doubt that a small group of thougthful, committed citizens, can change the world.
It is the only thing that ever has”
(Margaret Mead)

Penulis : Yanu Endar Prasetyo
Pegiat Subang Baru, saat ini penulis sedang menempuh S3-nya di University of Missouri, Amerika Serikat.

sumber gambar : disini
bisa dibaca juga : disin dan disini


No comments:

Post a Comment