14 January 2019

Debat Capres: Dylan vs. Rangga

Oleh: Yanu Prasetyo

Suka atau tidak, debat calon presiden dan wakil presiden adalah salah satu alat ukur terbaik untuk melihat kualitas demokrasi sebuah bangsa. Dari debat terbuka di televisi, misalnya, publik akan mampu menerawang kualitas calonnya. Terlepas soal ujian sudah dibocorkan atau tidak, tetap saja kemampuan menjawab “take-home exam” itu bisa menjadi pembeda kualitas kandidat dan kesiapan tim pendukungnya. Debat capres juga menjadi saluran yang sangat baik bagi kandidat untuk “berbicara” langsung kepada jutaan calon pemilihnya. Terlepas janji murni atau janji palsu yang akan disampaikan, tetap saja duel gagasan, program, dan cara pandang kandidat itu akan mampu mempengaruhi loyalitas calon pemilih. Besar maupun kecil. Tanpa debat, pilpres laksana sayur tanpa garam. Hambar.

Lewat debat capres, kita juga bisa menandai apakah seorang pemimpin memiliki kedewasaan berpolitik atau belum? Banyak debat (di berbagai level) yang berujung dengan cekcok dan baku hantam. Intimidasi dan pembunuhan karakter. Lempar sambut makian dan hinaan. Jika ini yang terjadi, maka kita bisa simpulkan kedewasaan berpolitik para kandidat masih rendah. Jika karakter pemimpinnya demikian, seperti itu pula ciri para pendukungnya. Bukankah karakter pemimpin merefleksikan yang dipimpinnya? Oleh karena itu, debat adalah medan tempur udara yang utama dalam kontestasi pilpres. Debat harus dimaknai sebagai panggung intelektual yang seharusnya berisi dan beradab karena memantulkan nilai-nilai sebuah bangsa. Kehati-hatian menjadi penting. Sebab debat capres tidak hanya dikonsumsi di dalam negeri, namun juga dipantau oleh dunia internasional. Setidaknya melalui mata awak media dan mata-mata lainnya.

Pun bagi para capres, apa yang dikatakan dalam debat bisa menjadi jejak digital yang kejam di masa mendatang. Mulutmu adalah harimaumu. Jangan sampai para kandidat mengulangi apa yang dilakukan Rangga kepada Cinta. “Karena apa yang kamu (Rangga) lakukan itu kejam!”, kata Cinta. Janji boleh, tapi yang realistis dan bisa ditepati. Jangan sampai janji menghilang tanpa kabar. Jangan biarkan Cinta menunggu hingga ratusan purnama atau bahkan sampai pemilu berikutnya untuk merasakan manisnya janji-janji itu. Sebisa mungkin para Capres meniru apa yang dirayukan Dylan kepada Milea. “Menjadi presiden itu berat, kamu nggak akan kuat, biar aku saja”. Siapa tahu para pemilih akan terbujuk lalu meninggalkan pilihan lamanya. Sebagaimana Milea membuang mantannya untuk Dylan. Begitulah hubungan antara cinta dan pemilu, ending-nya agak-agak sulit diduga.

Kembali ke soal debat capres. Di Amerika Serikat, negara yang demokrasinya berumur lebih tua tapi tidak lebih baik dari Indonesia itu, tradisi debat Capres sudah menjadi bagian dari proses pemilu sejak lama. Sekedar perbandingan, jika debat capres di Indonesia dibuat oleh penyelenggara formal pemilu (KPU), maka di AS debat capres dinahkodai oleh lembaga independen non-partisan yang disponsori oleh Yayasan atau donor privat lainnya. Namanya Commission on Presidential Debate (CPD). Sebelum ada CPD, debat capres di AS juga sudah dikenal namun tidak memiliki struktur dan aturan yang pasti. Baru pada tahun 1960 - dipengaruhi oleh media TV yang makin populer - debat antara J.F. Kennedy (Demokrat) dan Richard Nixon (Republikan) digelar dan mendapat sambutan antusias dari publik AS.

Sebelum debat, Kennedy kalah dalam poling-poling. Setelah debat, ia berbalik unggul dari Nixon. Ini menunjukkan debat ada efeknya. Tidak hanya sekali, debat dilakukan sampai empat kali dalam periode itu. Sayangnya, setelah debat capres 1960 itu, pemilu berikutnya pada 1964, 1968, dan 1972 debat capres sempat menghilang dari pilpres AS hingga akhirnya kembali pada tahun 1976 sampai 2016 kemarin. Kenapa debat pilpres bisa absen? karena partisipasi dalam debat ini bersifat sukarela. Jika kedua kubu partai dan kadidat tidak menemukan kesepakatan, maka rencana debat batal. Kandidat pun boleh menolak tantangan debat kandidat lainnya di detik-detik terakhir.

Untuk kasus di Indonesia, tradisi debat capres ini tentu hal yang baru. Sebelum era reformasi, demokrasi masih gelap gulita. Masih semu. Walaupun ada pemilu, konon ke-jujur-an dan ke-adil-an proses pemilunya sampai meluber kemana-mana. Sehingga hasil pilpres pun sudah bisa diprediksi sebelum pemilu itu sendiri selesai. Praktis, kita baru menikmati debat Capres pada pemilu 2004, 2009, dan 2014. Untuk kemajuan ini, kita patut berterima kasih kepada Universitas Indonesia (UI) yang pada tahun 1999 sudah berani mengawali konsep debat capres ini dari kampus yang kemudian diliput oleh media televisi (SCTV) dan disiarkan ke seluruh pelosok tanah air.

Meskipun para “Capres” - (Dr Amien Rais/Ketua Umum PAN), KH Didin Hafidhuddin/Partai Keadilan), Dr Sri Bintang Pamungkas/Ketua Umum PUDI) dan Dr Yusril Ihza Mahendra/Ketua Umum PBB) - yang diundang oleh “Forum Salemba” dalam debat tersebut bukanlah benar-benar calon presiden yang resmi bertarung di Pilpres, setidaknya debat capres sebagai produk intelektual bisa dibuktikan dengan inisiatif para Intelektual di kampus UI saat itu. Tanpa inisiatif itu, mungkin kita akan perlu menunggu waktu lebih lama untuk mendewasakan dunia perpolitikan kita.

So, kamu pilih Cinta apa Milea? 😃

1 comment:

  1. MAU GANDAKAN DUIT HANYA DENGAN 10rb RUPIAH??

    DISINILAH TEMPATNYA DI P`0`K`E`R`V`1`T`A

    KEPUASAN MEMBER ADALAH PRIORITAS KAMI

    Dengan pelayanan Customer Service professional kami ONLINE 24 JAM proses Depo & WD yang cepat.

    8 PERMAINAN DALAM 1 USER ID :
    *ADU Q
    *BANDAR POKER
    *BANDAR Q
    *CAPSA SUSUN
    *DOMINO 99
    *POKER ONLINE
    *SAKONG
    *BANDAR 66 (NEW)

    Hubungi Kami :
    Contact Us Person :
    WA: 0812-2222-996
    BBM : PKRVITA1 (HURUF BESAR)
    Wechat: pokervitaofficial
    Line: vitapoker

    ReplyDelete