(Pesan dari film The Girl in The Cafe)
Suatu hari, di tahun awal millenium ke tiga, sebuah pertemuan internasional digelar di Reycjavik. Disambut oleh hujan salju dan demonstrasi ratusan orang yang datang dari berbagai negara. Kedatangan setiap wakil dari negara peserta konferensi itu pun, tak henti-hentinya mereka caci. Konon, International Summit itu dihadiri para petinggi keuangan dari delapan negara besar di dunia (G8 = Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Italia, Prancis, Rusia, Jepang, dan China). Mereka bertemu untuk membahas tentang kebijakan keuangan luar negeri masing-masing negara. Seperti konferensi-konferensi mereka sebelumnya, mereka akan membahas bagaimana cara dan kerjasama dalam memperkuat perekonomian negara mereka. Mereka yang duduk dalam pertemuan itu pula yang selama ini dikenal sebagai ”negara donor” bagi negara-negara miskin di seluruh dunia. Oleh karena itu, mereka nanti juga akan memperdebatkan prioritas agenda ekonomi, termasuk pemberian hutang, perdagangan, dan bantuan yang akan mereka bagi-bagi kepada negara-negara miskin di dua pertiga belahan bumi lainnya. Itu pun setelah mereka yakin, tidak akan ada goncangan yang berarti di negara mereka akibat ”bantuan kemanusiaan” itu. Dapat dikatakan, di mulut dan tangan kedelapan orang itulah, kendali atas ekonomi dunia berada. Konyol dan ironi memang, masa depan ratusan negara dan jutaan orang ditentukan oleh kebijakan ekonomi mereka. Tapi itulah yang terjadi.
Memasuki millenium baru, gonjang-ganjing ekonomi dunia semakin tidak menentu. Ditambah dengan kemiskinan yang luar biasa melanda Afrika dan negara-negara dunia ketiga lainnya. Faktanya, setiap hari, ada 30.000 orang mati akibat kondisi kemiskinan yang ekstrim. 15.000 anak-anak di seluruh negara miskin mati setiap harinya. Artinya, setiap 3 detik, satu anak mati kelaparan. 800 juta orang hidup dengan kurang dari 1 $ per harinya. Itu di negara-negara miskin. Tentu berbeda dengan kondisinya dengan negara-negara lain yang makmur. Di Skotlandia, hewan seperti sapi saja mendapatkan subsidi hingga 12 ribu pounds per tahun. Jika mereka manusia, mereka bisa keliling dunia memakai pesawat eksekutif dengan uang subsidi itu. Padahal, jika uang untuk subsidi sapi itu dialihkan pada yang membutuhkan, maka 150.000 ribu ibu miskin tidak akan mati sia-sia. Adalah Lawrence, salah satu anggota senior tim keuangan Inggris yang gelisah akan fakta itu. Ia sadar sepenuhnya, di depannya telah berkumpul delapan orang yang keputusannya bisa menyelamatkan jutaan nyawa itu. Jika mereka mau peduli, setidak-tidaknya, dunia akan lebih baik dalam 159 tahun ke depan, batinnya. Dia pun satu dari sedikit orang yang kemudian memboyong proposal Millenium Goals, dengan agenda utamanya, mengurangi angka kemiskinan di dunia!
Namun, apalah artinya seorang Lawrence tua, pendiam, yang hanya seorang anggota tim keuangan. Keputusan tetap di tangan para menteri ”bandit” yang menjadi atasannya. Kalaupun ngotot berjuang, dia pasti akan dipecat. Dia tidak punya banyak pilihan. Apalagi setelah melihat konferensi itu bergeser arah menjadi ajang tarik-manarik kepentingan busuk dan keserakahan ekonomi masing-masing negara. Meski mereka tahu, jutaan nyawa bisa mereka selamatkan dengan sebuah kebijakan Millenium Goals tersebut, namun mereka enggan membahasnya. Hingga seorang gadis, Gina namanya, yang menjadi teman sekamar Lawrence di hotel, berhasil masuk pada sebuah jamuan makan malam, menjelang pertemuan terakhir konferensi G 8 itu. Tak seorang pun mengira dia akan berbuat sesuatu yang membuat semua hadirin malam itu tersentak kaget. Di tengah pidato sambutan salah seorang pemimpin G 8, tiba-tiba Gina menyela gelak tawa pemimpin itu di atas podium. Dengan sikap tenang namun memendam amarah yang sangat, Gina membeberkan fakta kemiskinan di luar sana. Semua hadirin terdiam. Suasana menjadi benar-benar hening. Belum pernah ada orang, bahkan pejabat, yang berani mencela sambutan seorang menteri. ”Tik, Tik, Tik...” Ibu jari dan jari tengahnya menghitung hingga tiga kali, ”Satu anak telah mati di luar sana”, kata Gina. Kemudian Ia mengulanginya tiga kali. Semua yang ada di sana hanya diam. Diantara mereka yang masih memiliki hati nurani pun merasa malu atas pertemuan mewah yang tidak membawa perbaikan apapun bagi dunia. Sebelum Gina bicara lebih lanjut, ia telah diseret keluar oleh para penjaga keamanan. Tidak ada yang tahu, bahwa Gina hanyalah gadis biasa, yang tidak berpendidikan. Bahkan, ia baru saja keluar dari penjara. Sampai akhirnya dia bertemu Lawrence dan bisa masuk untuk ”mengacau” pertemuan penting itu.
Singkat cerita, keesokan harinya, saatnya delapan negara menentukan keputusan, proposal Millenium Development Goals itu pun disetujui, setelah melalui debat panjang yang mengharukan. Akhirnya, meski agak terlambat, mereka sadar, bahwa setiap generasi selalu melahirkan orang-orang hebat. Dan generasi ini membutuhkan orang hebat yang mampu menjadikan kemiskinan itu menjadi menjadi ”tinggal sejarah”.
Siapa tahu, Andalah orang itu !
Suatu hari, di tahun awal millenium ke tiga, sebuah pertemuan internasional digelar di Reycjavik. Disambut oleh hujan salju dan demonstrasi ratusan orang yang datang dari berbagai negara. Kedatangan setiap wakil dari negara peserta konferensi itu pun, tak henti-hentinya mereka caci. Konon, International Summit itu dihadiri para petinggi keuangan dari delapan negara besar di dunia (G8 = Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Italia, Prancis, Rusia, Jepang, dan China). Mereka bertemu untuk membahas tentang kebijakan keuangan luar negeri masing-masing negara. Seperti konferensi-konferensi mereka sebelumnya, mereka akan membahas bagaimana cara dan kerjasama dalam memperkuat perekonomian negara mereka. Mereka yang duduk dalam pertemuan itu pula yang selama ini dikenal sebagai ”negara donor” bagi negara-negara miskin di seluruh dunia. Oleh karena itu, mereka nanti juga akan memperdebatkan prioritas agenda ekonomi, termasuk pemberian hutang, perdagangan, dan bantuan yang akan mereka bagi-bagi kepada negara-negara miskin di dua pertiga belahan bumi lainnya. Itu pun setelah mereka yakin, tidak akan ada goncangan yang berarti di negara mereka akibat ”bantuan kemanusiaan” itu. Dapat dikatakan, di mulut dan tangan kedelapan orang itulah, kendali atas ekonomi dunia berada. Konyol dan ironi memang, masa depan ratusan negara dan jutaan orang ditentukan oleh kebijakan ekonomi mereka. Tapi itulah yang terjadi.
Memasuki millenium baru, gonjang-ganjing ekonomi dunia semakin tidak menentu. Ditambah dengan kemiskinan yang luar biasa melanda Afrika dan negara-negara dunia ketiga lainnya. Faktanya, setiap hari, ada 30.000 orang mati akibat kondisi kemiskinan yang ekstrim. 15.000 anak-anak di seluruh negara miskin mati setiap harinya. Artinya, setiap 3 detik, satu anak mati kelaparan. 800 juta orang hidup dengan kurang dari 1 $ per harinya. Itu di negara-negara miskin. Tentu berbeda dengan kondisinya dengan negara-negara lain yang makmur. Di Skotlandia, hewan seperti sapi saja mendapatkan subsidi hingga 12 ribu pounds per tahun. Jika mereka manusia, mereka bisa keliling dunia memakai pesawat eksekutif dengan uang subsidi itu. Padahal, jika uang untuk subsidi sapi itu dialihkan pada yang membutuhkan, maka 150.000 ribu ibu miskin tidak akan mati sia-sia. Adalah Lawrence, salah satu anggota senior tim keuangan Inggris yang gelisah akan fakta itu. Ia sadar sepenuhnya, di depannya telah berkumpul delapan orang yang keputusannya bisa menyelamatkan jutaan nyawa itu. Jika mereka mau peduli, setidak-tidaknya, dunia akan lebih baik dalam 159 tahun ke depan, batinnya. Dia pun satu dari sedikit orang yang kemudian memboyong proposal Millenium Goals, dengan agenda utamanya, mengurangi angka kemiskinan di dunia!
Namun, apalah artinya seorang Lawrence tua, pendiam, yang hanya seorang anggota tim keuangan. Keputusan tetap di tangan para menteri ”bandit” yang menjadi atasannya. Kalaupun ngotot berjuang, dia pasti akan dipecat. Dia tidak punya banyak pilihan. Apalagi setelah melihat konferensi itu bergeser arah menjadi ajang tarik-manarik kepentingan busuk dan keserakahan ekonomi masing-masing negara. Meski mereka tahu, jutaan nyawa bisa mereka selamatkan dengan sebuah kebijakan Millenium Goals tersebut, namun mereka enggan membahasnya. Hingga seorang gadis, Gina namanya, yang menjadi teman sekamar Lawrence di hotel, berhasil masuk pada sebuah jamuan makan malam, menjelang pertemuan terakhir konferensi G 8 itu. Tak seorang pun mengira dia akan berbuat sesuatu yang membuat semua hadirin malam itu tersentak kaget. Di tengah pidato sambutan salah seorang pemimpin G 8, tiba-tiba Gina menyela gelak tawa pemimpin itu di atas podium. Dengan sikap tenang namun memendam amarah yang sangat, Gina membeberkan fakta kemiskinan di luar sana. Semua hadirin terdiam. Suasana menjadi benar-benar hening. Belum pernah ada orang, bahkan pejabat, yang berani mencela sambutan seorang menteri. ”Tik, Tik, Tik...” Ibu jari dan jari tengahnya menghitung hingga tiga kali, ”Satu anak telah mati di luar sana”, kata Gina. Kemudian Ia mengulanginya tiga kali. Semua yang ada di sana hanya diam. Diantara mereka yang masih memiliki hati nurani pun merasa malu atas pertemuan mewah yang tidak membawa perbaikan apapun bagi dunia. Sebelum Gina bicara lebih lanjut, ia telah diseret keluar oleh para penjaga keamanan. Tidak ada yang tahu, bahwa Gina hanyalah gadis biasa, yang tidak berpendidikan. Bahkan, ia baru saja keluar dari penjara. Sampai akhirnya dia bertemu Lawrence dan bisa masuk untuk ”mengacau” pertemuan penting itu.
Singkat cerita, keesokan harinya, saatnya delapan negara menentukan keputusan, proposal Millenium Development Goals itu pun disetujui, setelah melalui debat panjang yang mengharukan. Akhirnya, meski agak terlambat, mereka sadar, bahwa setiap generasi selalu melahirkan orang-orang hebat. Dan generasi ini membutuhkan orang hebat yang mampu menjadikan kemiskinan itu menjadi menjadi ”tinggal sejarah”.
Siapa tahu, Andalah orang itu !
No comments:
Post a Comment