Awal tahun 2008, muncul lagi peraturan pemerintah yang menekan industri rokok. Kali ini datang dari Menteri Keuangan, melalui Permenkeu No. 134/PMK.04/2007. Isinya tentang kenaikan Tarif Cukai Rokok Hasil Tembakau per 1 Januari 2008 (Media Indonesia, 09/01/08). Bukan hanya menekan, peraturan baru tersebut juga dinilai sangat memukul industri rokok kecil di daerah. Dampak ekonominya, pabrik-pabrik rokok gurem tersebut kemungkinan besar gulung tikar. Sementara, dampak sosialnya, ribuan buruh pun telah dan sedang terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Artinya, pengangguran akan meningkat, dan masalah-masalah sosial lainnya otomatis pula akan bertambah.
Sebelum ini, Pemprov DKI bahkan juga telah mengeluarkan Perda yang melarang perokok merokok di tempat-tempat umum. Bagi mereka yang tetap bandel, bisa dikenai sanksi berupa denda uang atau kurungan. Pada awal-awal kampanye Jakarta bersih dari asap rokok ini, banyak yang terkena razia karena kedapatan merokok di tempat umum. Namun lambat laun, tidak terdengar lagi kabar tentang penegakan peraturan ini. Baik dari segi efektifitas, dampak, maupun hasil yang diperoleh. Tidak terdengar hasil evaluasinya. Dua dari sekian banyak aturan tentang rokok ini, tentu menggelitik kita untuk berefleksi. Mengapa meski peraturan tentang rokok ini begitu ketat, namun rokok tidak pernah kehilangan penggemarnya. Bahkan tetap dan semakin populer. Baik dikalangan orang dewasa, remaja, hingga anak-anak.
Bagi negara, dalam hal ini pemerintah, keberadaan industri rokok memang dilematis. Di satu sisi, industri rokok yang dimulai dari perkebunan tembakau, pabrik pelintingan dan pengemasan, hingga pemasaran produk, memberikan masukan pendapatan yang besar bagi negara. Disamping pajak, industri rokok juga telah menyediakan lapangan kerja bagi ratusan ribu penduduk. meski di sisi lain, negara juga dituntut untuk berpikir, bagaimana melindungi rakyatnya dari bahaya kesehatan akibat merokok? Maka dari itu, muncul kesan “bermuka dua” dan “setengah hati” dari pemerintah dalam menangani urusan rokok. Lalu, siapa yang lebih dibela oleh negara dalam pertarungan dilematis ini? Kesehatan masyarakat atau industri rokok?
Mungkin kita sudah begitu akrab dengan pesan bahwa : “Merokok dapat mengakibatkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin”. Namun, untuk sementara, terbukti bahwa kampanye peringatan pemerintah atas bahaya rokok tersebut tidak efektif. Artinya, pesan pemerintah itu tidak menyurutkan minat seseorang untuk tetap merokok. Penelitian FKM UI mencatat 42,5% masyarakat orang menganggap pesan itu tidak terbukti kebenarannya. Bahkan 25% lebih menyatakan tidak peduli dengan peringatan itu, karena sudah terlanjur kecanduan (Media Indonesia,09/01/08). Mengapa begitu sulit mengubah persepsi para perokok akan bahaya kesehatan akibat aktivitas merokok ini?
Padahal, jika kita telusuri, para pengusaha rokok bahkan telah dilarang untuk menampilkan gambar rokok atau orang yang sedang merokok dalam iklan produknya. Akan tetapi, larangan ini ternyata tidak menghentikan bermunculannya merk-merk rokok baru. Tekanan itu justru memacu pengusaha rokok untuk menciptakan iklan yang sangat kreatif dan inspiratif. Tengoklah jargon “Nggak ada loe nggak rame”, atau “tanya kenapa?”, dan “ kapan kawin? Enjoy aja” adalah sederet hasil kreativitas industri rokok yang begitu melekat di benak masyarakat. Penyamaran benda rokok dalam iklan, ternyata tidak menjauhkan rokok dari para penghisapnya.
Dalam film Thank You For Smoking (2001), ketika rakyat Amerika memprotes besar-besaran kehadiran rokok di tengah masyarakat, para pengusaha rokok yang memiliki uang berlimpah itu, memutar otak untuk mencari cara. Akhirnya, mereka mengalah tidak mengiklankan rokok di televisi, melainkan menyusupkan ke dalam industri film Hollywood. Caranya, mereka rela membayar mahal aktor yang bersedia melakukan adegan menghisap rokok dalam film yang mereka bintangi. Mungkin, sejak itulah kita akrab melihat cerutu dihisap bos-bos mafia atau para bintang idola dalam film-film Hollywood yang kita tonton. Meski samar-samar, tapi sosialisasi ala industri rokok seperti inilah, yang ternyata efektif melawan pesan bahaya dari pemerintah.
Dimensi Psikososial Perokok
Dalam kenyataan sosiologis, rokok besar dan dibesarkan oleh lingkungan pergaulan. Tidak hanya diperkenalkan dari mulut ke mulut, budaya merokok bahkan telah diwariskan turun menurun. Bukan hanya para pria, nenek-nenek kita jaman dahulu, selain dengan kinang sangat akrab dengan rokok. Karena budaya orang dewasa yang suka mengunyah dan menghisap sesuatu dalam mulut inilah, mungkin beberapa orang membenarkan teori Sigmund Freud tentang fase oral yang tidak sempurna di masa kecil. Kemudian, di jaman modern, tumbuh persepsi yang mengatakan bahwa rokok adalah sarana keakraban dalam pergaulan. Rokok menjadi bagian gaya hidup (life style) seseorang. Lebih dahsyat dari itu, kian hari rokok kian tidak mengenal batasan umur. Meski dengan sembunyi-sembunyi, banyak sekali anak SD atau SMP sudah pernah mencicipi rokok. Lalu, di usia SMA dan seterusnya, mereka mulai menjadi perokok aktif. Ini semua akibat dari lingkaran pergaulan dan sosialisasi di tengah masyarakat.
Betapa mudah kita menemukan kios rokok di pinggir-pinggir jalan. Anak-anak muda, khususnya yang gandrung menyaksikan konser musik, dapat dipastikan memperoleh tiket plus satu bungkus rokok dari sponsor. Kompetisi sepakbola, sebagai olah raga paling populer di dunia, di negeri ini penyelenggaraannya pun disponsori oleh perusahaan rokok! Di sepanjang jalan yang kita lalui, papan iklan dan baliho didominasi oleh merk-merk rokok terkenal. Jika demikian, bagaimana otak masyarakat kita bisa lepas dari kehadiran rokok. Padahal, kunci melawan rokok bukanlah dengan iklan yang gencar atau menakutkan (misal memasang iklan foto penderita kanker akibat merokok), melainkan bagaimana mengubah berbagai persepsi yang telah mengakar kuat tersebut?
Bagi mereka yang ingin melawan rokok, harus melakukan demitologisasi persepsi. Misalnya terhadap anggapan bahwa mebrokok membuat otak encer, mengurangi ketegangan, dan berpikir menjadi lebih lancar. Di kalangan ribuan santri tradisional di Indonesia, rokok dianggap dapat memperkuat ingatan atau hafalan. Sugesti ini diperoleh dari para senior, panutan, atau kyai mereka yang juga menggemari rokok. Selain itu, mengkonsumsi rokok dianggap tidak mempengaruhi ekonomi rumah tangga seseorang. Padahal, jika benar-benar dihitung, maka pengeluaran untuk rokok sungguh sangat signifikan. Demikian pula di sekolah-sekolah, masih ada saja guru yang tanpa berdosa merokok di depan murid-muridnya.
Untuk melawan itu semua, salah satu cara yang dapat ditempuh misalnya dengan membangun komunitas atau keluarga-keluarga anti rokok. Dari komunitas atau keluarga tersebut, diharapkan terjadi gerakan sosial yang bergelombang. Tentu ini membutuhkan kesadaran dan stimulus, baik dari negara maupun dari individu-individu. Di sisi lain, pemerintah bertugas memacu pertumbuhan ekonomi guna membuka lapangan pekerjaan yang lebih luas. Sehingga, ratusan ribu buruh linting di negeri ini, bisa memiliki alternatif pekerjaan selain dari pabrik rokok tersebut.
Tentu ini bukan persoalan sederhana. Tidak selamanya pula industri rokok itu menyebar penyakit dan merusak kesehatan. Seperti kita lihat, industri rokok juga telah menerapkan Corporate Social Responcibility (CSR), jauh-jauh hari sebelum orang-orang ramai membicarakan konsep CSR ini. Banyak beasiswa sosial, pendidikan, kesehatan, olahraga, dan lain-lain yang disumbangkan oleh industri rokok. Meskipun, persentasenya tidak sebanding dengan bahaya yang ditimbulkannya. Mungkin, pemerintah kita dapat meniru model kompromi dan kompensasi antara swasta dengan negara, seperti yang diterapkan di Eropa. Mereka memacu bidang olahraga atau kebudayaan lainnya dengan melibatkan perusahaan swasta besar, termasuk industri rokok. Setiap perusahaan yang mensponsori dan memajukan olahraga dan sebagainya, ia mendapatkan potongan pajak dari pemerintah. Dengan demikian, industri besar akan berlomba memajukan berbagai bidang, seperti olahraga, yang semula menjadi tanggung jawab negara. Maka dari itu, upaya yang harus dipikirkan bukanlah dengan menutup atau terus mencekik industri rokok. Melainkan, bagaimana mengatur semua hal dalam proporsinya yang adil. Pemerintah wajib terus menyampaikan segala informasi terkait bahaya rokok kepada masyarakat. Karena, informasi yang benar adalah hak bagi setiap warga negara.
Mengingat kesehatan adalah harta paling berharga dan tak ternilai di dunia ini, maka kurang bijak jika menyerahkan tanggung jawabnya hanya kepada pemerintah. Kita sendirilah yang wajib menjaga kesehatan pribadi dan keluarga kita. Merokok atau tidak, bukanlah sekedar pilihan. Melainkan lebih dari itu, menunjukkan seberapa besar tanggung jawab kita pada hidup dan kehidupan!
blog lo bagus bro.. numpang mampir yak...
ReplyDeletesebagai seorang perokok, aku mendukung petani tembakau dan jutaan pekerja buruh di pabrik rokok yang hidup dari rokok.