19 January 2009

GOLPUT DAN APATISME POLITIK



Yanu Endar Prasetyo

Partisipasi rakyat adalah jantung pemilu. Apa jadinya jikalau pemilu sebuah negara kurang diminati alias minim partisipasi dari warga negaranya? Apakah dengan demikian hasil pemilu menjadi kurang berwibawa dan tidak mencerminkan kehendak rakyat banyak (demokrasi)?
Belakangan, banyak pro-kontra seputar golput (golongan putih), yang maknanya merujuk kepada mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya di dalam pemilu. Ada sebagian pihak yang mengatakan bahwa golput adalah tindakan warga negara yang kurang baik. Bahkan, kelompok ini, yang sebagian besar adalah partai politik itu sendiri, sempat mengupayakan agar para tokoh agama membuat fatwa haram terhadap golput. Di pihak lain, adalah mereka yang bersikukuh bahwa memilih atau tidak memilih, menjadi golongan berwarna atau pun golongan putih, adalah hak asasi tiap warga negara. Tidak memilih adalah sebuah pilihan juga yang harus dihormati.
Dalam pandangan definisi sosial ala Weberian, setiap individu adalah makhluk sosial yang selektif. Meskipun ia digempur berbagai informasi dan persuasi, manusia tetaplah memiliki ruang untuk berefleksi sebelum menentukan pilihannya. Jika kita mengikuti pandangan ini, kita tidak perlu khawatir dengan gejala makin besarnya golput dalam pemilu legislatif dan pilpres mendatang. Sebab, apapun yang akan terjadi, meskipun seandainya golput menjadi “pemenangnya”, tetaplah mencerminkan kehendak selektif warga negara indonesia. Dengan demikian, bukan individu-individu pemilih yang harus disalahkan, melainkan mungkin yang perlu dikaji adalah bagaimana proses penyelenggaraan, sosialisasi, hingga peran para calon yang ikut bertanding? Barangkali, disanalah titik lemah persoalan yang mendorong rakyat berbondong-bondong memilih golput.
Argumentasi di atas, mungkin akan disanggah dengan pendapat yang terkadang kurang etis didengar, seperti “golput disebabkan rakyat belum melek politik”, atau “rakyat belum sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara”. Hemat saya, pendapat seperti itu adalah kesimpulan di balik meja yang cenderung menyederhanakan persoalan. Melek politik merupakan dampak dari edukasi politik yang dilakukan secara terstruktur, berkesinambungan, dan progresif. Padahal, di negara kita, edukasi politik cenderung berubah menjadi sekedar mobilisasi politik. Rakyat lebih banyak diarahkan, belum dicerahkan. Sehingga, jangan salahkan masyarakat jika kemudian mereka mengambil posisi “oposisi” terhadap apapun yang berbau politik.
Oposisi rakyat ini, merupakan bentuk resistensi yang halus dan pragmatis. Trauma politik orde baru menyebabkan rakyat masih malu-malu kucing untuk menyatakan secara terbuka bahwa dirinya adalah bagian dari golput. Sebaliknya, pragmatisme mereka tunjukkan dengan “menelan” apapun kesempatan yang menguntungkan di hadapannya. Pemilu adalah bisnis pertukaran suara yang terkadang menjadi bernilai ekonomi. Seperti paradigma Weber di atas, karena individu selektif, maka mereka menjadi punya semboyan, “apapun yang partai A dan caleg B berikan, saya terima, tapi jika saya diminta mencentang partai A atau caleg B, belum tentu”.
Golput macam itu, memang berkesan kurang bertanggung jawab. Tapi itulah yang muncul dalam realitas dan sebenarnya harus lebih diantisipasi. Sebab, itu artinya masyarakat kebablasan dan tanpa sadar mengkhianati demokrasi. Lebih jauh, dengan pola pikir pemilu adalah bisnis pertukaran, bukan perjuangan untuk memilih wakil dan keinginan diwakili, maka akan menyebar virus apatisme politik yang secara langsung akan membusukkan demokrasi. Banyak suara dari bawah yang tidak tersuarakan di pusat kekuasaan, akibat dari legislator dan pemimpin yang terpilih secara “setengah hati” dan setengah suara populasi itu.
Lima tahun adalah waktu yang relatif panjang untuk melakukan banyak kemajuan positif. Sayang sekali jika para penentu kebijakan dan pelaku perubahan itu nanti, hanya mendapatkan legitimasi yang minim dari masyarakat. Ada baiknya dari sekarang, para Caleg dan partai yang merasa dirinya mampu mewakili dan membawa perubahan, menata diri sebelum tampil di depan publik. Niatkan untuk mewakili kepentingan orang banyak, bukan sekedar untuk partai atau golongan tertentu. Masyarakat sudah jengah dengan arogansi caleg yang merasa paling hebat, paling jujur, paling bersih, dan paling pantas memimpin. Mulailah dengan hal kecil, seperti menertibkan sendiri baliho dan poster-poster kampanye Anda yang merusak keindahan jalan dan kota itu. Kalau tidak, jangan salahkan jika rakyat melawan dengan memilih golput. Artinya, apapun dan siapapun hasil pemilu, mereka tidak bertanggungjawab. Abstain!

3 comments:

  1. PESAN DARI SURGA BUAT PARA KORUPTOR
    Engkau menuliskan senandung nyanyianmu di atas wajah suci kaummu; lalu engkau membiusku dan perlahan-lahan merampas hartaku… seperti itulah yang dilakukan para koruptor…
    Demikianlah, negara ku kini menduduki peringakat 3 negara terkorup se-Asia Tenggara, dan aku lemas, lunglai tak berdaya di tengah melimpahnya kekayaan kita. Kalbuku mengerang kesakitan, ku meraung kepedihan menahan luka gores sayatan yang menggores batin ini oleh perselingkuhan orang kepercayaan.
    Dulu dalam fahamku, kau ku pilih karena kau orang yang tepat di posisimu, kau pengelola managemen dasyat dari segala kehebatan negeriku. Maka itu ku serahkan tanpa syarat semua kepadamu. Dengan maksud kita bersama-sama menyeberangi tepian bahagia menjadi bangsa bermartabat.
    Tapi kini, rencana janjimu adalah angin lalu, semua ucapan manis mu kau buang di ngarai hampa. Ketahuilah semua kepalsuan yang kau ucapkan, aku tak percaya lagi!! Aku tidak ingin bersama mu di pemilu 2009 mendatang.
    Semalam dua sebelum anggota KPK datang menjemput, aku mempersiapkan sepatah dua patah untuk kusampaikan kepadamu, namun engakau persiapan hanyalah persiapan, aku tak bisa melepas siratan hati karena penjagaan ketat garda polisi.
    Sekarang di antara persidangan hati sekalian, aku katakan kepadamu ” aku akan boikot pemilu tgl 5 april 2009, kami akan golput!!!” agar kau merasakan seperti apa luka yang kau berikan.]
    sumber:www.asyiknyaduniakita.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. MAKSUD TERSELUBUNG CALON LEGISLATIF


    Pesta demokrasi 2009, pestanya calon legislatif merebut simpati rakyat. Calon legislatif berlomba merebut garis terdepan berjanji memperbaharui kehidupan.

    Namun, tatkala pesta itu usai dan mereka terpilih, anggota dewan mulai menampakkan kekakuannya. Tujuan utama mendapatkan kekayaan sebesar-besarnya melekat benar dalam saraf ingatan anggota dewan.

    "Tiada hari tanpa korupsi " slogan wajib bagi mereka. Hidup tanpa korupsi bagaikan sayur tanpa garam atau dengan kata lain hidup tiada mengenal korupsi sama dengan mati di dalam hidup, itulah prinsip mereka. Mumpung jadi anggota dewan.

    Akhirnya kita hanya bisa diam!! diam!! diam!!


    Membawa segala penyesalan menuju alam baka.



    Sumber:www.asyiknyaduniakita.blogspot.com

    ReplyDelete
  3. boikot n golput bole2 aja...tapi, relakah kita senayan diisi oleh mereka yang "baji***n" ??? anyway, semua kembali pada kita...

    thanks 4 your comment :)

    ReplyDelete