21 January 2009
Hamil (1)
10 Desember 2008
Pagi ini, setelah mual-mual yang tak tertahankan, aku mengantarnya ke Dokter Sholih, dokter kandungan terbaik di kota ini. Perempuan yang kunikahi genap 40 hari yang lalu itu, memang sudah terlambat haid 10 hari. Sesuatu yang tidak normal. Tapi, ke tidak normalan itu mungkin akan menjadi suatu kabar yang paling membuatnya bahagia hari ini. Aku juga ikut berdebar-debar, disertai pusing kepala akibat tidur yang tidak nyenyak dua malam ini.
Sampai di tempat praktek dokter, kami antri mendaftar. Tempat praktek ini nampak nyaman dan menyenangkan. Soal rumah dokter, tidak usah ditanya, sangat megah. Tiga buah rumah - sebenarnya lebih pantas disebut gedung daripada rumah - berdiri kokoh. Satu bangunan untuk rumah utama yang berbentuk L dengan sebuah mushola di lantai atas. Satu bangunan untuk tempat praktek. Dan satu lagi, gedung di belakang yang konon katanya akan dijadikan rumah sakit bersalin oleh sang dokter. Masih dalam tahap pembangunan.
Kuambil sebuah majalah perempuan yang berserakan di samping tempat dudukku. Ku buka-buka tapi tak ada yang benar-benar kubaca. Kulihat istriku sedang gelisah di depan resepsionis. Tak lama kemudian, dia ke belakang sambil membawa mangkuk plastik kecil berwarna putih transparan. Mungkin cocok untuk menaruh es krim di atasnya. Tapi tidak, itu bukan buat es krim, tetapi untuk menaruh urin. Tes kehamilan! Batinku.
Istriku duduk di sampingku menunggu giliran. Dia tersenyum dan menyapa pasien perempuan lain di sebelahnya. Kemudian dia menatapku. Kulihat senyumnya mengembang dan matanya menuntun mataku untuk melihat selembar kartu pasien berwarna hijau yang dipegangnya. Disana ada tulisan resepsionis yang hampir tak terbaca. Tekanan darah 95/70. Cukup rendah. Istriku bilang mungkin karena kurang darah itu dia merasa pusing. Kemudian ada sebuah tanda plus yang dilingkari. Positif ! kami saling pandang. Tatapannya sungguh berarti. Alhamdulillah...suaraku lirih tak terdengar oleh siapapun.
“lihatlah burung, dia selalu membangun sangkar terlebih dahulu sebelum bertelur. Tidak pernah kita lihat burung terbang kesana-kemari menggendong telurnya. Mereka memang binatang yang tak punya akal, tapi perilakunya kadang lebih logis ketimbang kita manusia. Di Arab sana, orang berani menikah rata-rata umur 35 tahun, setelah mereka mempu membeli rumah untuk mahar sang istri. Sungguh adil bukan. Jikalau nanti suami pergi, istri dan anak tidak akan ternista, karena sudah punya tempat tinggal..”
Senyumnya tergulung. Lelaki paruh baya yang punya selera humor tinggi dan duduk di depanku sebagai dokter itu, panjang lebar bercerita. Tepatnya memberi nasehat. Aku hanya bisa mendengar, tersenyum, dan menahan tamparan demi tamparan dari ceritanya itu.
Ya, aku belum punya apa-apa. Meskipun ada pekerjaan, tapi rumah masih kontrak. Aku menyayangi istriku dan berjanji akan selalu bersamanya sampai mati, apakah itu belum cukup untuk menjadi suami dan ayah? Memang sangat cepat, terlampau muda, aku masih 23 tahun, tapi aku cukup dewasa dan berani. Apakah harus rumah? Terima kasih dokter. Dua minggu lagi kita ketemu.
Aku sayang kamu. Kukecup kening dan bibir istriku, kupeluk dengan hangat, dan kuyakinkan dalam-dalam pada hatiku, insya allah semuanya akan baik-baik saja.
(*) 15 Januari 2009
Alhamdulillah....aku telah mendapatkan “sangkar” untuk kami berteduh dan membangun keluarga. Trima kasih dok !!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
selamat bung. semoga kelak menjadi anak yang membanggakan. katanya abis jalan-jalan dari nusa tenggara. ada apa aja di sana. cerita dong....
ReplyDeletemeski terlambat...tetapi Selamat Yanu...
ReplyDeleteSemoga semuanya lancar, jadi terharu bacanya.. ;)