06 March 2009
Bahasa, Logika, dan Tafsir Agama
Oleh Yanu Endar Prasetyo
Yang tersirat dan tersurat
Memaknai sebuah kata, sama artinya dengan berlayar mengarungi kekayaan bahasa yang begitu melimpah. Maksud sesungguhnya dari sebuah kata atau kalimat, seringkali harus dicari dalam konteks kebudayaan manakah bahasa itu lahir atau digunakan? Sebab, makna dari setiap kata atau kalimat yang diucapkan lawan bicara kita, tidak selalu sama persis dengan makna harfiah kata tersebut. Bingung?
Begini ilustrasinya, suatu hari Joko mengajak pacarnya, Siti, untuk nonton konser musik di lapangan kota. Kemudian Siti membalas ajakan Joko dengan berkata, “Maaf Aku Capek Banget”. Secara otomatis, si Joko atau kita yang mendengar jawaban itu, akan mengartikan bahwa “Siti tidak mau untuk nonton konser”. Padahal, Siti tidak bilang bahwa dia tidak mau menonton konser. Makna dari apa yang dikatakan (harfiah) dengan makna yang ditangkap (maksud sebenarnya) ternyata berbeda. Artinya, jawaban Siti dengan mengatakan “capek banget” merupakan cara tidak langsung untuk mengungkapkan sebuah penolakan. Contoh lain, Dodi menyebut Nia sebagai “penyuka buku”. Kita akan maklum dan spontan mengartikan maksud Dodi sebenarnya adalah “Nia suka/rajin membaca”.
Itulah kondisi bahasa ketika masuk dalam dunia percakapan. Meskipun diakui, memang tidak selalu terjadi perbedaan arti seperti itu dalam seluruh proses percakapan. Makna suka membaca itu juga kemungkinan tidak tunggal. Bisa saja kita mengatakan bahwa Nia memang tidak suka membaca dan benar-benar menyukai buku karena dia seorang penjual buku dan mendapatkan keuntungan dari bisnis buku. Dengan demikian, konteks budaya atau sejarah tertentu menjadi penting untuk dipahami sebelum memaknai suatu ucapan.
Lebih penting dari semua itu adalah prinsip pertama dalam memaknai secara logis adalah kita harus membiasakan “mengartikan kalimat menurut makna harfiahnya, bukan makna percakapan/pergaulannya”. Dalam konteks resmi atau ilmiah, hal ini menjadi penekanan. Kebenaran sebuah bahasa adalah apabila kata yang diucapkan sama artinya dengan yang dimaksudkan. Sehingga, jika terjadi perdebatan atau perselisihan terhadap sesuatu - misalnya dalam hal menjalankan perintah, kontrak kerja, tulisan dll - maka kita bisa kembali pada makna harfiahnya. Sebab, jika kita berdebat tentang makna yang implisit atau tersirat, maka kita akan menemui perbedaan persepsi dan perdebatan tafsir yang tidak ada titik temunya.
Tafsir dan Konflik
Dari problem antara makna bahasa yang tersirat dan tersurat itu, kita akan memahami mengapa di kehidupan kita ini begitu banyak perdebatan atau pertentangan yang tak kunjung usai. Perbedaan pendapat itu kemudian dilanggengkan oleh munculnya golongan-golongan atau kelompok-kelompok fanatik yang terus bertengkar. Contoh nyata adalah lahirnya beragam sekte/aliran meskipun dalam satu payung agama yang sama. Jika mereka mau diam dan berdamai tidak masalah. Tapi, umumya mereka lebih gemar untuk saling hujat dan gugat.
Umat beragama, umumnya mempelajari dan meyakini agamanya melalui perantara “kitab suci”. Kitab suci ini merupakan sabda Tuhan yang sudah dibukukan (dikodifikasi). Sedangkan kita tahu, kitab suci umumnya tertulis dalam satu bahasa lokal kaum tertentu, seperti Ibrani, Arab, India, China, dan lain sebagainya. Dari sini, lahirlah ahli-ahli tafsir kitab suci, yang kemudian dianggap memiliki otoritas dalam menginterpretasi ayat-ayat suci tersebut.
Apa yang terjadi kemudian? logika sederhananya, ahli tafsir yang bijaksana seharusnya mengembalikan makna setiap ayat suci kepada makna harfiahnya. Namun, yang terjadi kemudian adalah banyak ahli-ahli tafsir agama (mungkin juga para penganutnya) di dunia ini, yang tidak puas jika hanya menerima makna tersirat dari sebuah ayat. Mungkin dianggap kurang “dramatis”. Sebab, agama atau sabda Tuhan, dianggap jauh melampaui logika bahasa. Anehnya lagi, kemudian muncul hukum baru bahwa “Apa yang tertulis dalam kitab suci tidak boleh dimaknai secara mentah-mentah (harfiah)”. Inilah titik berangkat konflik dari tafsir. Ketika pengambilan makna tidak lagi menggunakan makna tersurat (dengan alasan terlalu dangkal dan tidak kontekstual dengan jaman) maka yang ditemui adalah perdebatan tanpa ujung. Perkelahian yang tidak rasional. Dan perang yang – jika ditelusuri alasan pembenarannya – mungkin sangat menggelikan.
Tapi pertanyaan kritisnya, apakah jika tafsir kitab suci agama “kembali” pada makna bahasa tersurat (literal meaning) semua permasalahan yang ada akan selesai? Sepertinya tidak dan kemungkinannya teramat kecil. Alasannya, agama sudah bukan lagi sekedar soal hubungan privat antara individu dan Tuhannya. Agama lebih dari soal ibadah. Agama sudah memiliki pengaruh yang kuat dalam dimensi kehidupan manusia saat ini. Agama dibawa oleh penganut agama itu ke dalam seluruh ruang kehidupannya. Akibatnya, agama tidak hanya berkembang di tempat ibadah saja, tetapi juga di kantor, sekolah, bank, dunia pemerintahan, perdagangan, dan lain-lain. Dimanapun manusia beragama itu ada, maka agama juga eksis. Tersirat (sebagai nilai, simbol) maupun tersurat (tindakan).
Mungkin, jika tafsir agama hanya berpegang pada makna harfiah dari setiap kalimat dalam kitab suci, sepertinya kitab suci tidak akan mampu menjawab segala masalah manusia kontemporer. Bisa-bisa, kitab suci akan menjadi “teman curhat” manusia yang paling kolot. Itu artinya, agama menjadi ketinggalan jaman dan tidak berfungsi lagi bagi kehidupan. Jadi, apakah “tafsir kitab suci yang kontekstual” memang lebih dibutuhkan dan menguntungkan bagi umat beragama?
Yah, (terkadang) tafsir kitab suci Agama memang tidak selalu logis dan rasional. Bagaimana menurut anda?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletewah memang benar kalau bahasa sangat berperan signifikan dalam menafsirkan sesuatu..
ReplyDeletebeberapa artikel yang saya temukan dari beberapa sumber (nukilan buku dan internet) soal penggunaan bahasa arab dalam al-quran yang diserap ke bahasa indonesia,membuat hati ini jadi khawatir. saya setuju yan, jika bahasa harus dikembalikan ke makna 'murni'-nya.
contoh, Kata 'Din' dalam quran diartikan menjadi 'agama'. agama yang diambil dari bahasa sansekerta berasal dari 2 suku kata, yaitu 'a'(tidak/ bukan) dan 'gamma'(kekacauan/ huru-hara); jika diartikan menjadi "tidak kacau". sedangkan 'Din' sendiri bukan cuma sebatas membuat dunia 'tidak kacau' saja, bukan?
menjadi bingung meng-artikan "malikiau mid din" dalam al-fatihah. karena arti akan bergeser menjadi "penguasa hari AGAMA", padahal dalam konteks semestinya adalah "penguasa hari kebenaran/ pembuktian (hari akhir/ kiamat)"
atau 'Rob' yang diartikan 'tuhan'. masih dari sansekerta, dirunut 'tu' (kepala) 'han' (dewa). apakah 'rob' benar artinya 'kepala dewa'? sepertinya bukan..
dimana letak kesalahannya yah? karena bahasa kita mengatakan seperti itu..
(^_^) salam!
iya bro, kalo menurutku sie manusia emang bisa memperkosa bahasa kapan aja, toh dia sendiri yang nyiptain. apalagi jika perkosaan itu atas nama tafsir, akan lebih ngeri lagi..
ReplyDeletenampaknya, makin sulit mencari ahli tafsir yang bersih dan tidak bertendensi duniawi apapun...kebanyakan tokoh2 sekarang menafsirkan ayat suci disertai semangat permusuhan dengan golongan atau aliran2 lain yang berbeda dengannya...
benar-benar prihatin..
jika memang semangat permusuhan itu mengerikan,sepertinya kita sudah harus mulai mencari persamaan (absolut) untuk menghilangkan pertikaian yang buruk itu deh..
ReplyDeleteperbedaan memang rahmat,tapi pertentangan tentu lain soal,, uuhh.. sekedar curhat atas rasa rindu-nya orang awam pada 'kebenaran yang terpendam' :) hehe
Dalam suatu momen intens yang dahsyat di Gua Hira, Muhammad mengalami kehadiran ‘sesuatu’ Yang Maha Lain. Tremendum et Fascinatum melingkupi seluruh keberADAan diri.
ReplyDelete“Bacalah wahai Muhammad!!”
Gemetar dalam takjub & ngeri Sang Pencari insaf akan keterbatasan diri.
“Aku tidak bisa membaca…” Bagaimanakah keterbatasan manusia sanggup menjelaskan Yang Tak Terbatas? Mungkinkah keterbatasan bahasa mampu mengungkapkan Sang Hidup? “Aku tidak bisa membaca…” sebuah ungkapan kesadaran! Samasekali bukanlah tentang melek atau buta huruf, Namun adalah pembacaan akan Hidup, pembacaan yang melampaui teks, pembacaan dengan penekanan pada gairah total akan Hidup sebagai ‘Kebenaran Keseluruhan’ yang tak akan mungkin dibahasakan, melampaui pengetahuan & tak terjemahkan.
Membaca… adalah suatu religiositas hidup *religius berasal dari relegere (membaca ulang) & religare (menyambung kembali)* Religiositas hidup yang selalu berbenah diri, penyatuan hal yang terpisah secara terus-menerus.
Tiada pernah tercapai finalitas definisi, suatu ’Kebenaran Tunggal’ yang terlepas dari hadirnya ’Yang Lain’.
http://tomyarjunanto.wordpress.com/
BPTIKM
Dinperindag Jateng