Oleh : Yanu Endar Prasetyo
Penulis Buku “Harta Karun Bung Karno”
“Bung Karno hidup dan mati (dibunuh) berkali-kali”. Demikian barangkali
ungkapan yang tepat untuk menggambarkan bagaimana bapak proklamator, pendiri
bangsa dan salah satu pencetus ideologi Pancasila ini muncul dan tenggelam
dalam arus dinamika politik di Indonesia. Bagaimana tidak? Sejak sebelum
Indonesia merdeka hingga satu dasawarsa lebih reformasi, Bung Karno, secara
simbolik maupun ideologis tidak pernah lepas dipakai (atau dibajak?) oleh siapapun
yang ingin meniti dan memburu tangga kekuasaan. Mulai dari calon kepala desa,
calon anggota DPR hingga calon Presiden dan Wakil Presiden juga merasa harus
mewarisi seluruh atau sebagian dari diri, sikap dan cita-cita Sukarno sebagai
“jualan” mereka. Ini tentu sesuatu yang membanggakan, karena berarti bangsa ini
tidak pernah lupa akan sejarah. “Jas Merah” Bung Karno selalu dipakai. Namun
ini juga akan nampak sangat absurd dan paradoks, manakala mereka yang merasa
berhak mewarisi Sukarno ini, pada saat yang sama, juga mengkhianati mimpi-mimpi
Bung Karno itu sendiri. Disinilah bung karno dihidupkan sekaligus dimatikan
berkali-kali.
Coba kita tengok perhelatan Pilpres yang mengiringi hari-hari kita saat
ini. Bagaimana kedua kubu Capres dan Cawapres, Prabowo-Hatta dan Jokowi-Jusuf
Kalla, berusaha untuk menunjukkan kepada publik bahwa mereka yang paling dekat,
paling sah dan bahkan paling mirip dengan Sukarno. Cara berpakaian Sukarno
(berpeci hitam, berbaju putih dengan dua kantong saku diatas) ditiru, cara
berpidato Sukarno yang berapi-api ditiru, pidato dan propaganda politik di
depan ribuan massa a la Sukarno juga
ditiru. Bahkan, untuk membangkitkan imajinasi terhadap Sukarno, gagasan-gagasan
besar seperti Trisakti, Nasionalisasi Aset, Pro Marhaen (wong cilik, petani dan
nelayan) juga diusung seolah-olah mereka baru lahir kemarin setelah Bung Karno
wafat. Seolah-olah, mereka yang juga nyata-nyata menjadi bagian dari Orde Baru
yang dulunya sangat jijik dan anti mendengar kata Sukarno pun merasa tidak
punya dosa untuk mematut-matut diri sebagai pewaris Bapak Revolusi tersebut. Beruntung,
rakyat Indonesia sebagian besar berjiwa pemaaf dan pelupa, sehingga mereka
dengan santai melenggang tanpa dosa.
Jika kita cermati lebih dalam arah pergaulan dunia saat ini, bisa jadi
pasangan Capres dan Cawapres yang pada hari minggu (1/6/2014) kemarin telah
mendapatkan nomor urut, termasuk kurang jeli dalam menampilkan diri dan
kedirian kita sebagai sebuah Bangsa yang besar di era kekinian. Mereka terjebak
(atau dengan sengaja) justru menghanyutkan diri dalam romantisme sejarah
kebesaran masa lalu. Sejarah menunjukkan, bagaimana Sukarno muda menyikapi
perubahan pasca perang dunia ke II (yang kemudian menghasilkan revolusi
kemerdekaan) dan bagaimana Sukarno Tua menyikapi perubahan ketika perang antara
liberalisme dan komunisme berada pada puncak klimaksnya (Bung Karno tetap
konsisten dengan gagasan Nasakom-nya dan menolak liberalisme/anti-barat). Saat
itu, dengan keputusan-keputusan politik yang berani melawan arus, bangsa
Indonesia sangat disegani dalam percaturan Geopolitik Internasional. Tetapi
bagaimana dengan sekarang? Neoliberalisme (sebagai musuh ideologis utama Bung
Karno) nyata-nyata telah menjadi penguasa tunggal dan bahkan “agama” yang bukan
saja menguasai, tetapi juga diamini oleh NKRI.
Tak berapa lama lagi kita akan “menikmati” pasar bebas di Asean dan
beberapa negara lain yang telah tertuang dalam perjanjian bilateral maupun
multilateral. Konsekuensi dari keikutsertaan bangsa Indonesia dalam pasar bebas
ini adalah kita membiarkan berbagai kebijakan pro-liberalisme diterapkan.
Bayangkan saja akan ada banyak sekolah, mulai dari TK hingga perguruan tinggi
milik asing yang akan masuk ke Indonesia. Bukan hanya sekolahnya, bahkan
guru-gurunya pun bebas untuk bekerja dan mengajar di Indonesia. Apakah kita
siap? Bukan itu saja, akan banyak rumah sakit (beserta tenaga medisnya), yang
akan membuka praktek di Indonesia. Bagaimana nasib lembaga dan tenaga kerja
dalam negeri? Mereka atau kita harus bersedia di sertifikasi! Apakah kita mampu
bersaing? Bukan itu saja, subsidi BBM, subsidi Pupuk harus dihapuskan, karena
negara harus memberi kebebasan kepada investor dari negara lain untuk masuk ke
dalam pasar dalam negeri. Bagaimana dengan barang impor? Itu sudah pasti, lebih
banyak dan lebih murah! Inilah kondisi yang akan kita hadapi. Mengerikan bukan?
Bisa jadi ungkapan Bung Karno bahwa kita akan menjadi koeli di negeri tidaklah
berlebihan manakalan bangsa ini tidak siap dengan agama neolib ini.
Beranikah kedua capres dan cawapres ini melawan neo-liberalisme yang
kadung menjerat leher bangsa ini? Bukan hanya mengadopsi penampilan lahiriah
Sukarno, tetapi juga mewarisi darah ideologi Sukarno yang anti neolib.
Beranikah kedua pasang Capres-Cawapres ini menunjukkan wibawa bahwa bangsa ini
tidak bisa diatur seenaknya oleh korporasi-korporasi besar (para imam
neoliberalisme) dalam mengeruk isi perut Nusantara yang kaya dan melupakan
kesejahteraan 250 juta penduduknya ini? Bukan hanya memaparkan visi misi yang
jauh dari akar permasalahan sebenarnya. Beranikah para Capres-Cawapres ini
menolak hutang luar negeri sebagaimana Bung Karno dulu mengatakan “go to hell with your aid” kepada
Amerika? Beranikah para Capres-Cawapres ini mendeklarasikan diri sebagai pembela
kaum marhaen dan wong cilik dalam arti sebenarnya? Dimana itu berarti harus
mengarahkan mata pisau kepada para mitra koalisi dan kerjasama-nya sendiri yang
tidak lain adalah para komprador kapitalis dan cukong-cukong penghisap darah
rakyat dan para pekerja. Beranikah Prabowo dan Jokowi?
Jika mereka tidak berani, maka sebaiknya abaikan saja simbol-simbol yang
melekat atau dilekatkan dalam diri mereka. Acuhkan saja pencitraan semu dan
kosmetika keberpihakan yang hanya dirancang sebagai strategi marketing untuk
meraih simpati publik. Negara ini membutuhkan pemimpin sejati yang memahami
kondisi hari ini dan mampu membawa kita keluar dari berbagai persoalan bangsa.
Kunci dari semua itu adalah keberanian pemimpin tersebut untuk melawan arus
Neo-liberalisme. Tanpa itu semua mimpi tentang “Indonesia Macan Asia”,
“Indonesia Hebat” atau yang lainnya hanya akan menjadi isapan jempol belaka.
Sekali lagi, konteks kesenjangan yang terjadi di negeri ini (antara yang kaya
dan miskin, kota dan desa, Indonesia timur dan barat, darat dan laut) bukanlah
sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Itu adalah buah dari kegagalan bangsa
ini, terutama para pemimpinnya, dalam mencari dan menyatukan jati dirinya
sebagai sebuah bangsa yang besar, sehingga tanpa kita sadari kita hanya menjadi
penonton, sekali lagi : penonton! di negeri kita sendiri. Kita tunggu adakah
dari kedua pasang calon pemimpin negeri ini yang benar-benar seorang
Neo-Sukarnoisme? Syukur-syukur jika keduanya mau dan mampu.
Pasundan Ekspres, 2 Juni 2014
Ketika Sang Guru mendengar bahwa hutan cedar sebelah telah terbakar, ia mengerahkan seluruh muridnya.
ReplyDelete“Kita harus menanam kembali pohon-pohon cedar,” katanya.
“Pohon cedar?” teriak murid tidak percaya.
“Tapi pohon-pohon itu membutuhkan waktu 2.000 tahun untuk tumbuh besar!”
“Oleh sebab itulah,” kata Sang Guru,
“tak boleh ada satu menit pun terbuang. Kita harus segera mulai.”