Oleh : Yanu Endar Prasetyo,
dimuat di Inilah Koran (8/7/2014)
Salah satu faktor yang menyebabkan pemilihan presiden RI tahun 2014 ini terasa memanas adalah kuatnya peran propaganda politik media. Media massa yang seharusnya menjadi sarana informasi publik yang netral, objektif dan independen, justru berlomba menjadi corong kampanye bagi kedua pasang kandidat Capres dan Cawapres. Media yang seharusnya menjadi pilar penegak demokrasi, justru ramai-ramai “membunuh” demokrasi itu sendiri dengan munculnya media fitnah seperti tabloid Obor Rakyat. Hampir semua media terbelah sesuai dengan afiliasi politik pemilik modalnya, baik itu secara tersamar maupun secara kasar. Publik dibuat bingung dalam menyaring demikian banyak informasi yang jauh dari prinsip berimbang. Meskipun sebenarnya, memang demikianlah sifat asli dari industri media itu sendiri. Banyak kepentingan, kecil atau pun besar, yang mampu menembus dan menyandera meja redaksi yang seharusnya sakral itu. Lantas, bagaimana wajah media-media ini pasca pesta Pilpres nanti?
Kontestasi dua pasang calon dalam memperebutkan kursi RI
I ini telah membelah media massa, baik cetak maupun elektronik, ke dalam dua
pilihan saja, mendukung salah satu kandidat atau tetap netral. Opsi pertama
tentu sangat dipengaruhi dengan manuver elit politik yang tidak lain adalah
pemilik media tersebut. Ketika elit politik tersebut merapat pada salah satu
pasang calon, tentu jaringan media yang dimilikinya menjadi alat bergaining dalam pemberian dukungan
tersebut. Dengan satu komando maka seluruh jaringan media itu bisa menjadi alat
propaganda yang massif. Sedangkan opsi kedua mungkin lebih dipengaruhi aspek
pragmatisme bahwa dengan bersikap netral mereka tetap aman dan mampu menjaga
kedekatan dengan kedua kubu yang bersaing. Tapi sulit sekali mencari media yang
memilih opsi kedua ini. Sebab pada dasarnya media adalah salah satu industri
paling kapitalis yang sulit untuk tidak tergoda pada tawaran modal.
Oleh karena itu, langkah pertama ketika politisi berebut
kursi kekuasaan biasanya adalah dengan mencoba “membeli” media yang ada dengan
berbagai strategi dan cara. Di sisi lain, momentum politik seperti pemilu ini
adalah musim panen bagi media-media yang mengandalkan iklan sebagai pemasukan
utamanya. Klop sudah. Pertanyaan
selanjutnya adalah ketika presiden dan wakil presiden terpilih setelah 9 juli
nanti, apakah otomatis kita akan memiliki media pro-pemerintah (berisi
media-media yang ada di gerbong pendukung pemenang Pilpres) dan media oposisi
(berisi media yang ada di gerbong yang kalah)? Jika ini terjadi, kita bisa
membayangkan betapa tidak sehat informasi yang akan kita terima setiap hari.
Bayangkan bagaimana ketika sebuah media pro-pemerintah yang terus menerus
menyiarkan kebaikan dan keberhasilan penguasa tanpa sedikit pun memberi ruang
kritisi. Sebaliknya, media yang anti-pemerintah alias oposisi akan setiap hari
menyorot dan menyerang tanpa ampun kelemahan atau kegagalan-kegagalan penguasa.
Sudah siapkah kita dengan suasana seperti itu? Sudah dewasakah masyarakat kita
berdemokrasi dalam kepungan media yang menjadi alat kekuasaan?
Tentu akan sulit membayangkan jika sebagian besar media
yang ditonton dan dibaca masyarakat setiap hari itu tidak memberikan informasi
yang sesuai fakta. Jangankan untuk jangka waktu yang panjang, dalam proses
kampanye yang pendek kemarin saja masyarakat menjadi sangat mudah terprovokasi
dengan isu-isu dari media. Mereka yang semula berteman tiba-tiba bermusuhan
dikarenakan berbagai informasi yang tidak proporsional terkait kandidat yang
mereka dukung. Potret polarisasi dalam masyarakat ini nampak jelas di dunia
maya atau di media sosial seperti facebook,
twitter, blog, youtube, path dan lain sebagainya. Banyak sekali postingan
dari akun-akun di media sosial yang mengutip informasi sesat dari media yang
tidak netral dan berujung pada saling hujat, caci maki dan fitnah-fitnah yang
meracuni pikiran masyarakat.
Suasana tidak saling percaya, saling curiga atau
kehilangan trust menjadi demikian
lebar satu sama lain. Insiden penyerangan kantor berita salah satu stasiun televisi
swasta (2/7/14) oleh simpatisan partai menjadi puncaknya
Tentu kondisi ini tidak hanya mengancam terjadinya
konflik antar individu atau kelompok, lebih besar dari itu adalah mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa. Disinilah peran penting media yang seharusnya dijalankan,
bukan sebaliknya malah menciptakan disintegritas baru di tengah masyarakat.
Kita rindu media yang turut mencerdaskan bangsa ini
dengan keberpihakannya kepada kepentingan publik. Sejatinya tanggung jawab
media tidak hanya kepada pemilik modal, tetapi lebih besar dari itu adalah
kepada seluruh pembaca dan pemirsanya serta kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kita
butuh media yang menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dan elemen-elemen
dasar jurnalisme secara konsisten. Media yang mampu menjadi pilar demokrasi
dengan menyuarakan orang-orang atau golongan lemah yang tidak mampu bersuara
lantang atau terbungkam mesin kekuasaan. Media yang anti diskriminasi dan tidak
ikut-ikutan menindas kaum minoritas. Kita rindu media yang memayungi publik
dengan komunikasi yang sejuk dan turut menenun benang nasionalisme dalam
berbagai bungkus kebhinekaan yang menarik dan up to date.
Namun, Idealisme memang seringkali harus bertarung keras
dengan kepentingan modal dan politik. Butuh banyak pengorbanan dalam
pertarungan tersebut. Tapi disinilah para pemilik dan awak media kita diuji.
Apakah mereka rela hanya sekedar menjadi alat kekuasaan atau berani memilih
menjadi pengawal demokrasi untuk kehidupan bangsa yang lebih bermartabat?
Indonesia bisa bangkit, Indonesia bisa hebat hanya jikalau media sebagai sumber
informasi publik terus mengedepankan akal sehat ketimbang kepentingan sesaat.
Semoga pasca Pilpres nanti media kita tidak terjebak atau berlarut-larut
menjadi alat politik dan kekuasaan, tetapi betul-betul menjadi saluran publik
yang mencerdaskan.
No comments:
Post a Comment