“Reason has always
existed, but not always in a reasonable form.”
(Karl Marx, 1843)[3]
A. Jati Diri Sarjana Sosiologi
Mempelajari ilmu tentang masyarakat (sosiologi) merupakan proses kompleks
dan dinamis antara pengenalan terhadap “diri”[4]
(ke dalam) dan pemahaman terhadap “lingkungan” (ke luar) sekaligus. Sejalan
dengan pemikiran G.H. Mead tentang makna diri
tersebut, penulis meyakini bahwa kelompok sosial selalu muncul terlebih dahulu
sebelum kemudian lahir individu yang bisa berpikir dan sadar diri. Ada proses auto-refleksi
terhadap hakekat ke-diri-an kita
sebagai bagian dari sebuah komunitas yang dinamis, sekaligus proses
pembelajaran dalam memotret fenomena sosial diluar diri dengan penalaran dan analisa yang kritis. Ibarat seorang
fotografer, semakin Ia memahami karakter kamera dan lensa yang dipakainya, maka
akan semakin bagus hasil bidikannya. Semakin tinggi jam terbang memotretnya,
maka semakin peka sang fotografer itu terhadap aspek pencahayaan, obyek, dan
sudut pandang yang harus diambil untuk menghasilkan karya seni yang berkelas.
Pun halnya dengan kita sebagai individu maupuan sebagai seorang sarjana
sosiologi.
Pemahaman tentang hakekat diri sebagai
bagian dari kebudayaan yang lebih luas penting untuk diresapi sebagai jalan
keterbukaan hati dan pikiran sebagai modal awal mempelajari sosiologi. Karena
kita tidak sedang menghidupkan teori-teori di rak-rak buku perpustakaan
sosiologi belaka, tetapi justru untuk
terus-menerus menambah koleksi teori dan buku-buku baru tentang masyarakat
terkini. Kita tidak sedang menguji Marx, Weber, Durkheim dengan segala grand theory turunannya untuk disebut
belajar sosiologi, tetapi kita sedang menguji pemahaman diri kita sendiri yang
memiliki akar kultural dan pengalaman historis yang berbeda dengan siapa pun di
dunia ini. Siapa pun kita dapat memberikan kontribusi bagi “the body of knowledge” ini melalui
pemahaman sosiologi yang tak hanya kuat secara literer namun juga kaya secara
empirik.
“Diri”
adalah instrumen utama dalam setiap aktivitas intelektual yang kita jalani. Subyektifitas
dan objektivitas, netralitas dan keberpihakan seorang sarjana sosiologi
terhadap fenomena yang diamati atau peristiwa yang digeluti, tergantung pada
kedalamannya memahami diri dan keterampilannya memberikan jarak dengan presisi
yang tepat. Ibarat termometer yang hanya mampu mengukur suhu dengan optimal
apabila diletakkan pada titik tertentu yang tepat. Diri kita juga akan mampu melakukan pengamatan, menuangkan
analisis, menyajikan opini dan menarik kesimpulan dengan benar apabila berada
pada posisi yang tepat layaknya termometer. Oleh karena itu, diri harus selalu siap dalam melakukan
pengukuran, karena yang kita ukur adalah “suhu” masyarakat yang terus-menerus
bergerak dan berubah.
Kapasitas seorang “diri” yang berlabel “sarjana sosiologi” tentu memiliki
kepekaan tersendiri terhadap fenomena sosial jika dibandingkan dengan mereka
yang bukan sarjana sosiologi. Bisa jadi Ia lebih peka atau malah sebaliknya.
Tidak menjamin sarjana sosiologi mampu menjadi “termometer” yang andal jika
tidak pernah diasah dalam berbagai field
work di bidangnya. Namun kenyataannya, kerja lapangan sosiologi yang
dimaksud nampaknya sering berbeda dengan kerja penghidupan yang sebenarnya. Sebab
lainnya, menurut hemat penulis, [kuliah] sosiologi memang bukan untuk
menciptakan kaum pekerja, melainkan kaum pemikir. Sosiologi bukan bengkel
keterampilan kasar, tetapi bengkel penalaran yang mengajak kita berpikir logis
dan komprehensif. Meskipun faktanya, ternyata tidak semua sarjana sosiologi secara
linier terus berkutat dalam dunia pemikiran ilmu sosial [lihat gambar no 1].
Fakta beragamnya profesi tersebut dapat dianalisa dari berbagai sudut pandang,
salah satunya bermakna bahwa kontribusi sarjana sosiologi saat ini sudah cukup
diterima secara luas dalam berbagai bidang kehidupan.
Gambar No 1. Profesi/Karir/Pekerjaan saat ini (2015) dari Alumni/Sarjana Sosiologi
FISIP UNS Angkatan Tahun 2003[5].
“UFO” = Unidentified Flying Object = alumni
yang belum terdeteksi keberadaanya
Dari contoh kecil potret sarjana sosiologi di atas, maka penting untuk
menekankan relasi antara proses penemuan eksistensi diri seorang sarjana sosiologi dengan perannya dalam praktik
kesehariannya dalam bermasayarakat. Dengan demikian, lebih mudah bagi kita
untuk menjawab pertanyaan : “apa
sebenarnya peran sarjana sosiologi dalam kehidupan bermasyarakat? Apa
manfaatnya belajar sosiologi” dan pertanyaan-pertanyaan lainnya seputar
karir sarjana sosiologi di Indonesia. Jika mengambil ilustrasi dari beragam profesi
sarjana sosiologi Fisip UNS Angkatan 2003 di atas, maka kita melihat 40%
diantaranya bekerja di sektor privat (swasta). Dari 40% lulusan sosiologi yang
bekerja di sektor swasta ini, jika dirinci lebih dalam lagi sebenarnya cakupan
bidang perusahaan/instansi yang diikuti juga sangat beragam, mulai dari
maskapai penerbangan, sekolah internasional, sekolah luar biasa, perusahaan
farmasi, perusahaan komputer, kapal pesiar, bimbingan belajar dan lain
sebagainya.
Fakta di atas tentu dapat menghasilkan beberapa analisa yang menarik
mengapa banyak sarjana sosiologi yang “memilih” atau “terpaksa” terjun ke dunia
swasta bersaing dengan sarjana-sarjana bidang ilmu lainnya? Tentu saja dengan kompetisi yang tak kalah
sengit bila dibandingkan dengan kompetisi mereka untuk menjadi PNS (22,86%).
Memang di Indonesia sudah menjadi fenomena yang “umum” manakala bidang ilmu
yang ditekuni berbeda sama sekali dengan pekerjaan atau karir yang dititi.
Namun pasti ada penjelasan yang lebih memuaskan dibanding hanya sekedar “nasib”
atau “takdir”. Salah satu latar belakang yang bisa penulis
utarakan adalah ternyata jejaring individu, ketertarikan “diri” pada bidang tertentu, dukungan keluarga/orang-orang dekat,
akses informasi, dan ketersediaan/peluang eksternal menjadi faktor-faktor
pendorong dan penarik individu dalam memilih karir dan pekerjaannya. Faktor
lainnya tentu masih sangat banyak dan bisa kita diskusikan lebih lanjut.
B. Manfaat Belajar Sosiologi
Berdasarkan hasil survei kecil terhadap para sarjana sosiologi FISIP UNS
angkatan 2003 di atas, penulis mencoba melakukan eksplorasi terkait “manfaat”
belajar sosiologi. Pada akhirnya, penulis sampai pada satu kesimpulan bahwa
manfaat belajar sosiologi adalah hampir tidak
terbatas dalam praktik[6]-nya.
Bahkan sangat sulit untuk sekedar dibuat ruang lingkupnya. Saat mengurai
perjalanan karir satu orang sarjana sosiologi saja, kita akan mendapatkan
cerita yang demikian panjang dan menarik untuk menjadi bahan penelitian
tersendiri. Bahkan pengalaman individual semacam itu juga bisa menjadi kajian
kompleksitas karena memang dibalik sesuatu yang nampaknya sederhana [individu],
sealu tersimpan kerumitan/kompleksitas yang membentuknya. Tugas sarjana
sosiologi salah satunya adalah membuat fenomena yang rumit tersebut menjadi
lebih sederhana untuk dipahami dan dimengerti.
Dalam rangka “penyederhanaan” itulah, maka penulis berusaha melakukan
refleksi diri terhadap apa yang penulis alami dan rasakan manfaatnya ketika
belajar sosiologi. Meskipun bisa jadi sangat berbeda dengan rekan alumni
lainnya, setidaknya sedikit dari sekian banyak manfaat belajar sosiologi yang
penulis rasakan dapat dicontohkan ke dalam beberapa hal sebagai berikut :
1. Belajar/Praktik Pengorganisasian Individu/Komunitas/Massa
Salah satu faktor
penting yang dituntut dalam karir penulis sebagai peneliti sosiologi pedesaan
sekaligus sebagai pengelola/manajemen di institusi tempat bekerja saat ini adalah
bagaimana “mendamaikan” antara pekerjaan riset-fungsional dengan pekerjaan
administratif-struktural, utamanya dalam kegiatan diseminasi dan kerja sama.
Dua hal tersebut sama sekali tidak dapat dipisahkan dalam birokrasi penelitian,
tetapi seringkali justru saling menghambat. Belum lagi dengan berbagai kegiatan
pengorganisasian yang dilakukan secara independen di luar tugas-tugas
formal-institusional, sebagai wujud keberpihakan dan kepedulian pada
masalah-masalah sosial tertentu, seperti dampak industrilasiasi, buruh
perempuan, kerusakan lingkungan, pendataan budaya dan lain sebagainya. Dalam
prakteknya, kajian-kajian tentang power (kekuasaan),
authority (kewenangan), perilaku
organisasi, dan lain sebagainya menjadi sangat bermanfaat sebagai modal
memasuki arena pengorganisasian ini, terutama dalam menunjang kemampuan
memetakan peran para aktor, aturan main organisasi, pemilihan metode persuasi
yang tepat hingga penanganan konflik yang terjadi. Karena ternyata di dunia
kerja/kehidupan nyata kemampuan semacam inilah yang jauh lebih penting untuk
dikuasai ketimbang keterampilan teknis pada umumnya.
2. Belajar/Praktik Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Salah satu tugas utama
di tempat penulis bekerja adalah bagaimana menjembatani antara penyedia
teknologi tepat guna[7]
(provider) dengan penggunanya (user). Mayoritas pengguna teknologi
tepat guna saat ini adalah mereka yang berada di pedesaan. Tujuan pemanfaatan
teknologi tersebut adalah untuk pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) atau untuk peningkatan pendapatan masyarakat (income generating activities). Dalam
konteks semacam ini, maka penulis merasa beruntung pernah belajar sosiologi
dengan beragam cabang-cabang kajiannya (sosiologi agama, pedesaan, perkotaan,
politik, organisasi, dll). Meskipun diperoleh dengan sekilas tanpa pendalaman
yang serius, setidaknya semua wawasan itu menjadi bekal penting dalam praktek
pemberdayaan masyarakat melalui pemanfaatan teknologi tepat guna tersebut. Dari
berbagai pengalaman pemberdayaan ekonomi di beberapa wilayah (Subang, Belu,
Praya, Enrekang, dll) menunjukkan bahwa pemahaman yang komprehensif terhadap
kelompok/ komunitas/masyarakat yang sedang didampingi adalah kunci penerimaan
terhadap kita. Meskipun kita masuk dengan barang yang sama (teknologi) dan
dengan tujuan yang sama pula (peningkatan pendapatan), namun kita bisa masuk
dan diterima dengan cara yang berbeda, misalnya melalui tokoh agama, lembaga
adat, organisasi koperasi, atau lembaga dan personal lainnya yang kita anggap
memiliki daya ungkit yang optimal. Pada titik kritis pemberdayaan inilah,
pemahaman sosiologi bisa memimpin dalam pengambilan keputusan.
3. Belajar/Praktik Berjejaring
Semakin luas kita
membuka jejaring dengan dunia luar, maka semakin terasa manfaat belajar
sosiologi. Tidak semua bisa tergambarkan dengan contoh nyata yang baik, tetapi
akan sangat terasa bahwa untuk mendapatkan sari pati suatu ilmu adalah dengan
mempraktekkannya. Lalu bagaimana mempraktekkan sosiologi, salah satunya adalah
dengan belajar membangun jejaring. Bisa dimulai dari minat kita, misalnya
berjejaring dengan media atau komunitas penulis kalau kita hobi menulis,
berjejaring dengan banyak organisasi kalau kita seorang aktivis, menjadi
anggota asosiasi atau himpunan kalau kita ingin mengasah kepemimpinan,
berjejaring dengan grassroots kalau
kita menaruh keberpihakan pada mereka, dan seterusnya. Semakin lihai seorang
sarjana sosiologi dalam membuka dan masuk ke dalam jaringan tertentu, maka akan
semakin mudah semua urusannya dapat diselesaikan. Prinsip ini juga berlaku
untuk sarjana manapun, tetapi akan jauh lebih tepat bila seorang sarjana
sosiologi memahami arti pentingnya jejaring ini sedini mungkin. Pada kemampuan
berjejaring inilah daya saing kita diukur sebagai pemerhati sosial.
4. Belajar/Praktik Berpikir Kritis dan Bersuara Lewat Tulisan
Tidak ada memang mata
kuliah khusus yang menjadikan seorang sarjana sosiologi pandai menulis. Namun kemampuan
berekspresi melalui bahasa tulis sangat penting untuk dikuasai, khususnya bagi
mereka yang masih menekuni dunia pemikiran atau pergerakan. Sebab, kunci agar
pemikiran tetap langgeng salah satunya adalah melalui tulisan. Apalagi di era social media seperti saat ini, akan
sangat bermanfaat bila gagasan dan pemikiran tersebut dituangkan dalam tulisan,
sehingga dengan mudah akan di-broadcast,
di-share, di-like, atau di-read oleh
publik yang tak terbatas jumlahnya. Apalagi jika sarjana sosiologi juga
memiliki penguasaan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya dengan baik, maka
akan semakin mudah dalam penyebarluasan gagasan, pemikiran, kritik, dan
upaya-upaya mempengaruhi opini publik lainnya. Artinya, pemahaman sosiologi
yang kita miliki akan jauh lebih bermanfaat ketika ia bisa dituliskan dan
dibaca oleh publik. Ada baiknya memang keterampilan menulis dan bahasa ini
menjadi prioritas “bekal” yang diberikan oleh jurusan sosiologi kepada para
mahasiswanya, disamping penguasaan teori dan metodologi ilmu sosial. Hal ini
sejalan dengan pesan Al Ghazali yang termahsyur itu : “Jika engkau bukan anak raja atau anak ulama besar, maka menulislah”
5. Belajar/Praktik Berkespresi dengan Seni
Bahasa lain yang sangat
berdekatan dengan sosiologi - menurut pengalaman penulis - adalah bahasa seni.
Media tulis mungkin terbatas dalam ruang lingkup atau segmen pembaca tertentu,
misalnya hanya mereka yang mengerti bahasa indonesia, inggris, ilmiah,
pelanggan koran, dan seterusnya. Namun dunia seni memiliki segmen “pembaca”
yang jauh lebih universal. Dengan wawasan dan pemahaman kita terhadap isu-isu
sosial tertentu, akan memudahkan kita untuk berkolaborasi dengan para seniman
dalam menuangkan gagasan tertentu lewat karya seni, baik itu film, dokumenter,
fotografi, seni instalasi, seni panggung, teater, dan lain sebagainya. Dengan
keluasan dan keleluasaan perspektif a la
sosiologi serta pengalaman lapangan sosial yang kaya, tentu akan bermanfaat
dalam memancing lahirnya ide-ide kreatif berikutnya. Disinilah peran seorang
sarjana sosiologi juga penting dalam menghasilkan karya seni yang sarat akan
pesan-pesan moral, sindiran, refleksi, kritik, ironi, dan bahkan sekedar
promosi atau propaganda untuk penyadaran publik terhadap isu-isu tertentu. Bagi
anda yang memang berminat menekuni dunia aktivis atau gerakan sosial lainnya,
rajin-rajinlah berkolaborasi dengan para seniman untuk mendukung aktivitas
serta gerakan yang sedang Anda perjuangkan.
C. Sarjana Sosiologi dan Karir dalam Dunia Penelitian
Trend dunia penelitian global
saat ini bergerak ke arah multidisiplin ilmu. Artinya, peluang untuk meniti
karir dalam dunia riset dengan latar belakang ilmu apa pun sesungguhnya masih
terbuka sangat luas, termasuk bagi para sarjana sosiologi. Berbeda dengan karir
dalam birokrasi atau bidang profesi lainnya, karir dalam dunia penelitian
memiliki jalur, aturan main, pengakuan dan pencapaiannya tersendiri. Inilah
yang harus dipahami dengan baik sebelum memutuskan untuk terjun menekuni dunia
dengan kepakaran peneliti ini, baik di Indonesia maupun secara internasional.
Salah satu yang harus dipahami dalam karir peneliti adalah tentang
bagaimana seseorang bisa diakui sebagai seorang peneliti di bidangnya. Tentu
saja bukan hanya latar belakang pendidikan yang harus disandangnya, melainkan
juga pencapaian-pencapaian tertentu yang dianggap “bernilai” tinggi bagi
kalangan komunitas ilmiah itu sendiri. Sebagai contoh sesuatu yang bisa disebut
sebagai capaian yang harus dihasilkan oleh seorang peneliti misalnya :
publikasi ilmiah di jurnal internasional yang terindex global (scopus, elsevier, procedia, dll),
publikasi ilmiah dalam prosiding seminar-seminar internasional dan nasional,
karya tulis ilmiah dalam bentuk buku yang diterbitkan oleh penerbit
internasional maupun nasional, paten, lisensi, dan lain sebagainya.
Secara sederhana kita dapat membagi karir peneliti di Indonesia ini ke
dalam dua jalur, peneliti formal (pemerintah) dan “peneliti non-pemerintah”.
Peneliti diluar pemerintah ini berarti mereka yang bekerja sebagai peneliti
dalam berbagai lembaga riset milik swasta, organisasi, institut atau lembaga
profit dan non-profit, internasional dan nasional lainnya. Standar kualifikasi,
sertifikasi dan karir peneliti non-pemerintah ini berbeda-beda tergantung
bagaimana lembaga tempat mereka bernaung mengaturnya.
Sementara “peneliti pemerintah“ adalah mereka yang bekerja di lembaga
penelitian milik pemerintah maupun pemerintah daerah yang keberadaannya diatur
oleh peraturan yang berlaku di negara/lembaga tersebut. Misalnya para peneliti
yang berada di LIPI, BATAN, LAPAN, BPPT, BIG, BSN, dan Lembaga-Lembaga Litbang
di Kementrian teknis maupun Balitbangda di daerah-daerah serta para peneliti di
Perguruan Tinggi/Universitas. Luaran dan
capaian seorang peneliti pemerintah tersebut kemudian secara “birokratis”
dibuat jenjang-jenjang kepakaran/jabatan dan penilaian dengan standar tertentu.
Dari sinilah kemudian kita mengenal gelar peneliti pertama, muda, madya, utama
dan Profesor Riset.
Gambar No 2. Ilustrasi Jenjang
Jabatan Fungsional Peneliti.
Sumber : Perka LIPI No 5 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis JFP
Dengan melihat kekhasan dunia karir peneliti tersebut, maka hendaknya
sarjana sosiologi yang berminat secara serius menekuni dunia penelitian sudah
mempersiapkan visi risetnya jauh-jauh hari. Membuka jejaring, memperbanyak magang
penelitian, dan membangun kontak serta relasi dengan para peneliti profesional,
baik pemerintah maupun non-pemerintah, untuk menimba ilmu dan pengalaman.
Dengan memperkaya field work semacam
itu sejak dini, maka ke-diri-an
seorang sarjana sosiologi akan makin terasah dan memiliki ciri khas dan kompetensi
riset yang jelas.
Kesimpulan
Karir seorang sarjana sosiologi salah satunya ditentukan oleh bagaimana mereka
membentuk dan memperkuat kapasitas “diri”(self)-nya. Eksistensi diri Kita tak lain adalah dengan siapa
kita bergaul? buku apa yang kita baca? film apa yang kita tonton? dan
seterusnya. Belajar sosiologi memberikan kesempatan bagi kita untuk memperkaya
wawasan seluas mungkin, belajar berjejaring sebanyak mungkin, hingga pada
akhirnya kita memiliki kemampuan dalam memetakan potensi dan masalah dimana pun
kita berkarir. Kesadaran bahwa setiap dunia kerja memiliki karakteristiknya
yang unik (misalnya karir di dunia penelitian) maka penting bagi seorang
sarjana sosiologi untuk memahami kekhasan tersebut jauh-jauh hari sebelum
memutuskan terjun ke dalamnya. Dengan demikian diharapkan proses adaptasi akan
menjadi lebih mudah, lancar dan cepat.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kepada
seluruh rekan-rekan alumni sosiologi Fisip UNS, khususnya angkatan 2003, juga
kepada Dr. Ahmad Zuber, S.Sos. DEA (Kepala Prodi Sosiologi FISP UNS), Dr.
Drajat Tri Kartono, M.Si (Ketua Panitia) serta Bapak/Ibu Dosen, Seluruh Civitas
dan panitia HIMASOS yang telah menyelenggarakan seminar dalam rangka Dies
Natalies ini dengan baik.
[4] Pemahanan tentang Diri
(self) dari G. H. Mead ; “Diri adalah
kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sebuah obyek sekaligus subyek. Diri muncul dan berkembang melalui
aktivitas dan hubungan sosial. Mustahil diri
muncul tanpa pengalaman sosial. Diri
juga berhubungan secara dialektis dengan pikiran, karena tubuh bukan diri dan baru akan menjadi diri jika pikiran telah berkembang”
(Ritzer & Goodman, 2010:280-281)
[5] Survei kecil ini tidak
dimaksudkan untuk melakukan generalisasi melainkan hanya untuk memberikan
ilustrasi dan pengayaan pada makalah ini sebagai bahan diskusi.
[6] prak·tik n 1
pelaksanaan secara nyata apa yg disebut dl teori: teorinya
mudah, tetapi -- nya sukar; 2 pelaksanaan pekerjaan (tt
dokter, pengacara, dsb): -- dokter dibuka mulai pukul
15.00; 3 perbuatan menerapkan teori (keyakinan dsb);
pelaksanaan: aturan itu menemui kesukaran dl -- nya;
sumber : http://kbbi.web.id/praktik
[7] Teknologi Tepat Guna
(TTG) menurut Inpres No 3 Tahun 2001 adalah “teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dapat menjawab
permasalahan masyarakat, tidak merusak lingkungan, dapat dimanfaatkan dan
dipelihara oleh masyarakat secara mudah, serta menghasilkan nilai tambah dari
aspek ekonomi dan aspek lingkungan”
No comments:
Post a Comment