Oleh
: Yanu Endar Prasetyo
Social Engineer
Pasundan Ekspres, 26 September 2015
Pasundan Ekspres, 26 September 2015
Ini adalah persoalan bagaimana mengemas identitas sebuah
kota atau kabupaten. Seperti yang dikemukakan dalam hasil penelitian oleh Efe
Sevin (2014) bahwa place branding atau city
branding merupakan sebuah jaringan sosial dan komunikasi semantik sekaligus
yang mengeksplorasi hubungan antara kota, orang-orang dan pesan yang ingin
disampaikan. Identitas semacam ini penting karena secara tidak langsung akan
mendorong pemilik identitas (warga) untuk mengidentifikasikan bagaimana ia
harus berpikir, bersikap, berperilaku hingga ke alam bawah sadarnya. Sebagai
contoh jika seseorang tinggal di sebuah kota yang berlabel kota santri, maka
tindak tanduknya, cara berpakaian, adat kebiasaannya akan menyesuaikan dengan nilai
dan norma ideal layaknya seorang santri. Atau misalnya penduduk di Pulau Dewata
Bali yang dikenal sebagai destinasi wisata kelas dunia, maka ia akan
mengidentifikasikan dirinya juga sebagai warga global yang siap berjumpa dengan
wisatawan dari seluruh belahan dunia. Tidak perlu jauh-jauh, Bandung misalnya
yang terkenal sebagai Paris van Java,
tentu spirit sebagai trend center
dunia fashion, hiburan, kuliner dan
wisata belanja lainnya terasa kental di segenap jantung kota Bandung. Orang pun
tahu dan sadar apa saja yang akan dilakukannya ketika berkunjung ke kota
Bandung. What to see, what to do and what
to buy? Komplit.
Pun sebaliknya, ketika sebuah kota dikemas sebagai kota
judi dan prostitusi, bisa dibayangkan tentu perilaku warga dan para
pendatangnya tak akan jauh dari dunia itu. Ambil contoh yang paling sering kita
tonton di film-film seperti Las Vegas di Amerika atau Macau. Sebuah kota yang
sengaja dicitrakan sebagai “surga dunia”. Surabaya dulu mendunia salah satunya
juga karena ada Dolly, lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Tapi kini di
tangan Walikota Tri Rismaharini, Dolly ditutup dan Surabaya dikemas ulang
dengan menyulap banyak sudut-sudut kota menjadi ruang terbuka hijau yang indah
dan nyaman. Sungai-sungai dibersihkan. Surabaya menjadi kota metropolitan yang
jauh lebih indah, bersih dan nyaman. Ia berbenah dan pelan tapi pasti berusaha
menghapus jejak sebagai kota prostitusi. Itulah kenapa city branding itu penting, bahkan teramat penting untuk dilupakan oleh
para pemimpin.
Lalu, bagaimana dengan Subang? Ingin dikenal sebagai apa
kabupaten Subang? Sementara ini banyak pendatang dan orang luar subang mengenal
Subang sebagai kota nanas. Simadu, salah satu jenis nanas yang berhasil
mengatrol diferensiasi nanas khas subang. Kita juga sudah memiliki icon patung nanas di pertigaan Kecamatan
Jalan Cagak yang baru saja direnovasi. Apakah itu saja cukup untuk sebuah city branding? tentu tidak. Perlu
dicatat bahwa Kabupaten Subang memiliki potensi yang membentang dari Pesisir
Utara sampai dengan sebagian Gunung Tangkuban Perahu di selatan. Jika dikemas
sebagai ATM (Agro, Tourism & Marine)
maka nanas hanya sebagian kecil saja dari potensi hebat tersebut. Bahkan di
pesisir utara - dengan Pamanukan sebagai jantung ekonominya - akan segera
terwujud Pelabuhan Nusantara yang mungkin akan mengubah setting dan perwajahan Kabupaten Subang dalam sepuluh tahun ke
depan. Kita juga dilalui Tol Cipali yang membelah Kabupaten Subang dari Barat
ke Timur.
Apakah branding
kabupaten Subang akan dibiarkan mengalir begitu saja tanpa sedikit pun rekayasa
sosial yang diciptakan? Boleh saja, tapi jangan menyesal jika kelak pada
akhirnya Subang hanya menjadi sebuah kota yang sering dilewati, tapi jarang
disinggahi. Jangan salahkan siapa pun jika tetiba Subang menjadi kota industri
yang dihiasi dengan keruwetan, kepengapan, kepadatan dan kemacetan di setiap
sudutnya. Karena sebuah kota yang tak memiliki identitas ibarat bayi tumbuh
tanpa cita-cita, tak tahu harus berjalan kemana?
Profil Wisatawan
Untuk menyusun sebuah city
branding, Pemerintah tidak bisa membuat semaunya sendiri. Sebab, city branding ini harus sebesar-besarnya
menjadi milik warga.. Ia harus mampu mengkompilasi aspek historis, filosofis,
sosiologis dan ekonomis sekaligus dalam satu paket. Harus menjual namun tak
melupakan akar sejarahnya. Harus dimengerti oleh orang luar sekaligus bisa
dibanggakan oleh orang dalam. Kalau tidak, ia akan gagal dikampanyekan Contohnya
Surakarta atau Solo ketika menyusun city
branding-nya sebagai “the spirit of
Java” atau Purwakarta ketika slogan sebagai kota budaya demikian kuat
dilekatkan dalam berbagai ikon dan event atau festival yang dihelat sangat
massif. Strategi yang ditempuh bisa saja dari atas dengan profil bupati atau
walikota yang melekatkan branding
tersebut pada diri dan kebijakannya. Atau bisa juga dengan partisipasi terbuka
warga untuk menyusunnya, misalnya dengan perlombaan logo city branding, penyusunan naskah akademik oleh perguruan tinggi
lokal, dan event-event lainnya untuk menjaring aspirasi warga.
Dalam menyusun city
branding tentu tidak boleh lepas dari kepentingan stake holder pariwisata. Sebab mereka yang akan berada di baris
paling depan untuk mensosialisasikannya. Data profil wisatawan yang ada saat
ini mutlak diperlukan. Siapakah gerangan para wisatawan yang berkunjung atau
menginap di Subang? Darimana asalnya? Apa tujuan utamanya? Kemana? Apa saja
yang mereka cari? Dimana pusat-pusat kunjungan dan titik potensial yang mungkin
berkembang? Berapa kapasitas kamar untuk menampung secara ideal? Bagaimana
membuat mereka bermalam dan membelanjakan lebih banyak uang? Dan seterusnya.
Profil wisatawan ini sangat penting untuk disajikan sebagai basis penentuan
prioritas pengembangan turisme sebagai hilir atau pasar dari produk-produk agro dan marine yang akan dikembangkan sebagai produk unggulan di Kabupaten
Subang. Beras Subang, misalnya. Tanpa city
branding maka tidak akan teirdentifikasi dan terencana dengan baik rantai
pasok bahan baku, proses, pengemasan hingga pemasaran sebuah produk lokal,
utamanya produk-produk UMKM. Dengan demikian, city branding pada akhirnya menjadi pengungkit utama bagi tumbuh
kembangnya produk unggulan daerah itu sendiri.
Sebagai penutup provokasi ini, ada tiga peribahasa atau
falsafah hidup masyarakat Sunda yang telah ada saat ini dan dapat menjadi modal
dasar bagi pengembangan city branding,
pertama, pindah cai pindah tampian.
Artinya dengan city branding kita
ingin para pendatang dari mana pun bisa menghormati dan menyesuaikan diri
dengan norma dan nilai yang berlaku pada masyarakat Subang. Jangan sampai
kehadiran mereka justru merusak tata nilai tersebut. Kedua, someah hade ka semah. Artinya, kita
ingin warga subang tetap menjadi entitas yang terbuka, menerima berbagai
perbedaan, toleran dan ramah terhadap para tamu di tanah Subang. Ketiga, jati ulah kasilih ku junti. Artinya,
dengan city branding yang tepat kita
ingin Subang tetap bisa tumbuh maju secara fisik dan ekonomi tanpa kehilangan
jati diri, akar sejarah dan budayanya sendiri. Mari kita dorong pemerintah
untuk memulai, kalau tidak sekarang, kapan lagi?
No comments:
Post a Comment