Yanu Endar
Prasetyo
Tim Relawan
Pengkaji Informasi Publik (TRPIP)
Entah sengaja diundang atau tidak, kehadiran Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai “tamu” di Kabupaten Subang memang cukup
mengagetkan berbagai kalangan. Bagaimana tidak, tak tanggung-tanggung, pucuk
pimpinan alias orang nomor satu di Kabupaten Subang langsung resmi mengenakan
rompi oranye KPK. Tragedi ini bak petir di siang bolong, sebab peristiwa ini
terjadi tepat di ujung rangkaian pesta Ulang Tahun Kabupaten Subang ke 68 yang
berlangsung sangat meriah dengan berbagai pemecahan rekor MURI. Meskipun
menurut pandangan sebagian kalangan, tersangkutnya bupati dalam kasus korupsi
di Kabupaten Subang bukanlah hal baru. Dua Kepala Daerah sebelumnya (Maman
Yudia dan Eep Hidayat) juga pernah lengser akibat tersandung kasus korupsi. Pertanyaannya,
mengapa kasus seperti ini bisa terulang kembali? Tidakkah muncul efek jera dan
pembelajaran dari kasus-kasus sebelumnya?
Pembusukan Birokrasi
Pembusukan Birokrasi
Penyelenggaraan pemerintahan daerah memang bukan semata tanggung jawab Bupati, melainkan seluruh unsur dan komponen organisasi di dalamnya. Mulai dari level eselon II sampai ke tingkat Desa/Kelurahan dan bahkan RT/RW. Meskipun, kendali utama tetap berada di tangan kepala daerah. Secara sederhana, pemerintahan bisa diibaratkan organ tubuh, jika salah satu bagian sakit, maka akan mempengaruhi bagian-bagian tubuh lainnya. Terlebih jika otak – sebagai pusat koordinasi – itu juga sakit, maka seluruh organ tubuh lainnya tidak akan bisa bekerja dengan optimal. Berulangnya kasus Bupati Subang yang terjerat korupsi tentu saja menjadi indikasi bahwa “badan” dan “organ-organ” pemerintah Kabupaten Subang memang mengidap suatu penyakit parah yang tidak lekas disembuhkan. Akibatnya sering kambuh dan nyaris koma.
Ditambah, “dokter” yang seharusnya mengawasi kinerja
tubuh pemerintahan – para wakil rakyat di legislatif – ternyata juga tidak
maksimal dalam bekerja. Bahkan “dokter spesialis” penyakit tertentu – Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), Ormas, OKP, Media dll – bukannya menyembuhkan dengan
berbagai peringatan, Ia justru ikut menggerogoti tubuh hingga penyakit tersebut
menjadi semacam kutukan dan lingkaran setan yang tak berkesudahan. Lengkap
sudah derita rakyat Subang ketika organisasi pemerintahan tidak sehat. Pelayanan
publik terbengkalai. Infrastruktur babak belur. Korupsi menurun, bukan
jumlahnya melainkan menurun sampai ke level pelayanan publik terendah
sekalipun. Suap menyuap menjadi budaya. Para pejabat berlomba memperkaya diri
dan mengacuhkan kepentingan publik. Mengutamakan kepentingan pribadi di atas
kepentingan umum pun mendarah daging. Pembusukan birokrasi ini terus menerus
diwariskan hingga siapa pun kepala daerahnya akan ikut terjebak. Kecuali,
lekas-lekas pembusukan ini diamputasi!
Semangat Subang Baru
Tanpa perlu menuding satu kelompok atau rezim
tertentu yang harus disalahkan, siapa pun pemimpin Subang berikutnya harus
waspada dan mulai bangkit dari kesakitan. Dimulai dari keinginan yang kuat (political will) untuk berubah. Ketegasan
dan keberanian untuk mengamputasi atau memutus rantai korupsi harus dimulai
dari kepala daerah itu sendiri. Tanpa pembenahan radikal pada pusat koordinasi,
maka perubahan yang terjadi hanya semu belaka. Bahkan bisa jadi akan
melanjutkan kisah kelam akibat sandera politik dan hukum yang tak berkesudahan.
Hari ini dan ke depan bukan lagi masa untuk pencitraan sebagai pemimpin yang
bersih melainkan masa-masa pembuktian. Meskipun mayoritas publik Subang
cenderung tenang dan “diam”, bukan berarti mereka tidak memperhatikan polah
tingkah para pemimpinnya. Pada saatnya, sikap muak masyarakat ini akan
ditunjukkan dengan sikap yang semakin apatis dan apolitis yang massif dan pada akhirnya
akan dibayar mahal pula oleh para politisi dan pemerintah sebagai akibat dari
rendahnya partisipasi publik serta biaya politik transaksional yang semakin
tinggi.
Semangat untuk membenahi birokrasi ini, baik secara
kultural maupun struktural, menjadi kunci bagi pembenahan menyeluruh terhadap
penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Subang. Revolusi mental aparatus
birokrasi mendapatkan relevansinya bagi kondisi Subang hari ini. Revolusi
mental tidak akan terjadi tanpa keteladanan. Untuk melahirkan keteladanan,
diperlukan kemauan yang kuat dan dukungan berbagai pihak. Di rumah, di sekolah,
di kantor, di komunitas, di pasar dan di setiap ruang publik memerlukan
keteladanan untuk berubah. Creative
minority yang mampu bergerak secara vertikal (elit dan massa) merupakan
agen potensial untuk membawa perubahan ke arah Subang Baru, yaitu Subang yang
lebih bersih, transparan, adil dan berpihak pada kepentingan publik. Visi
Subang baru harus menjadi mantra yang terus dihembuskan di setiap lapisan. Para
intelektual, akademisi, rohaniwan dan tokoh-tokoh masyarakat harus ikut turun
tangan menyebarluaskan semangat perubahan ke arah Subang baru yang lebih baik.
Sebab, melawan kejahatan dan pembusukan birokrasi –
apa pun bentuknya – harus dilakukan oleh semua lapisan peran secara simultan.
Apabila tidak mampu dilakukan dengan “tangan”, maka lakukan dengan “lisan”. Jika
masih tidak mampu, setidaknya tolaklah dengan “hati”. Tangan bisa kita analogikan dengan kebijakan penguasa yang bisa
mengatur kepentingan bersama. Komitmen kepala daerah sebagai penyelenggara dan
pelayan publik. Lisan bisa kita
analogikan sebagai unsur cendekia, da’i, pendakwah, ulama, guru, dosen, aktivis,
media dan lain sebagainya yang bisa mengingatkan pemerintah dengan corong
suaranya bila ia menyimpang dari amanat yang diberikan. Sementara hati bisa kita analogikan dengan peran masyarakat
akar rumput yang seringkali hanya bisa berharap, menonton dan meniru dari belakang.
Jika semua lapisan peran ini memiliki persepsi yang sama tentang Subang baru
yang lebih baik, maka bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan Subang
bisa menjadi Kabupaten terdepan di Jawa Barat dengan segala potensi strategis
yang dimiliknya.
No comments:
Post a Comment