OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development) baru
saja merilis sebuah laporan tentang tren pemanfaatan internet di kalangan
pelajar. Penelitian ini membandingkan data dari 63 negara angggota OECD. Salah
satu tujuannya adalah untuk melihat perbedaan akses dan pola pemanfaatan
internet di kalangan pelajar saat ini dilihat dari faktor latar belakang sosial
ekonomi mereka. Menariknya, hasil penelitian tersebut menunjukkan dua fakta
penting. Pertama, soal “gap” atau kesenjangan digital (digital divide) yang masih harus
dihadapi oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia yang menduduki peringkat
kedua paling tinggi setelah Vietnam dalam hal kesenjangan akses terhadap
internet antara pelajar dari keluarga miskin dan kaya.
Hal ini bisa dimengerti, sebab
penetrasi internet terhadap populasi penduduk di Indonesia memang masih relatif
rendah. Data yang dirilis oleh we are social
global report pada januari 2016 menunjukkan
pengguna internet aktif di Indonesia baru pada kisaran 34% dan pengguna media
sosial aktif sebesar 30% dari total penduduk yang ada. Meskipun, di sisi lain
pengguna yang terkoneksi dengan mobile
phone justru melebihi total populasi penduduk (126%). Sementara itu,
negara-negara yang dinilai paling baik dalam mengatasi masalah kesenjangan
akses internet antara pelajar miskin dan kaya adalah Denmark, Islandia dan
Finlandia. Beberapa negara di Asia yang cukup rendah kesenjangannya adalah
Hongkong-China, Macau-China, Singapura dan Taiwan.
Kedua, fakta bahwa ketika akses terhadap
internet sudah diperoleh, ternyata pelajar dari keluarga yang miskin cenderung
memanfaatkan internet untuk hal-hal yang kurang produktif. Sebagai contoh,
waktu yang dihabiskan pelajar miskin untuk bermain video game online, baik sendirian maupun berkelompok, lebih lama
dari pelajar yang berlatar belakang keluarga mampu. Rata-rata frekuensi mereka
bermain video game juga lebih panjang
dibanding aktivitas membaca berita atau pengetahuan lain dari internet. Pelajar
berlatar ekonomi mapan cenderung lebih terarah dalam memanfaatkan internet
untuk menunjang pengetahuan dan mendukung pendidikan mereka.
Apa yang menarik dari fakta ini?
Tentu saja hasil riset ini kembali mengingatkan kita bahwa akses terhadap
informasi masih menjadi masalah di negeri kita, baik dari sisi jangkauan
horizontal (coverage areas),
jangkauan vertikal (social stratification)
maupun dalam hal edukasi pemanfaatannya (learning
and education). Jika dilihat lebih dalam, sejatinya masalah ini tidak hanya
terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Negara maju seperti Amerika
Serikat juga masih mengalami masalah yang sama, meskipun dengan kadar
kesenjangan yang jauh lebih rendah. Data yang dirilis oleh Council of
Economic Advisers Issue Brief (2015) menunjukkan kesenjangan digital masih
terjadi di Amerika Serikat, terutama yang menimpa sebagian masyarakat pedesaan,
penduduk berusia tua, dan warga yang kurang berpendidikan serta berpendapatan
rendah.
Namun demikian, fokus mereka
sudah pada peningkatan kualitas akses, yakni mengurangi keterbatasan pilihan dan
peningkatan kualitas kecepatan jaringan. Secara umum, akses internet di negeri
Paman Sam ini baru bisa menjangkau 74,4% dari seluruh rumah tangga yang
disurvey oleh American Community Survey (ACS) tahun 2013. Uniknya, jika dilihat dari
kategori rasial, maka rumah tangga dengan kepala keluarga Asia adalah yang
paling tinggi koneksinya terhadap internet (86,6%), disusul kulit putih
(77,4%), hispanik (66,7%), kulit hitam (61,3%) dan paling rendah justru native
american itu sendiri (58,2%). Potret ini sekilas menunjukkan bahwa bangsa
Asia di Amerika memang dikenal melek dan jago terhadap teknologi, khususnya
internet. Oleh karena itu, kita harus mulai menyadari dan bergerak agar
pembangunan saat ini dan ke depan selayaknya difokuskan pada pengurangan
kesenjangan digital ini. Dengan pemerataan akses internet dan informasi, bukan
tidak mungkin akan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan
daya saing bangsa kita di dunia.
Mulai dari Persepsi
Faktor penyebab kesenjangan
digital ini memang harus diakui sangat kompleks. Mulai dari ketimpangan
pembangunan fisik (infrastruktur, jaringan, energi, listrik), faktor budaya
(penguasaan bahasa, ketimpangan gender), faktor ekonomi (pendapatan), faktor
geografis (daerah terpencil, pegunungan, kepulauan), aspek sumber daya manusia
(tingkat pendidikan, literasi, keterampilan), sampai dengan faktor relevansi
konten internet dengan kebutuhan atau pekejaan sehari-hari. Perlu terobosan
yang dilakukan di tingkat nasional, regional, lokal bahkan hingga voluntarisme
di akar rumput (grassroots) untuk bersama-sama melawan kesenjangan
digital ini, baik dari sisi akses, kualitas maupun edukasi penggunanya.
Banyak teori dan pengalaman di
negara maju yang memberikan solusi untuk mengatasi kesenjangan digital pada
semua level. Jika diringkas, intinya terletak pada pentingnya meningkatkan
kapasitas “AAE” (Access, Ablity & Empowerment) terhadap internet.
Peningkatan kapasitas AAE secara beriringan diyakini akan mampu mengurangi digital
divide ini. Tidak cukup hanya dengan akses dan peningkatan keterampilan
atau penguasaan internet saja, sebab seperti ditunjukkan oleh hasil riset OECD
di atas, tanpa pemberdayaan dan edukasi yang terarah kemungkinan penyalahgunaan
internet justru semakin terbuka lebar. Mereka yang seharusnya tertolong dengan
adanya internet, misalnya untuk peningkatan pemasaran produk, pendidikan,
pengetahuan, inovasi teknologi dan lain sebagainya, justru kurang mendapatkan
manfaat dan keuntungan yang berarti.
Lebih dalam lagi, apa yang
penting disasar dalam pemberdayaan ini sejatinya adalah persepsi pengguna
terhadap apa itu internet dan bagaimana mendapatkan keuntungan darinya? Sebuah
ilustrasi, mengapa anak-anak lebih cepat menguasai internet dibandingkan dengan
orang dewasa atau orang tua? salah satunya adalah soal persepsi. Anak-anak
mempersepsikan internet atau komputer sebagai suatu permainan yang menarik dan
menantang bagi mereka. Sebaliknya, sebagian guru atau orang tua memandang
internet dan komputer sebagai sesuatu yang asing dan sulit untuk dikuasai.
Persepsi ini menyebabkan gap dalam kecepatan penguasaan. Padahal,
kesempatan (opportunity) terhadap akses internet sudah relatif sama.
Oleh karena itu, ketika persepsi yang terbangun berbeda, maka hasilnya pun akan
berbeda. Persepsi menciptakan realitas itu sendiri.
Setelah memahami problem ketimpangan
persepsi, maka tantangan selanjutnya adalah pemberdayaan publik dalam soal
literasi digital (digital literacy) dan demokrasi digital (digital democracy). Mengapa ini penting?
sebab peluang yang sama untuk bersuara dan berpendapat dalam era e-demokrasi
seperti saat ini perlu dibarengi dengan kesiapan dan kedewasaan berdemokrasi. Contoh
sederhana, saat ini beredar banyak meme di sosial media soal “ketik amin dan share”
atau membanjirnya berbagai informasi berisi propaganda SARA, pornografi,
kekerasan, fitnah dan bullying misalnya, yang menunjukkan perilaku
negatif para pengguna media sosial di internet.
Ini menunjukkan bahwa tanpa ada peningkatan
kapasitas pengguna internet maka teknologi ini menjadi sesuatu yang useless,
membodohkan dan memecah belah masyarakat dalam jagat virtual (virtual sphere). Para tokoh publik yang memiliki banyak pengikut di
dunia maya wajib berkontribusi dan menjadi agen pencerahan dalam edukasi dan
peningkatan kedewasaan berdemokrasi bagi pengikutnya. Oleh karena itu, melalui
formula AAE ini diharapkan mampu membongkar persepsi dan menumbuhkan literasi
publik serta mendewasakan e-demokrasi sehingga mendorong lahirnya beragam pengetahuan,
inovasi dan kreativitas ekonomi serta penguatan pendidikan demokrasi yang
ujungnya berdampak langsung pada peningkatan kualitas hidup yang lebih beradab,
adil dan merata. Semoga Bangsa kita bisa sampai kesana.
sumber foto/gambar : disini
No comments:
Post a Comment