Chicago O'Hara International Airport merupakan bandara yang besar dan sibuk. Bahkan untuk penerbangan domestiknya. Di terminal 1, saya melihat desain bandara yang sebenarnya sangat simpel. Jalan di dalamnya tidak begitu membingungkan, karena hanya ada beberapa sayap dan setiap sayap yang berisi ruang tunggu itu berisi hal-hal yang kurang lebih sama. Ada toko buku dan majalah, mini market, meja dan kursi untuk free internet (tapi yang ini sedang gangguan pada saat saya coba) atau sekedar mengisi ulang HP dan Laptop, ada juga televisi menghadap kursi ruang tunggu, coffee shop, money changer dan tentu saja rest room alias toilet.
Penerbangan dari Chicago ke St. Louis, Missouri baru akan berangkat pada malam sekitar pukul 22.Ternyata, itu penerbangan terakhir. Jadi, diperkirakan saya akan sampai di St. Louis sekitar pukul 00 dini hari. Saya hanya bisa berdoa akan ada tempat yang safe untuk istirahat atau merebahkan badan di st. Louis nanti. Saya tengok jam di HP, masih banyak waktu sekitar 4 - 5 jam ke depan. Saya pun mengisinya dengan jalan bolak-balik nggak jelas. Mencari sesuatu yang kira-kira halal untuk dimakan. Tapi saya ingat saya hanya bawa pecahan 100 dollar, tentu jumlah yang besar untuk sekedar membeli permen atau roti. Celingak-celinguk tidak ada sesuatu yang pas betul untuk dibeli. Yasudahlah, akhirnya saya hanya duduk-duduk, baca majalah dan main hp hingga tiba waktu pesawat berangkat.
Waktu sudah pukul sepuluh malam, kios-kios satu per satu sudah tutup dan pekerjanya pulang. Ruang tunggu yang tadi ramai berubah menjadi sepi. Saya tengok sekeliling hanya tinggal belasan orang, termasuk saya. Kemudian petugas memanggil dan meminta kami memasuki pesawat. "Akhirnya..." batin saya lega. Kami pun masuk ke dalam pesawat yang ternyata sebuah pesawat kecil dengan hanya 4 kursi setiap barisnya, dua di kanan dan dua di kiri. Belum pernah saya naik pesawat sekecil ini. Kursi penumpang tidak penuh, hanya terisi setengahnya kurang. Pramugarinya pun sudah ibu-ibu paruh baya. Sangat senior. Lengkap sudah malam ini, penerbangan terakhir, dengan pesawat kecil dan ditemani pramugari sepuh. Bismillah, semoga selamat sampai tujuan. Doa saya.
Tak terasa, pesawat landing juga di St. Louis. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga. Eh, belum. Masalah belum usai. Saya belum sampai. Jarak antara St. Louis ke Columbia, kota tujuan saya, masih 2 jam lagi perjalanan darat! Saat paling genting untuk memutuskan : saya harus menunggu dimana untuk perjalanan besok? apakah di bandara atau menginap di hotel? kalau menginap di hotel, hotel apa dan dimana? kebetulan tiket bus untuk ke Columbia sudah dibantu dibelikan oleh Mas Medhy Hidayat, mahasiswa indonesia yang telah berbaik hati memberikan saya banyak informasi dan bersedia menalangi dulu beberapa keperluan saya untuk pesan bus dan juga pesan apartemen. Beliau adalah dosen di Universitas Trunojoyo, Madura dan akan segera mengakhiri PhD nya di Mizzou desember ini. Kita doakan semoga beliau diberi kelancaran (amiiin)
Dan...benar saja, bandara tengah malam begini ternyata sepi! lebih sepi dari bandara Chicago tadi. Hanya tinggal satu dua orang petugas kebersihan yang hilir mudik. Setelah mengambil bagasi, saya pun bergegas untuk bertanya pada salah satu tukang sapu bagaimana menemukan kendaraan untuk ke hotel terdekat. Dia bilang ada bus di pintu luar, silakan kesana. Meskipun kurang jelas dengan maksudnya, saya pun menuju pintu keluar dan mencari shelter bus yang dimaksud. Saya sempat bertanya pada beberapa orang di luar untuk memastikan bahwa arah jalan saya tidak salah. Setelah berjalan sekitar 300 meter, akhirnya nampak juga tanda bergambar bus...fiuhh...tepat di depan penanda itu, sebuah bus tua bertuliskan "marriot hotel" sedang nongkrong. Tak ada satu pun penumpang. Lalu saya beranikan bertanya, "saya mau menginap di hotel marriot, bisa diantar kesana". Lelaki tua, tinggi, dan berkulit putih pun turun dari kursi sopir dan mengangkat dua koper besar saya. "mari saya antar ke hotel Marriot. Kamu mau hotel di downtown apa di dalam bandara?" tanya nya " di dalam bandara!" jawab saya mantab.
Singkat cerita, akhirnya saya check in tengah malam di hotel marriot di dalam area bandara St. Louis dan berhasil meluruskan kaki dan badan di kasur yang empuk. Jangan tanya harganya...saya selalu mual kalau mengingatnya! hehehe
Tidur....zzzzz....
Keesokan harinya.....tanpa ada ayam berkokok, saya bangun untuk sholat subuh dan mandi.
Sebab jam 8 pagi harus sudah berangkat dengan Ezgo Bus, yang tiketnya sudah dipesankan oleh mas Medhy. Kembali ke air port St. Louis, saya mengobrol dan bertanya pada sopir bus marriot yang ramah. Saya nanya, dimana saya bisa menemukan shuttle bus Ezgo? "Aha, gampang itu, nanti kita ke exit 15 di terminal 2". Oke sip. Tenang sudah, Turun saya di exit 15 terminal dua. Saya cek lagi di catatan saya, benar bahwa ezgo ada di situ juga, selain di terminal satu. Saya beri tip pada sang sopir. Gembira sekali dia menerima tip dari saya. Saya pun menunggu dengan khusyuk.
Jam 8.
Jam 8.30
jam 9.00
Duh perut saya mules lagi, belum sembuh efek kemarin.
tapi ezgo belum juga nampak.
Jam 9.15
sudah tidak kuat lagi...saya masuk ke dalam bandara untuk mencari destinasi kesayangan : toilet!
Nah, jadi nyambung lagi nih dengan tema toilet, tapi ini hal lain dan penting, adalah tentang bentuk dan cara penggunaan toilet di bandara yang berbeda dengan yang biasa kita temui di Indonesia. Bagi yang baru pertama kali bepergian ke Amerika jangan sampai katrok seperti saya ya, setidaknya setelah membaca blog ini hehe...jadi, toilet disini semuaya memakai sensor badan Baik untuk buang air kecil maupun buang air besar. Jadi tidak ada tuas atau sesuatu yang bisa dipencet untuk flush alias menyiram air. Hanya ada sensor dan tisu! oh my God, gegara waktu kecil saya tidak pernah mendapatkan toilet training a la amerika, saya pun terbengong-bengong dan kelihatan katroknya.
ini lucu bin konyol, jadi karena saya membawa dua kopor besar dan tidak ada teman untuk menitipkan, akhirnya saya bawa dua kopor besar itu ke dalam toilet. Sempat bingung dan galau, aman tidak ya disimpan diluar toilet (kebetulan mau BAB). Akhirnya koper saya bawa masuk satu dan ditinggal diluar satu. Kebetulan wc nya cukup luas. Ceritanya, setelah uji coba duduk dan berdiri, flash belum juga jalan otomatis. Saya raba-raba sana sini cari pencetan barangkali ada. sementara perut udah melilit. Dengan agak ragu saya buka pintu bilik wc saya untuk bertanya pada seseorang diluar. Begitu berdiri dan membuka pintu (jaraknya sekitar 1,5 meter) eh tetiba flash nya otomatis nyala...oh begini caranya, harus jalan agak jauh. Akhirnya, saya lepaskan semua "tekanan" yang sudah menumpuk itu. Seterusnya tidak perlu diceritakan secara detail, yang jelas banyak-banyak latihan toilet tisu di tanah air sebelum ke luar negeri hehehe
jam 10
jam 10.30 belum muncul juga
Saya harus ambil keputusan. Takut tidak pasti dan kemalaman lagi di bandara. HP saya tidak berfungsi karena masih pakai no indonesia dan habis pulsa! oh ya, itu juga pelajaran agar isi pulsa sebanyak2nya kalau perjalanan jauh. Sebenarnya bisa memakai kartu indonesia saya, tapi tarif per sms nya sekitar 4000 rupiah. Telfon lebih mahal lagi. Tapi in case dalam kondisi darurat ya bisa dipakai.
Akhirnya saya putuskan naik Taksi yang mahalnya minta ampun.
yang penting sampai dulu di rumah Mas Medhy sebagai tujuan awal. sebab hari minggu, jadi saya tidak bisa mengambil kunci apartemen. Harus menunggu sampai senin. Kebaikan hati mas medhy dan istrinya, mba santi juga putra tunggalnya Mas Izam, telah menyelamatkan hari kedua saya di Amerika. Alhamdulillah....
sekarang tinggal mencari dimana sebenarnya Paman Sam berada ?..hehehe
(bersambung lagi...)
No comments:
Post a Comment