Yanu Endar Prasetyo
email: yepw33@mail.missouri.edu
Thomas Schelling, salah seorang peraih
hadiah nobel pada tahun 1969, 1971, 1978, mempelajari tentang dinamika
segregasi sosial [1], yaitu sebuah kondisi sosial dimana mereka yang memiliki
identitas atau karakteristik yang berbeda (misal orang kulit putih dan kulit hitam,
orang kaya dan miskin, professor dan mahasiswa) cenderung untuk “menjauhi” satu
sama lain. Asumsi dasarnya adalah orang cenderung merasa “nyaman” apabila
berdekatan dengan orang lain yang memiliki banyak kemiripan (similarities) dengan dirinya. Pandangan
ini kemudian menuntunnya untuk melakukan berbagai kajian tentang segregasi
sosial, termasuk bagaimana faktor rasial (perbedaan warna kulit) ini
mempengaruhi pola perumahan atau pola tinggal orang kota, Khususnya di Amerika
Serikat.
Seperti kita ketahui, Amerika Serikat
memiliki sejarah panjang terkait dengan persoalan rasisme. Tidak hanya terjadi
di masa perbudakan saja, namun jejak-jejak peninggalan sentimen rasisme ini
masih mengendap dan menjadi masalah publik sampai saat ini, utamanya dipicu
oleh banyaknya perlakuan atau kebijakan yang dianggap diskriminatif bagi orang
atau komunitas kulit hitam dan berwarna lainnya. Dalam konteks segregasi sosial
di perkotaan, salah satu indikator dari lebarnya jurang pemisah antar ras ini
dapat ditelusur melalui pola perumahan (neighborhood)
di perkotaan AS yang cenderung mengelompok antara perumahan orang kulit putih
dan kulit hitam.
Contohnya seperti perumahan
penduduk di St. Louis City, Missouri. Di kota ini mayoritas warga kulit hitam
tinggal di daerah utara, sementara mayoritas warga kulit putih tinggal di
wilayah selatan. Wilayah utara terkenal dengan kemiskinan dan kriminalitas yang
tinggi, sementara wilayah selatan terkenal sebagai lingkungan perumahan orang
kaya (lihat penelitian saya sebelumnya tentang farmers markets dan segregasi sosial di Missouri).
Dari teori dan temuan Schelling tentang
kecenderungan alamiah segregasi sosial tersebut, dibangunlah sebuah model yang
dikenal dengan sebutan Schelling’s Model[2]
atau Model Segregasi Perkotaan. Dalam Agent-Based Modeling (ABM), Schelling’s Model digambarkan dalam
sebuah lingkungan dimana di dalamnya ada agen berwarna merah dan hijau (lihat gambar). Setiap
titik agen menggambarkan individu, katakanlah warna merah sebagai representasi
dari orang kulit putih dan warna hijau sebagai representasi orang kulit hitam.
Setiap agen akan bergerak dan berjalan dengan pola sederhana yaitu mereka akan
berusaha tinggal berdekatan dengan sebanyak mungkin warna yang sama dan
menghindari agen dengan warna berbeda.
Variabel lain yang dimasukkan dalam
model ini adalah tingkat kebahagiaan (happiness)
dari agen itu sendiri. Jika ia berada dekat dengan warna yang sama maka
kebahagiannya akan meningkat dibanding jika ia tinggal di lingkungan sekitar
yang berbeda warna. Dalam kondisi kedua, dia akan memutuskan untuk berpindah “rumah”.
Keputusan agen untuk tetap tinggal” (diam) atau “berpindah” (bergerak) inilah
yang kemudian menjadi “ambang toleransi” agen atau individu dalam menerima
perbedaan (dalam hal ini perbedaan rasial) dari tetangga terdekatnya.
Dari sinilah kemudian simulasi ini
terus bergerak sampai pada periode waktu tertentu yang bisa diatur sesuai
keinginan penelitian. Hasilnya, dapat dilihat bagaimana pola segregasi sosial
itu terbentuk dalam rentang waktu tertentu. Model ini relatif sederhana dan cukup
mapan untuk mewakili bagaimana ABM bekerja dan mensimulasikan teori segregasi
sosial perkotaan ini. Tidak hanya untuk kasus Amerika, namun juga bisa
dikembangkan untuk kasus-kasus lainnya yang lebih kompleks dan beragam.
Kembali ke artikel sebelumnya:
Lanjutkan ke artikel berikutnya:
Memodelkan Dinamika Opini Politik
Memodelkan Perilaku Konsumen
Memodelkan Jejaring Industrial
Memodelkan Manajemen Rantai Pasok
Memodelkan Pasar dan Pasokan Listrik
Memodelkan Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Alam
No comments:
Post a Comment