Predatory-Prey atau Wolf Sheep Simple Model dari NetLogo |
Yanu E. Prasetyo
yepw33@mail.missouri.edu
Ada tiga tahapan dalam membuat Agent-Based Models (ABM)*. Pertama adalah tahap perancangan model (designing model). Pada tahap ini kita harus menentukan elemen atau komponen apa saja yang ada di dalam model kita. Kedua, membangun model (building model). Setelah mengetahui setiap komponen dan elemen yang diperlukan, kita bisa mulai menuangkan dalam model konseptual dan membuat obyek komputasinya. Ketiga, uji coba model (examining model). Pada tahap ini kita akan melakukan uji coba dengan menjalankan model dan menganalisa atau menginterpretasikan hasilnya.
Sebagai
latihan awal, kita akan mencoba membangun (meniru) sebuah model sederhana dari
Wilensky & Rand (2015) yang diberi nama “Wolf
Sheep Simple Model”. Pertanyaan dasar dari “Wolf Sheep” model ini adalah “Bagaimana perubahan tingkat populasi
dari dua spesies (serigala dan domba) yang tinggal bersama dalam satu habitat
(ekosistem alam)”. Meskipun model sederhana ini hanya memuat dua spesies, namun
model ini dapat dikembangkan lebih lanjut untuk melihat dinamika hubungan
antara dua atau lebih entitas, misalnya kompetisi antar perusahaan dalam
merebut konsumen, kompetisi partai politik dalam pemilu, penyebaran virus dalam
sistem komputer, dan lain sebagainya. Untuk merancang, membangun, dan menguji
model ini kita akan menggunakan program komputer NetLogo.
Merancang Model (Designing Model)
Ada
banyak cara dalam merancang model. Tergantung pada tipe fenomena yang ingin
dimodelkan, tingkat pengetahuan perancang terhadap substansi modelnya, hingga
pada gaya permodelan masing-masing yang mungkin berbeda (modeling style). Namun demikian, setidaknya terdapat dua jenis
permodelan utama: pemodelan berbasis fenomena (phenomena-based modeling) dan pemodelan eksploratif (exploratory modeling). Dalam pemodelan
berbasis fenomena, kita harus menentukan pola-pola yang mendasari fenomena tersebut.
Sebagai contoh, pola segregasi sosial yang ada di perkotaan. Misalnya tipe
pemisahan pemukiman orang kaya, kelas menengah, dan pemukiman penduduk miskin
di perkotaan selalu terpisah satu sama lain dengan pola-pola tertentu. Pola
segregasi inilah yang kita sebut sebagai pola dasar atau pola referensi (reference pattern). Tujuan dari
pemodelan berbasis fenomena semacam ini adalah untuk merepresentasikan
pola-pola dasar dari fenomena yang diteliti.
Berbeda
dengan pemodelan berbasis fenomena, dalam pemodelan eksploratif kita juga bisa
menciptakan agen lengkap dengan perilaku mereka untuk kemudian diamati seperti
apa pola-pola yang muncul dalam model tersebut (misalnya dengan melihat
pola-pola yang dihasilkan oleh selular
automata). Dengan kata lain, jika dalam pemodelan berbasis fenomena kita
memulai dengan pertanyaan spesifik seperti “bagaimana
pola segregasi pemukiman antara orang kulit putih dan kulit hitam terbentuk di
perkotaan Amerika?”, maka pada pemodelan eksploratif kita bisa memulai
dengan pertanyaan yang sangat umum, misal “bagaimana
perilaku koloni semut dalam mendapatkan dan mengumpulkan makanan?” atau
“bagaimana sistem eknomi pasar bekerja?” dan lain sebagainya.
Dalam
proses perancangan model, kita juga bisa menggunakan dua pendekatan yang
berbeda. Pendekatan pertama disebut dengan perancangan top-down, dimana kita menyusun setiap detil rancangan – mulai dari
tipe agen yang akan dibuat, lingkungan dimana agen tinggal, serta aturan dalam
berinteraksi di dalamnya – secara runut dan menyeluruh dari sejak awal (single line of code). Sebaliknya, jika
kita ingin merancang model secara lebih fleksibel dengan pertanyaan penelitian
yang sangat umum, maka kita dapat menggunakan pendekatan perancangan buttom-up, dimana kita bisa menambahkan
koding dalam prosesnya. Sebagai contoh, kita ingin melakukan pemodelan tentang
bagaimana pasar jual beli dalam ekonomi bekerja. Maka kita memulai dengan
membuat koding untuk pembeli dan penjual sebagai agen lengkap dengan
karakteristik dan pola interaksinya. Namun kemudian, kita menyadari bahwa
pembeli dan penjual saja tidak cukup, diperlukan agen lainnya – misalnya
pedagang antara/broker – untuk mendapatkan model yang lebih lengkap. Maka kita
bisa memasukkan agen baru dan lingkungan baru di tengah proses perancangan
model tersebut.
Seringkali
peneliti yang masih awam dengan pemrograma computer akan berkolaborasi dengan
programmer untuk merancang modelnya. Namun demikian, kehadiran NetLogo telah
mempermudah proses itu sehingga mereka yang awam dengan Bahasa pemrograman
computer bisa dengan nyaman membangun modelnya sendiri. Baik pendekatan top-down maupun buttom-up dapat dikombinasikan dalam perancangan model menggunakan
NetLogo. Dalam proses perancangan Agent-Based Model (ABM) menggunakan Netlogo
ini, terdapat beberapa prinsip yang harus kita jalankan (ABM design principle). Pertama adalah mulai dengan model paling
sederhana dan rancanglah model sesuai dengan pertanyaan penelitian yang ingin
dijawab. “Everything should be made as
simple as possible, but not simpler”. Begitu kira-kira prinsip dalam dalam
memulai perancangan ABM. Kita harus memulai dengan seperangkat agen dan aturan
main yang paling sederhana dan mendasar pada saat membangun model. Dari model
sederhana ini kemudian terus dikembangkan hingga menjadi model yang lebih
kompleks dan komprehensif.
Kedua,
jangan pernah menambahkan apapun ke dalam model kita jika penambahan itu tidak
membantu menjawab pertanyaan penelitian yang kita ajukan. Memang pada fase
perancangan awal ini model kita akan menjadi sangat simplistic dan terlalu
menyederhanakan fenomena sebenarnya di dunia nyata. Akan tetapi, simplifikasi ini
menjadi penting dan berguna dalam proses pengembangan lebih lanjut. Sebab,
dengan melakukan percobaan menggunakan seperangkat agen dan aturan main yang
paling sederhana, kita akan mudah mendeteksi jika ada komponen dalam model kita
yang tidak berfungsi (no effect)
ketika kita menambahkannya. Jika kita mulai dengan sesuatu yang kompleks dan
rumit, bisa jadi kita akan kesulitan mendeteksi komponen mana yang berpengaruh
dan tidak berpengaruh, sehingga akan menyulitkan dalam melakukan interpretasi
hasilnya. Memulai dengan model yang sederhana juga akan mengurangi ambiguitas,
pengulangan, dan inkonsistensi dari model yang kita bangun. “Keeping the model simple, you make it both
more understandable and easier to verify”.
Memilih dan Mengembangkan Pertanyaan
Penelitian
Dalam
Wolf Sheep model, peneliti memulai
dengan pertanyaan tentang bagaimana perubahan tingkat populasi dari dua spesies
yang tinggak bersama (coexist) dalam
satu ekosistem sepanjang waktu? Kita akan melihat dan menguji apakah pertanyaan
ini tepat dan sesuai degan paradigma ABM. Secara umum, ABM sangat bermanfaat
untuk memodelkan interaksi antar entitas (agen) yang hasil interaksinya sulit
untuk diprediksikan (unpredictable).
ABM juga akan tepat dan solutif jika entitas yang ingin kita modelkan bersifat
heterogen dan memiliki interaksi yang dinamis terhadap lingkungannya. Misalnya,
binatang mengkonsumi makanan yang tersedia dari alam (contoh domba memakan
rumput) dalam jumlah tertentu lalu mengkonversinya menjadi energi. Kita
pastikan bahwa entitas binatang yang menjadi agen dalam model kita tersebut
memiliki kemampuan dan kapasitas yang berbeda dalam mengkonsumsi makanan dari
alam tersebut. Hal penting lainnya adalah kita harus memastikan bahwa agregat
akhir dari model kita benar-benar tergantung pada hasil interaksi antar entitas
tersebut dan lama waktu interaksinya (time
dependent processes). Dalam Wolf
Sheep model ini kita akan melihat simulasi interaksi antara pemangsa dan
yang dimangsa (predator-prey)
ditambah dengan jumlah konsumsi (rumput) yang diambil dari lingkungan dan dampaknya
pada perubahan (naik-turun) populasi dua spesies tersebut sepanjang waktu.
Namun
sebelum memulai perancangan, peneliti terlebih dahulu mencari literatur atau
data-data empiris yang dianggap dapat mendukung model tersebut. Mereka harus
mencari hasil riset untuk dijadikan parameter, apakah ada data tentang dua
spesies yang hidup dalam satu area tertentu yang dapat dijadikan acuan awal?
Akhirnya mereka menemukan sebuah contoh kongkrit dari studi tentang
predator-prey di Isle Royale, sebuah wilayah kecil di Michigan, Amerika Serikat[1]. Studi ini melaporkan
dengan sangat baik tentang dinamika jumlah populasi serigala dan rusa setiap
tahunnya (lihat gambar 1).
Gambar 1. Grafik di atas menunjukkan jumlah populasi
serigala dan rusa yang ada di Isle Royale dari tahun 1959 sampai dengan 2009.
Hasil penelitian lapangan ini kemudian menjadi pola acuan dalam pengembangan
Wolf Sheep model (Wilensky & Rand, 2015:163).
Seperti terlihat pada grafik 1 di
atas, populasi serigala dan rusa di Isle Royale telah menunjukkan kemampuannya
untuk hidup secara berkelanjutan selama lebih dari 50 tahun. Dari data terlihat
bahwa ketika populasi rusa tinggi, maka populasi serigala rendah, demikian pula
sebaliknya, ketika populasi serigala tinggi, populasi rusa berkurang drastis
namun tidak sampai hilang sama sekali. Dengan data riil ini maka peneliti
memiliki pola dan parameter dasar yang menunjukkan interaksi antara predator
dan mangsanya pada lingkungan geografis tertentu. Karena pola predator-prey
antara serigala dan rusa ini telah mapan dan menunjukkan pola dasar yang
terukur, maka untuk kepentingan pemodelan, peneliti kemudian membangun model
lain yang mirip, yaitu interaksi antara serigala dan domba. Pertanyaan
penelitian kemudian dikembangkan menjadi: “bagaimana
perubahan tingkat populasi antara dua spesies, serigala dan domba, yang tinggal
bersama dan berinteraksi (predator-prey) dalam satu wilayah, dimana spesies
kedua (domba) juga mengkonsumsi sumber daya lainnya dari alam sebagai makanan
utamanya?”
saya mahasiswa S2 kebetulan sedang meneliti dengan menggunakan pendekatan ABMS ini, ada hal-hal yang perlu saya tanyakan, bagaimana saya dapat menghubungi ANda? Terima kasih
ReplyDelete