“We are not only what we eat, but how we eat, too”
(Michael Pollan, 2006)
Dua abad yang lalu, Amerika dikenal sebagai “The Alcoholic Republic”. Dimana rata-rata konsumsi minuman beralkohol sangat tinggi. Pada masa itu, seperti dijelaskan sejarawan W.J. Rorabaough (1979), minuman beralkohol adalah bagian dari everyday American life. Dampaknya; kecelakaan, kekerasan, kecanduan, dan masalah sosial lainnya meningkat pesat. Pemerintah pun turun tangan. Peredaran minuman beralkohol dikontrol dan diawasi ketat. Bahkan sempat dilarang pada tahun 1920 melalui the 18th amandement sebelum akhirnya direvisi lagi empat belas tahun kemudian pada tahun 1933 (Miron & Zwiebel, 1991). Kini, julukan itu hampir dilupakan orang. Negeri Paman Sam memiliki julukan baru yang tidak kalah fenomenal: A Republic of Fat. Ya, julukan yang masih berkaitan dengan pola makan dan minum bangsa Amerika yang cenderung ekstrim. Mengapa bisa demikian?
Michale Pollan, penulis buku Omnivore’s Dilemma (2006), menjelaskan dengan gamblang ihwal kenapa orang Amerika memiliki pola makan yang demikian mematikan. Data berkata, tiga dari lima orang Amerika teridentifikasi kelebihan berat badan (overweight) dan satu dari lima orang Amerika mengalami kegemukan (obesity). Obesitas ini merata di seluruh negara bagian Amerika. Menurut data dari CDC (Centers for Desease Control and Prevention) tahun 2017, setiap negara bagian di AS memiliki lebih dari 20% warga yang mengalami Obesitas. Bahkan tujuh negara bagian memiliki hingga 35% penderita obesitas seperti di Arkansas, Alabama, Iowa, Louisana, Mississippi, Oklahoma, dan West Virginia. Bukan hanya orang dewasa, bahkan Amerika termasuk yang tertinggi di dunia dalam kasus obesitas pada anak dimana satu dari enam anak di Amerika mengalami obesitas.
Sungguh sebuah situasi yang tidak sehat. Banyak ahli mencari penyebab utama kenapa obesitas menjadi epidemik di Amerika Serikat. Banyak teori yang menjelaskan mulai dari aspek nutrisi, pola kerja, gaya hidup, konsumsi fast food, dan bahkan sampai-sampai ada yang menyimpulkan bahwa seseorang bisa mengalami obesitas akibat “tertular” kebiasaan orang-orang terdekat. Namun satu penyebab paling mendasar dari semua itu – dan yang paling masuk akal – adalah karena makanan demikian berlimpah dan murah! Ya, the high cost of cheap food! Makanan murah ternyata memiliki konsekuensi sangat mahal. Bukannya menyehatkan, tapi justru bisa membawa banyak penyakit.
Berbeda dengan binatang lainnya yang memiliki kepastian perihal makanan yang harus ia makan, manusia senantiasa dihantui ketidakpastian. “Makan apa kita malam ini?”. Pertanyaan itu setiap saat menggaung di kepala banyak orang. Ia menjadi bahan obrolan yang tidak ada habisnya dalam keluarga atau pasangan. Pertanyaan itu pula menjadi modal para pebisnis rumah makan, restoran, hingga industri makanan untuk manawarkan jawaban yang paling memuaskan bagi kita. Jika karnivora seperti serigala hanya mencari daging untuk dimakan, menyebabkan ia terlatih untuk berburu daging dari binatang lainnya. Itu saja. Sisanya ia menikmati hidup. Jika herbivora seperti kambing terlatih mencari rumput untuk dimakan, maka ia tahu kemana ia harus memperoleh rumput terenak untuk makan malamnya. Tapi omnivora seperti manusia? Tidak sesederhana itu. Sebagai pemakan segala, kita senantiasa terpenjara dalam dilema.
Karena memori dan indera kita terus bekerja dan memproses informasi, maka dilema tersebut bukannya semakin mudah dipecahkan. Sebaliknya, ia semakin rumit. Kita bisa mengingat rasa sebuah makanan, apakah ia memberikan pengalaman yang baik atau buruk pada lidah dan perut kita, misalnya, menjadikan kita memiliki kesulitan untuk memilih dan memilah dengan cepat. Jika kemarin kita sudah makan makanan A, maka hari ini kita ingin mencoba yang lain. Kebimbangan kaum omnivora ini kemudian dengan mudah dieksploitasi dan dimanipulasi oleh iklan-iklan makanan serta minuman yang mencoba menawarkan sensasi baru pada pengalaman makan kita. Akhirnya, kita terjebak pada dilema konsumsi yang lebih besar: makanan murah dan enak yang berevolusi menjadi racun bagi tubuh kita.
Dalam kasus Amerika, sumber makanan yang berlimpah, murah, dan dapat diolah menjadi beragam produk makanan serta minuman itu tak lain adalah jagung (zea mays). Sebagai salah satu produsen jagung utama di dunia, Amerika Serikat bahkan memiliki daerah pertanian yang dikenal sebagai sabuk jagung (corn belt) yang membentang dari Nebraska, Kansas, hingga Illionis. Jagung pula yang menjadi tersangka utama ketika Amerika mendapat julukan The Republic Alcoholic karena produk seperti corn wishkey. Kini, jagung kembali menjadi komoditas yang paling “disalahkan” karena bisa diubah menjadi high-fructose corn syrup (HFCS) yang murah dan multiguna itu. Pada tahun 1984, Coca-Cola dan Pepsi pun telah mengganti keseluruhan gula murni dalam produk minumannya dengan HFCS sebagai sumber kalori dan pemanis. Ini pula yang dianggap menjadi penyebab obesitas plus diabetes meningkat tajam di Amerika Serikat. Sialnya, “American Diet” ini tidak hanya berlaku di Amerika, namun diekspor ke seluruh dunia melalui produk-produk industri makanan AS yang bisa kita temui diseluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Jadi, malam ini kita makan apa gaess?
Sumber ilustrasi: www.ncdaction.org/obesity_is_now_a_global_epidemic
No comments:
Post a Comment