Siapa sebenarnya dalang paling berpengaruh dalam gonjang-ganjing perpolitikan Amerika? Benarkah Donald Trump antitetis dari demokrasi di Amerika? Apa yang membuat jurang ketimpangan sosial dan ekonomi di Amerika belakangan semakin menganga?
Tiga pertanyaan di atas paling banyak menghantui mereka yang berusaha membaca perkembangan terkini negeri adidaya ini. Banyak pengamat politik mengatakan bahwa terpilihnya Donald Trump pada pemilu tahun 2016 merupakan penanda bangkitnya ideologi konservatif-kanan dan melemahnya gerakan liberal-progresif. Meskipun kenyataannya, dari hasil perolehan suara pemilu (popular vote), jumlah pemilih Clinton (65,9 juta suara) saat itu lebih banyak dibanding pemilih Trump (62,9 juta suara). Namun, disebabkan oleh sistem “electoral college”, maka meski jumlah pemilih Hillary Clinton lebih banyak dari Trump, tidak lantas membuatnya melenggang menjadi presiden perempuan pertama di Amerika.
Terlepas dari kekalahan Clinton pada 2016 itu, partai Demokrat ternyata mampu bangkit dan berhasil membalaskan sedikit dendamnya dengan menguasai kembali House of Representatives pada Mid-Term Election 2018 kemarin. Pada pemilu tersebut, Partai Demokrat bahkan berhasil meloloskan secara fenomenal para pemimpin baru yang dianggap mewakili keberagaman Amerika: dua perempuan muslim pertama di Kongres (Rashida Tlaib dari Michigan dan Ilhan Omar dari Minesota), gubernur gay pertama di Colorado (Jared Polis), hingga aktivis perempuan dari sayap sosialis yang terus mendapat sorotan karena gebrakan-gebrakannya, Alexandria Ocasio-Cortez dari New York.
Namun demikian, cerita di atas tentu adalah panggung depan dinamika politik di AS. Panggung normatif. Yang tidak banyak diketahui oleh publik adalah panggung belakang yang menjadi medan perang sesungguhnya, dimana logistik untuk memenangi sebuah kontestasi bisa dibedah dan ditelanjangi. Seperti diketahui, maju dalam pemilihan senator, legislatif, hingga presiden sebuah negara besar seperti Amerika Serikat tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Beberapa kali lipat dari biaya kandidat pemilu di Indonesia. Tidak mungkin biaya kampanye bisa diperoleh dari kantong sendiri, bahkan untuk milyader sekaliber Trump. Setiap kandidat membutuhkan donor. Baik donor publik, yang memberikan donasinya secara langsung, maupun donor privat, seperti dari perusahaan, individu, atau sponsor lainnya. Disinilah perang politik sebenarnya dimulai.
Dark Money
Jane Mayer, seorang penulis The New Yorker, membukukan dalam Dark Money (2016) hasil penelusurannya selama bertahun-tahun terhadap sepak terjang keluarga paling berpengaruh dalam panggung belakang perpolitikan Amerika. Charles and David Koch alias Koch brothers, demikian publik biasa menyebut duo konglomerat ini. Mereka adalah pemilik pipa gas dan minyak sepanjang 4,000 mil di Alaska, Texas, dan Minnesota. Bukan hanya minyak bumi dan gas, raksasa bisnis mereka yang dibangun sejak 1967 (meneruskan bisnis yang dirintis sang Ayah) juga meliputi perusahaan kayu, kertas, bahan kimia, batu bara, dan bisnis lainnya. Mereka selalu masuk dalam daftar 1 persen (bahkan 0,1 persen) orang terkaya di AS. Menurut majalah Forbes, Kekayaan dua orang ini setara dengan 80 milyar dollar AS, meningkat sekitar 12 Milyar Dollar AS dari tahun lalu. Catat: hanya dalam setahun saja.
Meskipun mereka super berhasil di bidang bisnis, namun tidak demikian dalam politik. Tahun 1980, David Koch, sang adik, pernah bertarung sebagai kandidat Cawapres pada pemilu AS yang diusung oleh partai Libertarian. Namun gagal total karena hanya mengantongi 1 persen dari suara pemilih. Sejak itulah, Koch Brothers mengubah strateginya untuk menguasai politik ekonomi Amerika melalui jalur bawah tanah: menjadi donor kandidat pemilu paling utama.
Mereka sadar, jika sulit menguasai panggung depan politik, maka jalan satu-satunya adalah dengan menggunakan uang dan kekuasaannya untuk meraih kekuasaan dari panggung belakang. Mereka menggelontorkan jutaan dollar dana kepada para politisi dan kandidat yang dianggap mampu menjaga keberlangsungan raksasa bisnis mereka. Utamanya, mampu merepresentasikan gagasan libertarian, yang semula berada di pinggiran, menjadi gagasan mainstream di Gedung Putih. Pada masa kampanye, Donald Trump termasuk tokoh yang sering “menyerang” Koch Brothers serta koleganya sendiri dari Partai Republik karena menganggap mereka sebagai salah satu biang kolusi, korupsi, dan nepotisme di Washington DC. Trump pun dengan percaya diri, sebagai sesama milyader, berjanji akan menutup lubang-lubang korupsi jika ia berkuasa. Keberaniannya menyerang “the American Godfather” yang berpusat di Wichita, Kansas ini, menjadi salah satu pendorong para pemilih Trump memberikan kepercayaan kepadanya.
Namun demikian, ketika Trump terpilih dan mengumumkan para pembantunya. Terkuaklah tabir yang sebenarnya. Meskipun di panggung depan mereka bermusuhan dan saling serang, namun orang-orang kunci dalam pemerintahan Trump nyatanya adalah mereka yang memiliki koneksi masa lalu maupun masa kini dengan Koch Brothers. Tak tanggung-tanggung, sang Wapres sendiri, Mike Pence, merupakan orang dekat David Koch. Mereka pernah mengucurkan donasi sebesar $300,000 untuk kampanye Pence empat tahun sebelum Trump memilihnya sebagai cawapres.
Dalam soal lingkungan hidup dan perubahan iklim. Mundurnya AS dari Paris Accord serta kebijakan pemerintah yang seolah anti-perubahan iklim tak lain juga adalah sejalan dengan gagasan dan kepentingan bisnis Koch Brothers. Michale McKenna, Myron Ebell, David Schnare, adalah sederet nama-nama yang selama ini menjadi tim lobi untuk Koch Brothers dan kemudian menduduki posisi strategis pada pemerintahan transisi Donald Trump yang kita tahu berusaha mengikis habis anggaran dan kekuatan EPA (Environmental Protection Agency) yang pro perubahan iklim. Dalam hal keamanan, pengangkatan Mike Pompeo – seorang politisi republikan dari Kansas - sebagai direktur CIA juga menunjukkan kuatnya gurita Koch brothers di Gedung putih. Seperti diketahui publik AS, Koch brothers adalah rekan sekaligus investor utama bagi bisnis Pompeo. Maka, lagi-lagi publik AS yang berharap banyak akan perang pada korupsi dan perubahan elit harus gigit jari.
Tidak hanya itu, segaris dengan Platform David Koch saat mencoba peruntungan di Pemilu 1980, banyak sekali kebijakan maupun “tweet” Donald Trump yang senafas dengan gagasan Koch Bothers. Anti Medicare dan Medicaid, penghapusan jaminan sosial (social security system), anti perubahan iklim, menolak monopoli kantor pos yang dianggap tidak efisien, hingga kebijakan di bidang energi dan transportasi hampir selalu senada dengan platform politik dan kebijakan Koch Brothers. Bernie Sanders, senator demokrat dari Vermont yang terkenal itu, bahkan menggambarkan pengaruh sang “Kochtopus” ini dengan kalimat: “It is clear that the Koch brothers and other right-wing billionaires are calling the shots and are pulling the strings of the Republican Party.”
Melihat sepak terjang “Kochtopus” alias gurita Koch Brothers ini sebenarnya mengingatkan kita akan gurita-gurita serupa di tanah air. Ada Gurita Cendana, Gurita Cikeas, Gurita Bakrie, Gurita Sembilan Naga, dan kawan-kawannya. Lalu, apa kabar para gurita tanah air dan pengaruhnya terhadap perseteruan Pilpres 2019? Adakah kesamaan aktor dan cerita yang membuat kita bisa membaca alur dari pergulatan panggung depan politik kita dengan kenyataan panggung belakang yang bisa jadi memuakkan? Agar tetap kritis, jangan melulu terpesona panggung depan yang penuh drama dan citra, namun telusuri pula para gurita penyokong yang bersembunyi di balik bahu para penguasa dan penantangnya itu.
*) tulisan-tulisan lainnya dapat dibaca di kolom penulis disini: pasundannews.com/category/kolom/
sumber ilustrasi: http://ifg.org/kochtopus/
No comments:
Post a Comment