08 January 2019

The Leavers vs. The Stayers

Sembari duduk di sebuah sofa tua, pandangan saya tersedot pada tumpukan buku yang ada di meja tepat di depan saya. Nampaknya, sebagian besar buku-buku itu masih fresh from the oven alias baru saja keluar dari kardus pengiriman barang online. Profesor emeritus di sebelah saya, sang pemilik rumah sekaligus yang memesan buku-buku itu, sudah berusia sangat sepuh. Hampir 90 tahun. Namun ingatannya masih sangat tajam. Suaranya masih lugas dan mudah dimengerti. Meski mulai kesulitan untuk berdiri, namun tak sedikitpun ia menampakkan kelelahan untuk mengajar dan berbagi. Mungkin dedikasinya yang sangat total pada ilmu pengetahan dan pendidikan itulah yang menjadikannya masih nampak bugar di usia yang mulai jarang terlampaui manusia modern saat ini.
Kembali ke tumpukan buku tadi, rupanya buku-buku di depan saya ini adalah beberapa referensi yang harus kami baca minggu ini. Isinya semua tentang perubahan sosial di Amerika, khususnya di pedesaan atau Rural Amerika. Sebuah topik yang saya tekuni selama belajar disini. Ada buku-buku tentang mental health, politik, sejarah, pertanian, migrasi, bahkan buku humor menarik yang ditulis oleh seorang Dokter Hewan, Dr. Bo Brock, berjudul “Crowded in The Middle of Nowhere” juga ada. Hampir semua buku itu, kecuali buku Dr. Bo Brock, berisi tentang apa yang terjadi saat ini di pedesaan Amerika: krisis dan kemarahan orang-orang desa!
Ya, itulah yang nyata-nyata sedang terjadi di Amerika Serikat. Tentang 60 jutaan orang-orang yang termarginalkan, terabaikan dan tertinggal jauh di belakang sistem yang ada. Tentang “Abandoned America”, demikian The New York Times menggambarkan situasi pedesaan Amerika saat ini. Krisis di pedesaan Amerika tentu sangat kompleks untuk disederhanakan. Namun benang merah dari fenomena ini adalah munculnya kesadaran di kalangan akademisi maupun publik bahwa ada yang salah dari proses pembangunan dan kemajuan yang terjadi di Amerika Serikat saat ini.
Terpilihnya Donald Trump pada pemilu 2016, melonjaknya tren penembakan maut yang menelan banyak korban di sekolah dan tempat-tempat publik lainnya, bangkitnya gerakan supremasi kulit putih, hingga tingginya angka kecanduan obat-obatan terlarang, bunuh diri, dan homelessness hanyalah sedikit dari tanda-tanda krisis dan bentuk lain dari kemarahan orang-orang Amerika. Doktor sosiologi – yang sekaligus presiden sebuah Asosiasi Sosiolog di Missouri – yang duduk tepat di sebrang meja itu, sampai-sampai mengibaratkan bahwa sistem ekonomi dan politik di Amerika saat ini sedang menciptakan “monster-monster” yang mengerikan. Monster itu adalah orang tua dan anak-anak yang tinggal terisolasi dalam kemiskinan, pengangguran, dan kecanduan obat-obatan, namun mereka memiliki pistol di tangannya. Jika ia marah atau berimajinasi ingin menembaki siapapun yang ada di depannya, siapa yang bisa mengontrol?
American Dream in Crisis, demikian pakar kapital sosial, Robert Putnam, menggambarkan.
Amerika Serikat memang masih menjadi barometer untuk kemajuan teknologi. Sebut saja Microsoft, Apple, SpaceX, Tesla, Facebook, Google, Amazon, dan lain-lain lahir dan berpusat di AS. Namun, meski negeri ini melahirkan banyak perusahaan kapitalis raksasa yang menguasai dan mengubah dunia, nampaknya ia belum mampu meningkatkan kualitas hidup rakyatnya dengan merata. Yang terjadi justru konsentrasi dan konsolidasi sumberdaya yang semakin terpusat pada elit atau 1 persen orang-orang terkaya saja. Ketimpangan ekonomi di AS memang semakin ekstrem. Kondisi inilah yang membuat orang-orang, khususnya dari kelas pekerja dan orang miskin marah.
Kemarahan publik pedesaan Amerika ini unik. Jika masyarakat urban bisa melakukan “long march” atau protes langsung dengan turun di jalanan untuk menyampaikan kritik, tidak demikian dengan orang-orang di pedesaan. Mereka tidak terkonsolidasi dengan baik karena minimnya kaum muda. Secara demografis, mereka yang tinggal di pedesaan umumnya berusia tua. Sama halnya di Indonesia, anak-anak muda dari desa ini ramai-ramai eksodus ke perkotaan karena mengejar pendidikan atau pekerjaan yang lebih baik. Setelah sukses, mereka enggan untuk kembali lagi. Akibatnya, kemarahan orang-orang yang masih tertinggal di desa ini dilampiaskan pada hal-hal yang merusak diri sendiri seperti alkohol dan obat-obatan terlarang atau yang lebih menakutkan, mereka ramai-rami menyalahkan para imigran yang dianggap biang kerok kemunduran, kemiskinan, dan kekacauan di negeri Paman Sam ini.
Kembali ke diskusi kecil kami pagi itu, tibalah giliran saya untuk menyampaikan apa yang saya peroleh dari bacaan minggu lalu. Diantara beberapa buku yang menarik minat saya, saya memilih tulisan Pattrick J. Carr dan Maria J. Kefalas (2009) yang menyoal “Rural Brain Drain” alias minggatnya anak-anak muda berpendidikan dari desa-desa di Amerika ke perkotaan. Setiap tahunnya, menurut buku ini, lebih dari 6% anak muda desa yang memiliki ijazah S1 di pedesaan Amerika meninggalkan desa-desa mereka untuk mengadu nasib di kota-kota besar. Tak peduli betapa ibu kota sebenarnya lebih kejam dari ibu desa. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai “The Achievers”, yakni mereka yang memang sejak awal diprediksi oleh lingkungannya akan menjadi orang sukses – entah karena kepintarannya atau pengaruh keluarganya – dan akan meninggalkan desa tanpa pernah kembali lagi. “young people who are least likely to give anything back to the town”, demikian istilahnya. Mereka inilah aset berharga yang terus menerus hilang dari desa. Dimulai dari keinginan untuk menggapai pendidikan yang lebih tinggi, berakhir dengan tinggal di kota nun jauh dari kampung halamannya.
Kelompok anak muda kedua adalah “The Seeker”. Mereka tidak sepopuler atau semenonjol the achievers. Keluarganya juga bukan dari keluarga terpandang di desa dimana mereka tinggal. Mereka bukan kapten football, baseball, atau basketball di sekolahnya. Namun mereka adalah sekelompok anak muda yang juga memiliki mimpi sama untuk sukses dan keluar dari desanya secepat mungkin. Melalui apa? Mendaftar jadi tantara atau military services. Ya, dengan mendaftar menjadi tantara, maka peluang mereka untuk keluar dari desa menjadi sangat besar. Mereka tidak perlu memiliki uang banyak untuk kuliah ke kampus tertentu sebagaimana para achiever umumnya. Dengan masuk militer, tiket untuk keluar dari desa berada dalam genggaman. Jika sebuah kelas SMA di AS memiliki 40 murid yang lulus, maka sepuluh persennya adalah kelompok the seekers ini.
“The Stayers”. Inilah tipe ketiga dari anak muda di pedesaan Amerika. Mereka adalah yang tidak ada minat atau terpaksa karena berbagai situasi harus tetap tinggal di desa. Kebanyakan hanya lulus SMA dan tidak melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi. Entah karena karena keluarganya kurang mampu, karena hamil muda, karena kecanduan narkoba, atau karena sudah mendapat pekerjaan di desa yang dirasa cukup untuk hidup. “their transition to adulthood far more quickly than their peers who out migrates”demikian sang penulis buku menggambarkan. Mereka, di satu sisi dipandang sebelah mata karena dianggap “kurang sukses”, namun disisi lain adalah harapan terakhir dari negeri Paman Sam itu sendiri. Karena merekalah yang sejatinya masih membuat desa-desa di Amerika, khususnya di wilayah yang membujur dari South Dakota di Utara hingga ke Texas di selatan, masih berpenghuni alias tidak menjadi ghost town sebagaimana kota-kota dan desa-desa bekas tambang masa lalu di sekitar California, misalnya. The stayers inilah harapan agar desa-desa yang mengalami depopulasi drastis (tersisa kurang dari 3000 atau 5000 jiwa penduduk) masih bisa bertahan. Masih ada yang mau bertani dan menjaga para lansia. Kalau mereka juga lenyap, maka tamat sudah riwayat desa-desa dan kota-kota kecil di Amerika dalam waktu cepat.
Disamping tiga tipe utama di atas, ada satu tipe lagi yang cukup menarik untuk diulas: “The Returners!” Ya, mereka adalah kelompok anak muda yang pernah meninggalkan desa kelahirannya namun kemudian kembali lagi. Entah ketika mereka sudah sangat tua dan tidak produktif – semacam pensiunan, atau ketika mereka gagal mengadu nasib di kota, atau karena mereka ingin menjadi entrepreneur berbasis teknologi yang tidak perlu menjauh dari keluarga dan kampung halamannya. Meskipun internet sudah menjadi barang kebutuhan pokok di Amerika Serikat, jangan dibayangkan jika ia sudah merata di semua tempat. Masih banyak area yang tidak terhubung dengan internet di AS, terutama di pedesaan. Digital divide masih menjadi problem juga disini. Oleh karena itu, beberapa returners, khususnya yang berasal dari desa atau kota kecil dengan sambungan internet cukup baik, mencoba untuk membangkitkan ekonomi lokal dengan jalan kembali ke desa. Memulai start up dari kampung halamannya. Apakah mereka berhasil? Ada yang berhasil, tapi banyak juga gagal. Namun tren kembalinya sebagian (bekas) anak muda ini nampaknya membuka sedikit jendela optimisme di desa-desa yang hampir “punah” in the Heartland alias di jantung Amerika ini. (bersambung)
*) kolom mingguan berikutnya dapat dibaca disini: http://pasundannews.com/category/kolom/

No comments:

Post a Comment