16 January 2019

Brexit: Gagal Exit?


Oleh: Yanu Prasetyo

Mendengar kata “Brexit”, mungkin yang terngiang di kepala orang Indonesia adalah soal kemacetan parah di pintu keluar tol Brebes Timur dua setengah tahun lalu: “Brebes Exit”. Ya, benar. Waktu itu, terjadi kebuntuan lalu lintas teramat parah di pintu keluar tol Brebes timur yang menyebabkan kemacetan sangat panjang dan menelan korban jiwa sebanyak dua belas orang. Tak disangka, chaos dan kerumitan kendaraan keluar masuk tol Brebes pada mudik lebaran 2016 itu, nampaknya hari ini benar-benar menggambarkan gonjang-ganjing di pemerintah dan parlemen Inggris. Koq bisa? Begini ceritanya.


Dua setengah tahun yang lalu, tepatnya pada 23 Juni 2016, pemerintah Inggris menggelar referendum untuk memilih apakah Inggris akan keluar dari Uni Eropa atau tetap menjadi bagian EU? Hasilnya, 51,9% warga Inggris memilih negaranya keluar dari Uni Eropa. Dunia internasional heboh. Uni Eropa cukup terpukul. Terutama warga Inggris sendiri dan dua negara tetangga terdekat Inggris: Northern Ireland and Republic of Ireland yang juga adalah bagian dari Uni Eropa.

Hasil referendum menyisakan ketidakpastian politik dan ekonomi di Kawasan itu. Poundsterling terpukul. Masalahnya, hasil referendum tidak serta merta membuat Inggris keluar dari Uni Eropa. Ada tahapan cukup rumit dan panjang untuk sampai benar-benar Inggris keluar dari Uni Eropa. Pemerintah harus menyusun proposal masa depan yang harus disetujui para pihak dengan batas waktu sampai 29 Maret 2019. Muncul perdebatan apakah proposal itu akan mengusung ide “Hard Brexit” - dimana inggris putus hubungan sepenuhnya dengan EU dan kembali mengontrol perdagangan, perbatasan, dan lain-lain - atau “Soft Brexit” – dimana Inggris tetap keluar dari yuridiksi EU namun masih memiliki akses ke pasar tunggal Uni Eropa.

Banyak pakar dan pengamat mengatakan bahwa hasil referendum saat itu lebih bersifat “emosional” daripada “rasional”. Dipicu oleh bangkitnya figur-figur populis-konservatif seperti Trump di AS, persoalan defisit ekonomi, hingga krisis di timur tengah yang mendorong derasnya gelombang imigran ke daratan Eropa, menjadi latar belakang yang turut mewarnai menguatnya politik identitas dan dukungan pada Brexit. Para Brexiters dihantui ketakutan akan masa depan perekonomian Inggris jika tetap berada di Uni Eropa. Dalam hitungan mereka, keuntungan yang diperoleh dari EU jauh lebih kecil dibanding kerugiannya. Apalagi dibumbui dengan berbagai hoaks di media sosial yang seringkali tidak mencerahkan malahan memperdalam paranoia tersebut. Eurosceptisim versus Europhillia. Itulah gambaran perang wacana sejak sebelum dan sesudah referendum Brexit. Bahkan sampai sekarang.

Hari ini, beberapa jam yang lalu, baru saja tersiar kabar bahwa Perdana Menteri Inggris, Theresa May, yang pro-Brexit itu, baru saja mendapat kekalahan telak di parlemen dalam mempertahankan proposalnya. Kekalahan ini tentu menjadi pukulan telak bagi sang Perdana Menteri dan para Brexiters. Ketidakpercayaan yang tinggi dari mayoritas anggota parlemen kepada Perdana Menteri cukup menjadi sinyal bahwa Theresa May harus segera hengkang dari kursi PM Inggris. Usulan terhadap referendum Brexit kedua semakin menguat. Inggris terancam tidak jadi keluar dari Uni Eropa. Di satu sisi, kondisi ini dianggap mampu mengembalikan ketidakpastian politik dan ekonomi Inggris ke jalur yang semestinya. Namun disisi lain, bisa jadi polemik soal Brexit ini merembet kepada kebuntuan dan gonjang-ganjing lainnya yang lebih complicated. Kita tunggu saja sampai mudik lebaran tahun ini!


No comments:

Post a Comment