Oleh: Yanu Prasetyo
Mendengar kata “Brexit”, mungkin
yang terngiang di kepala orang Indonesia adalah soal kemacetan parah di pintu keluar
tol Brebes Timur dua setengah tahun lalu: “Brebes Exit”. Ya, benar. Waktu itu,
terjadi kebuntuan lalu lintas teramat parah di pintu keluar tol Brebes timur yang
menyebabkan kemacetan sangat panjang dan menelan korban jiwa sebanyak dua belas
orang. Tak disangka, chaos dan
kerumitan kendaraan keluar masuk tol Brebes pada mudik lebaran 2016 itu,
nampaknya hari ini benar-benar menggambarkan gonjang-ganjing di pemerintah dan
parlemen Inggris. Koq bisa? Begini ceritanya.
Dua setengah tahun yang lalu,
tepatnya pada 23 Juni 2016, pemerintah Inggris menggelar referendum untuk
memilih apakah Inggris akan keluar dari Uni Eropa atau tetap menjadi bagian EU?
Hasilnya, 51,9% warga Inggris memilih negaranya keluar dari Uni Eropa. Dunia
internasional heboh. Uni Eropa cukup terpukul. Terutama warga Inggris sendiri dan
dua negara tetangga terdekat Inggris: Northern
Ireland and Republic of Ireland yang juga adalah bagian dari Uni Eropa.
Hasil referendum menyisakan
ketidakpastian politik dan ekonomi di Kawasan itu. Poundsterling terpukul. Masalahnya,
hasil referendum tidak serta merta membuat Inggris keluar dari Uni Eropa. Ada
tahapan cukup rumit dan panjang untuk sampai benar-benar Inggris keluar dari
Uni Eropa. Pemerintah harus menyusun proposal masa depan yang harus disetujui
para pihak dengan batas waktu sampai 29 Maret 2019. Muncul perdebatan apakah
proposal itu akan mengusung ide “Hard Brexit” - dimana inggris putus hubungan
sepenuhnya dengan EU dan kembali mengontrol perdagangan, perbatasan, dan
lain-lain - atau “Soft Brexit” – dimana Inggris tetap keluar dari yuridiksi EU
namun masih memiliki akses ke pasar tunggal Uni Eropa.
Banyak pakar dan pengamat
mengatakan bahwa hasil referendum saat itu lebih bersifat “emosional” daripada “rasional”.
Dipicu oleh bangkitnya figur-figur populis-konservatif seperti Trump di AS,
persoalan defisit ekonomi, hingga krisis di timur tengah yang mendorong
derasnya gelombang imigran ke daratan Eropa, menjadi latar belakang yang turut
mewarnai menguatnya politik identitas dan dukungan pada Brexit. Para Brexiters
dihantui ketakutan akan masa depan perekonomian Inggris jika tetap berada di
Uni Eropa. Dalam hitungan mereka, keuntungan yang diperoleh dari EU jauh lebih
kecil dibanding kerugiannya. Apalagi dibumbui dengan berbagai hoaks di media
sosial yang seringkali tidak mencerahkan malahan memperdalam paranoia tersebut.
Eurosceptisim versus Europhillia. Itulah gambaran perang
wacana sejak sebelum dan sesudah referendum Brexit. Bahkan sampai sekarang.
Hari ini, beberapa jam yang lalu,
baru saja tersiar kabar bahwa Perdana Menteri Inggris, Theresa May, yang pro-Brexit
itu, baru saja mendapat kekalahan telak di parlemen dalam mempertahankan
proposalnya. Kekalahan ini tentu menjadi pukulan telak bagi sang Perdana
Menteri dan para Brexiters. Ketidakpercayaan yang tinggi dari mayoritas anggota
parlemen kepada Perdana Menteri cukup menjadi sinyal bahwa Theresa May harus
segera hengkang dari kursi PM Inggris. Usulan terhadap referendum Brexit kedua
semakin menguat. Inggris terancam tidak jadi keluar dari Uni Eropa. Di satu sisi,
kondisi ini dianggap mampu mengembalikan ketidakpastian politik dan ekonomi Inggris
ke jalur yang semestinya. Namun disisi lain, bisa jadi polemik soal Brexit ini merembet
kepada kebuntuan dan gonjang-ganjing lainnya yang lebih complicated. Kita tunggu saja sampai mudik lebaran tahun ini!
No comments:
Post a Comment