Oleh: Yanu Prasetyo
Ada sebuah teori terkenal dalam kajian
ilmu politik. Namanya “The Overton Window”. Diambil dari nama penemunya, Joseph
P. Overton. Teori ini membahas bagaimana sebuah gagasan, isu, ideologi, atau yang
paling teknis sebuah “kebijakan” bisa diterima atau ditolak oleh publik. Pada
jamannya (Abad 20), teori ini sederhana dan banyak benarnya. Digambarkan dengan
sebuah garis kontinum dari kiri ke kanan, atau atas ke bawah. Sama saja. Di kedua
ujung garis itu, ada kondisi atau pandangan yang saling berlawanan. Ambil
contoh, ideologi “kiri” (komunisme) versus ideologi “kanan” (neoliberalisme). “More
Freedom” versus “Less Freedom”. “Demokrasi” versus “Khilafah”. Nah,
ditengah-tengah garis kontinum itu ada yang disebut sebagai kondisi atau “jendela normal”. Tidak terlalu kiri dan tidak terlalu kanan. Bebas, tapi ada batasan-batasan.
Kondisi “normal” inilah yang oleh penguasa suatu negara akan terus
dipertahankan sebagai arus utama. Mainstream. Apa pun diluar jendela normal, akan
dianggap sebagai radikal atau “unthinkable”.
Bagaimana teori ini bisa banyak
benarnya? Lihatlah bagaimana proses pemerintah atau legislatif di banyak negara
di dunia ini dalam mengambil kebijakan: Kompromi. Mencari jalan tengah.
Akomodir kiri kanan. Menjaga keseimbangan. Menuruti apa yang menjadi eskpektasi
publik luas. Dengan kata lain: cari aman dan hindari gejolak yang tidak perlu.
Sangat sedikit kebijakan “radikal” yang bisa dihasilkan oleh pemerintah. Sebab,
para politisi itu kebanyakan tunduk pada opini publik. Pemimpin yang ingin
tetap duduk di kursi kekuasaan, tentu tidak mau menjauhi apalagi melangkahi ekspektasi
publik. Kalau bisa mendekati atau bahkan sesuai ekspektasi. Supaya Ia tetap
terpilih lagi. Akibatnya, gagasan-gagasan yang terlalu ke-“kiri” atau ke-“kanan”
menjadi sulit diterima. Kebijakan yang di tengah-tengah lah yang paling
disukai.
Tetapi yang disebut dengan “tengah-tengah”
ini sifatnya dinamis. Bukan statis. Selalu ada aktor atau kelompok yang ingin
menyeretnya agak ke kanan atau agak ke kiri. Kuat-kuatan. Kelompok pro LGBT,
misalnya, akan mencoba mendorong garis normal itu ke kiri dengan melemparkan
isu radikal seperti “gay marriage”. Begitu wacana ini dilemparkan, maka garis
tengah akan goyah. Semakin digosok isu ini, maka muncul kontroversi. Orang pun
menjadi makin sering mendengar argumen kenapa pernikahan sejenis itu bukan
masalah. Jika kelompok anti perkawinan sesama jenis tidak kuat dalam beropini
atau beradu argumentasi, maka ide yang semula radikal ini lama-lama menjadi
diterima. Pun contoh gagasan “Islam Nusantara” misalnya. Adalah upaya kelompok
di garis tengah menarik kembali wacana yang dianggap “terlalu kanan” itu. Maka
muncullah cap radikal pada ide khilafah. Dan seterusnya.
(Lanjutkan saja pada contoh
lainnya, maka teori ini akan terasa banyak benarnya).
Nah, kini, apakah teori ini masih
relevan? Nampaknya tidak lagi. Sejak internet dan media sosial menjadi gelombang
bebas tanpa kendali, maka banyak gagasan radikal bermunculan. Tsunami informasi
dimana-mana. Banyak pandangan dan bahkan perilaku yang dulu dianggap “tidak
normal”, kini menjadi “biasa” atau “normal”. Donald Trump di AS, adalah contoh
pemimpin negara yang setiap saat menunjukkan perilaku yang “unthinkable” ini.
Orang AS tidak pernah membayangkan bisa memiliki presiden yang perilakunya
seperti sekarang. Bandingkan saja dengan presiden-presiden sebelumnya. Jauh
sekali. Trump pun dianggap sukses menggeser jendela “normalnya” seorang
presiden AS semakin ke “kanan”. Lalu menormalkan apa-apa yang semula adalah “kontroversi”
menjadi: “ah, biasa itu. Namanya juga Donald Trump”. Anggapan bahwa presiden
harus sopan, intelek, bermuka manis, dan lain-lain menjadi hilang. Ada wajah
normal baru yang berkebalikan.
Dengan kekuatan internet dan
informasi yang semakin “blur” inilah, maka jendela Overton tidak lagi sempit,
melainkan semakin melebar ke kanan dan ke kiri. Perbincangan publik tidak lagi
menyangkut yang normal-normal, namun juga yang radikal-radikal. Positifnya, orang
semakin berani mengungkapkan gagasan yang unthinkable dibanding sebelumnya. Negatifnya,
dunia terasa semakin sulit untuk dimengerti. Serba membingungkan. Jangankan
orang biasa, ilmuwan dan akademisi pun kewalahan dalam menjelaskan apa yang
sedang terjadi. Di era tanpa jendela overton ini, ada sebagian yang merayakannya
dengan gembira. Namun, ada pula yang gelisah setengah mati akibat kahilangan
kondisi “normal”. Maka jangan heran, jika ada tokoh politik atau pemimpin yang
mencoba “menormalkan” situasi – misalnya dengan membakar habis buku-buku kiri
(komunisme, sosialisme, dkk) atau membakar bendera khilafah –akan malu
ditertawakan. Mereka yang begitu masih hidup di era jendela overton yang masih sempit
itu. Padahal, jendela itu kini telah hilang seiring robohnya sekat-sekat informasi diantara kita.
Jadi, supaya tidak frustasi dan
gila, tidak ada pilihan lain. Biasakan diri dengan pertarungan ide-ide “radikal”
tersebut. Apa pun dan dimana pun itu.
No comments:
Post a Comment