21 January 2019

Soal Baasyir dan Mengapa Terorisme Lebih Ditakuti Daripada Gula?

Oleh: Yanu Prasetyo

Bagi pengagum beratnya, Ustad Abu Bakar Baasyir adalah figur pahlawan yang konsisten. Teguh pendirian. Contoh kongkrit dari menyatunya kata dan perbuatan. Gaya bicaranya blak-blakan. To the point. Terbukti penjara pun tidak melunturkan sikap dan pandangannya. Meski diminta untuk menandatangani surat setia kepada Pancasila, ia bergeming.

“Kalau Pancasila sesuai dengan ajaran Islam, kenapa tidak tunduk pada Islam saja” ungkapnya. Pemimpin negeri mana coba yang tidak gentar memiliki warga negara seperti Baasyir ini? Seandainya saja, ini cuman seandainya, Ustad Baasyir ini adalah imam besar FPI atau pemimpin tertinggi HTI yang diklaim memiliki jutaan pengikut itu, tentu akan lain cerita di republik tercinta ini. Untungnya tidak demikian.

Sebaliknya, bagi lawan dan kebanyakan orang, figur Baasyir dianggap sebagai simbol “terorisme”. Gurunya para teroris, demikian ungkapan orang. Dulu, sekitar tahun 2007, saya dan teman-teman HMI Cabang Surakarta pernah menggelar Latihan Kader II tingkat Nasional. Sebagai panitia, kami pun mengundang Ustad Baasyir untuk memberikan materi. Peserta pun bisa mendengar langsung pandangan-pandangannya soal politik, keislaman, dan kebangsaan yang pada saat itu menjadi buah bibir media. Sebagai penyeimbang, tentu kami juga mengundang para narasumber moderat atau nasionalis lainnya. Seperti Prof. Abdul Munir Mulkhan, penulis buku syekh siti jenar itu, di hari berikutnya. (para panitia dan alumni LK II ini boleh ngacung lho ðŸ˜Š )

Pembebasan ustad Baasyir dari penjara lantas membawa kembali memori publik akan peristiwa kelam satu atau dua dekade lalu. Kala terorisme - tepatnya terorisme yang dilakukan oleh oknum dengan atribut dan simbol Islam – merajalela. Baik di tanah air maupun di dunia. Termasuk 9/11, dimana gambar terbakarnya menara WTC itu dianggap menjadi salah satu simbol peristiwa paling mengerikan di AS sampai sekarang. Traumanya tidak pernah benar-benar hilang. Bahkan terus dikenang. Mengapa teror dan terorisme demikian mengerikan dan menakutkan?

Menurut Harari (2018), “terrorists are master of mind control”. Ia beroperasi untuk memanipulasi pikiran dan kesadaran manusia lewat manajemen ketakutan. Pada dasarnya teroris itu lemah. Minim sumber daya manusia. Minim senjata. Dan, di atas kertas, hampir tidak mungkin mengalahkan musuhnya, misal tantara sebuah negara. JIka gerombolan teroris ini kuat, maka mereka tidak perlu sembunyi di bawah tanah membangun sel-sel rahasia. Tidak perlu kucing-kucingan dengan aparat. Jika teroris ini anggotanya jutaan, mereka tidak perlu memprovokasi dengan bom bunuh diri atau bom panci. Jika teroris ini banyak uangnya, tidak perlu mereka membuat bom dan senjata rakitan.

Namun karena mereka lemah dan terbatas, maka mereka melakukan itu semua: menyamar, sembunyi-sembunyi, dan menyerang tiba-tiba. Berharap mendapat liputan media dan namanya membesar dengan sendirinya.

Teroris tahu betul kelemahannya itu. Makanya ia akan mencari cara menyerang yang lebih cerdas dan elegan. Ibarat seekor lalat yang ingin merusak rumah makan padang. Tidak mungkin lalat yang cuman satu ekor itu bisa merobohkan rumah makan padang. Bahkan yang “sederhana” sekalipun. Lalu, apa yang akan dilakukan si lalat? Ia akan mencari seekor gajah lalu mengiung-ngiug di telinga gajah itu hingga sang gajah terganggu, frustasi, dan marah. Saat sang gajah marah, maka ia akan mengamuk berlari kesana-kemari dan pada akhirnya mengobrak-abrik rumah penduduk. Termasuk rumah makan padang tadi.

Begitulah teroris dan terorisme bekerja. Biar sedikit, asal berisik. Itu prinsipnya. Jika sang gajah (pemimpin sebuah negara) frustasi dan kehilangan akal sehat untuk menghadapi sang lalat, maka nasib negaranya (atau negara lain) akan berada di ujung tanduk akibat tindakan dan keputusannya yang gila dan tak masuk akal. Penanganan pada ISIS di timur tengah adalah contohnya.

Cobalah lakukan eksperimen sederhana. Hitung berapa banyak di dunia ini orang yang meninggal karena diabetes per hari/per tahunnya? Atau jumlah orang mati karena kecelakaan lalu lintas setiap tahun? Atau Jumlah mereka yang mati karena kelaparan? Lalu, bandingkan dengan jumlah orang yang meninggal akibat bom bunuh diri dan aksi teroris lainnya? Saya bisa taruhan kalau jumlah korban akibat terorisme masih jauh-jauh lebih kecil.

Oleh karena itu, sungguh aneh jika ketakutan pada terorisme ini jauh lebih besar dibandingkan dengan ketakutan kita pada gula atau kecelakaan lalu-lintas yang “daya rusaknya” jauh lebih mematikan itu. Jadi, mulai sekarang, bisakah kita kembali mengontrol pikiran kita dan tidak menjadi gajah yang paranoid?

No comments:

Post a Comment