Oleh: Yanu Prasetyo
Ada guyonan menarik soal nasib
gula dalam secangkir kopi. Katanya, jika kopi terlalu pahit, maka gula yang disalahkan. Karena
terlalu sedikit. Kalau kopi terlalu manis, gula lagi yang disalahkan. Karena
kebanyakan. Kalau kopi dan gulanya pas. Maka kopi yang mendapat pujian, “kopinya
mantab!”. Gula pun dilupakan. Demikian sial nasib gula hingga tak pernah mendapat
pujian.
Bukan hanya hubungan cintanya
dengan kopi yang serba salah, hubungan gula dengan manusia juga tak kalah
peliknya. Menilik sejarahnya, masa lalu gula adalah sejarah yang penuh dengan
penindasan. Sejarah kelam kolonialisme dan perbudakan. Sejak bangsa Eropa, terutama
Englishmen, mengenal Saccharum Officinarum L. (nama latin dari gula tebu) ini,
dengan cepat komposisi diet mereka berubah. Banyak literatur yang menyebut gula
pertama kali ditemukan atau diproduksi di India. Padahal jauh sebelum itu,
bangsa-bangsa di pasifik seperti Papua Nugini, Philipina, dan Indonesia, sudah
menanam tebu dan mengenal gula ini. Bukan hanya sucrose, mereka juga sudah mengenal
sumber makanan manis lainnya seperti madu, cokelat, dan buat-buahan umumnya.
Sejarawan sempat menemukan
catatan pengiriman (via kapal laut) gula pertama ke Inggris bertahun 1319
(Mintz, 1985). Bahkan Columbus, konon pernah membawa sugar cane ini ke Amerika
pada pelayaran keduanya dari Canary Islands pada tahun 1493. Pada tahun 1625, giliran
Portugis yang dikenal sebagai pemasok utama gula di daratan Eropa. Mereka
mengirim gula dari koloni utamanya: Brazil. Dari sinilah kemudian Brazil berkembang
dan dikenal sebagai pengekspor gula paling besar pada era itu. Bahkan sampai
sekarang.
Sekitar tahun 1650, gula masih cukup
eksklusif di Inggris. Tentu karena harganya yang sangat mahal. Namun tak perlu
waktu lama untuk membuat gula menjadi barang umum, from luxury and rarity into
commonplace. Pasar yang menguntungkan ini mendorong bangsa Inggris, Portugis,
Spanyol dan Prancis untuk mengimpor gula sebanyak-banyaknya dari koloni
jajahannya. Seiring dengan revolusi industri dan perkembangan kapitalisme yang
demikian cepat, permintaan gula pun semakin tinggi di pasaran. Tahun 1900-an, gula
sudah dikenal luas dan menjadi barang murah. Baik oleh bangsawan maupun rakyat
jelata. Baik di Eropa maupun belahan dunia lainnya. Sumbernya pun tak lagi hanya
tebu, tapi juga tanaman-tanaman lainnya.
Meskipun demikian manis dan
terkenal, nasib gula ternyata masih juga belum beruntung. Dalam kamus kesehatan
manusia modern, posisi gula juga cenderung terpojokkan. Dulu lemak yang selalu
jadi kambing hitam. Kini, konsumsi gula berlebihanlah yang dianggap sebagai salah
satu pembunuh mematikan. Terutama gula tambahan. Gula alami yang terkandung
dalam makanan seperti buah-buahan dianggap menyehatkan. Namun, tetap saja tidak
boleh dikonsumsi berlebihan.
Menurut World Health Organization
(WHO), standar konsumsi gula perhari adalah cukup 25 gram. Tapi bagi orang Indonesia,
takaran itu sepertinya masih dianggap kurang manis. Buktinya, konsumsi perkapita
masyarakat Indonesia mencapai 31 gram per hari (2015). Menurut prediksi
Prof. Bustanul Arifin, Guru Besar Unila itu, total konsumsi gula masyarakat Indonesia
akan mencapai 25,6 juta ton pada 2025 dan 29,1 juta ton pada 2045. Itu diluar
konsumsi kue, minuman dan produk pangan lain yang menggunakan gula rafinasi dan
turunannya.
Jadi, meskipun selalu
disalah-salahkan, toh gula tetap selalu dicari. Meskipun manisnya mengandung
racun berbahaya, tetap saja diburu. Walaupun jarang dipuji, gula tetap tampil
manis seperti yang sudah-sudah. Ia sabar dan tidak berubah. Sulit membayangkan jika
tiba-tiba gula hilang dari pasaran.
So, how could sugar have become
so important in our modern history? The answer may seem self-evident: sugar is
sweet, and human beings like sweetness!
Well, sudahkah Anda mencaci gula
hari ini?
===
sumber ilustrasi: huffingtonpost
No comments:
Post a Comment