Oleh: Yanu Prasetyo
Jessica Bruder, seorang jurnalis
yang menelisik sisi lain kehidupan orang Amerika. Lebih dari tiga tahun ia mengikuti
dan mewawancarai puluhan orang yang hidup di rumah berjalan: RV, mobil Van, bus
sekolah, hingga trailers yang telah dimodifikasi. Mereka tersebar di seluruh penjuru
Amerika. Dari North Dakota di utara hingga San Marcos di California. Dari Texas,
Kentucky, hingga Brooklyn. Jessica mengabadikan kisah-kisah orang yang
ditemuinya itu dalam bukunya berjudul “Nomadland: Surviving America in the
Twenty-First Century”. Terbit tahun 2017 dan masuk ke dalam 100 notable books
dari The New York Times book review. Di buku ini, Ia mencatat kisah orang-orang
yang lebih memilih disebut “houseless” daripada “homeless”. Mereka yang terpaksa
menjual “real estate” dan pindah ke “wheel estate” untuk bertahan hidup. Sebuah
narasi tentang sisi gelap dari ketimpangan ekonomi di Amerika.
Dahulu, kita mengenal suku primitif
yang hidup berpindah-pindah demi mencari sumber air dan makanan. Sekarang, di
abad ini, homo sapiens modern pun mengulang pola hidup yang sama.
Berpindah-pindah. Nomaden. Dengan alasan yang sama pula: untuk bertahan hidup. Yang
membedakan adalah penyebabnya. Suku primitif terpaksa hidup berpindah karena ancaman
iklim, musim, atau menghindari perang dengan suku lain. Sementara manusia modern
terpaksa hidup di jalanan akibat gagal bertahan dalam sistem ekonomi kapitalis.
Penghisap darah dan keringat orang hingga bangkrut.
Dahulu, berkendara dengan mobil
RV bagi orang Amerika pada umumnya adalah bagian dari gaya hidup. Mengisi liburan
dengan camping di alam bebas. Berkeliling kontinen dengan membawa segenap
anggota keluarga. Mengisi waktu senggang sambal menikmati pemandangan. Sambil memancing
di danau terpencil atau berjemur di tepi pantai tanpa perlu menyewa penginapan.
Dapur, Kasur, dan kamar mandi (meskipun ciut) ada di dalam. Hemat dan penuh
petualangan. Sekarang, ia tak lagi sekedar hiburan. Tetapi pilihan terakhir
agar tetap bisa bertahan. Malahan, bagi sebagian orang ia adalah pilihan
satu-satunya ketika tua dan pensiun!
Membaca kebangkrutan ini
matematika-nya cukup mudah. Tinggal melihat keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran.
Semua “tagihan” itu terekam dalam satu sistem yang melekat pada individu. Kalau
kita gagal bayar pada satu tagihan, maka akan merembet secara sistemik pada pengeluaran
lainnya. Jika semakin hari semakin banyak tagihan yang tak terbayar, maka tanda-tanda
kebangkrutan muncul. Jika tiba-tiba kita kehilangan pekerjaan, tidak cukup
tabungan, maka mustahil bisa tetap tinggal di rumah sewaan. Rumah sendiri pun
harus terjual jika kita bermasalah dengan tagihan kartu kredit, student debt, biaya
pengobatan, atau hal-hal urgen lainnya. Maka, ketika kemalangan bertubi-tubi
itu datang, harta terakhir yang tidak boleh lepas adalah kendaraan. Ya,
memiliki kendaraan bisa mengurangi beban-beban itu secara signifikan.
Sejak resesi ekonomi tahun 2008
lalu, makin banyak warga Amerika yang terpaksa tinggal berpindah-pindah di
mobil atau trailers mereka. Bergerak dari satu titik ke titik lainnya. Dalam mobilitasnya
itu, mereka mencari pekerjaan paruh waktu apa pun yang memungkinkan. Jika musim
dingin datang, maka mereka berbondong-bondong bergerak ke selatan mencari
kehangatan. Sebab, tinggal di mobil atau trailer pada musim dingin sangat
menyiksa. Perlu banyak energi yang berarti banyak pengeluaran. Dalam perjalanan
bermigrasi, itu mereka bertemu dengan sesama yang senasib. Saat rumah mobil itu
mogok di jalan, maka kawan lain akan berhenti dan mengulurkan tangan. Sebagaimana
naluri manusia, mereka pun menjadi komunitas. Berjejaring hingga meluas. Bertukar
facebook atau nomor untuk saling berkabar. Bahkan, mendapat teman kencan dan sahabat
berpetualang. Tak peduli nenek-nenek atau anak muda belia, mereka merasa
senasib dan sepenanggungan.
Di tengah semua himpitan hidup ini, mengetahui bahwa mereka tidak sendirian tentu bisa menjadi sebuah pengobat jiwa yang ampuh.
Agar tak diam-diam terbunuh dalam sepi. Membuat mereka membuang sejenak pikiran untuk
segera mengakhiri hidup yang terasa makin sia-sia itu. Saat dulu masih hidup
menetap, mimpi dan keinginan mereka begitu banyak. Kini, ketika mereka harus
hidup nomad, mimpi mereka cuma satu: menemukan tempat parkir yang aman untuk istirahat
malam ini. Atau, kalau beruntung, untuk bertahan satu musim lagi.
No comments:
Post a Comment